Aktivis yang Tak Pernah Gentar
A
A
A
T Taufiqulhadi
Anggota DPR
PADA sekitar akhir Agustus 1993, seorang pria berusia 53 tahun melangkah keluar dari gerbang tahanan Cipinang. Dia dihadang seorang reporter perempuan RCTI.
"Pak Fatwa, apakah Anda menyesali segala yang terjadi atas Anda," tanya perempuan itu. Pria itu, alih-alih menjawab, justru terpana sejenak, "Oh, sebagai muslim," seraya menatap lekat ke wajah reporter itu, "saya tidak pernah menyesali masa lalu. Saya mengambil hikmahnya."
Dia kemudian bergerak lamban ke mobil yang menjemputnya. Mungkin ia masih ingin berbicara dengan reporter tersebut. Pria itu tidak lain adalah AM Fatwa dan reporter tersebut adalah putrinya sendiri, Dian Islamiati.
Dari ketertegunan dan cara menatapnya tersebut, tergambar jelas betapa pria tegar ini sangat merindukan berkumpul dengan keluarganya setelah mendekam dalam penjara selama 8 tahun.
Andi Mappetahang Fatwa, kelahiran Bone 12 Februari 1939, masuk penjara dengan tuduhan subversi. Salah satu kasusnya adalah pembuatan "Lembaran Putih". Dia diadili dan dijatuhi hukuman 18 tahun penjara dari tuntutan jaksa seumur hidup. Tapi setelah menjalani penjara efektif 8 tahun, ia dibebaskan bersyarat.
AM Fatwa dapat dikatakan, dalam kurun itu, adalah orang yang diikuti penjara. Betapa tidak, mantan PNS di Pemda DKI ini, di tengah kekuasaan Soeharto tengah dalam puncak-puncaknya, ia bersama dengan 49 tokoh lain menandatangani sebuah petisi yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50.
Di dalamnya terdapat mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal (Pur) AH Nasution, mantan Kapolri Jenderal (Pur) Pol Hugeng, mantan Gubernur Ali Sadikin, mantan Pangdam Sliwangi Mayjen (Pur) HR Dharsono, dan lainnya.
Petisi 50 adalah sebuah dokumen yang isinya memprotes penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Soeharto yang ditujukan terhadap lawan politiknya. Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah ungkapan keprihatinan. Para penandatangan petisi ini menyatakan, Presiden telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila.
Sebagai respons, dengan alasan untuk menjaga kestabilan, Soeharto mencabut hak-hak perjalanan para penandatangan petisi. Melarang koran-koran menerbitkan foto-foto mereka atau mengutip pernyataan-pernyataan mereka. Mereka juga tidak diperkenankan mendapat pinjaman bank dan kontrak-kontrak.
Akibatnya tentu saja anggota pendatanganan petisi ini sangat tertekan. Tapi tidak semua begitu, AM Fatwa justru lebih giat lagi beraktivitas. Ia menjadi penceramah yang garang dan karenanya segera menjadi "rebutan" aparat intelijen untuk memperketat pengawasan terhadap Fatwa.
Di masa Orde Lama (Orla) sebetulnya kehidupan pria berputra lima orang ini sudah akrab dengan penjara. Saat menjadi mahasiswa IAIN Jakarta pada 1957, Fatwa aktif dan menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat dan kemudian PB HMI. Saat itu Soekarno sedang kuat-kuatnya. Pada 1963 terjadi demonstrasi di kampusnya. Demonstrasi itu untuk mengkritik kebijakan menteri agama pada saat itu.
Tapi aparat Orla menganggap demo itu untuk merongrong kewibawaan Bung Karno. Fatwa yang terlibat dianggap sebagai penghubung tokoh-tokoh yang segera ditahan dengan tuduhan menggerakkan demo.
Ia dikenai UU Subversi dan ditahan tanpa diadili. Fatwa baru bebas selaras dengan tumbangnya Orla. Walaupun tidak disiksa, ia sempat diperiksa. Di bawah tekanan psikologis, ia diinterogasi beramai-ramai dan dibakar kumisnya, kemudian ditahan dengan cara dipindah-pindah.
Fatwa mengaku ikut menaikkan Orba, tapi segera ia berseberangan dengan rezim yang dipimpin Soeharto tersebut karena rezim Orba berubah menjadi rejim kediktatoran. Saat itulah ia menghadapi kekerasan fisik walau di luar penjara. Ia pernah dihajar hingga gegar otak oleh intel yang menyamar sebagai preman. Lebih mengerikan lagi, selagi menyetir ia dibacok, tapi meleset, hanya mengenai bibirnya hingga ia bersimbah darah.
Sekembali ke dunia ramai dari penjara, Fatwa memang menunjukkan sikap yang tidak menyesali masa lalunya sebagaimana diakuinya kepada Dian, anaknya yang reporter itu. Ia terus beraktivitas dan tidak pernah mengurangi sikap kritisnya hingga kemudian terlibat dalam pendirian Partai Amanat Nasional pada 1998.
Namun selaras dengan berlalunya waktu, Fatwa mulai merenungi bandul sifat gagasan yang berkembang. Ia menyadari gagasan terlalu ekstrem tidak cocok untuk kebutuhan bangsa yang sangat majemuk ini. "Sikap ekstrem bukan jalan baik dan benar. Atas segala urusan dan masalah, jalan terbaik dan benar adalah musyawarah," katanya dalam sebuah kesempatan ketika diwawancarai oleh sebuah harian Ibu Kota pada 1993.
Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan tempat pada musyawarah dan demokrasi yang sesuai dengan sikap hidup bangsa. "Memang kelompok ekstrem di kalangan Islam merupakan hal yang tak terelakkan. Dalam sejarah, senantiasa ada sekelompok macam itu. Termasuk di Indonesia," sebutnya.
Namun, menurut Fatwa, yang harus menjadi ukuran adalah mayoritas umat Islam merupakan penganut dan pembela demokrasi dan musyawarah.
Bagi Fatwa, meski memiliki komitmen yang kuat pada Islam, jika tidak memiliki konsep yang jelas tentang tujuan perjuangan dan mengabaikan asas demokrasi dan musyawarah, ia bisa berakhir buruk. Dalam penjara, ia menulis surat kepada temannya pada Maret 1991.
Ia mengaku sering didatangi anak-anak muda yang bukan PII dan HMI. "Mereka aktivis Islam tanpa nama," ungkapnya. Sikap dan pikiran mereka militan, tapi jelas mereka kurang pengalaman. Karenanya ia teringat dengan pengikut Imron yang ia temui dalam penjara.
Sepanjang pengalaman pertemuannya dengan pengikut Imron, kata Fatwa kepada temannya itu, mereka sebenarnya baik-baik dan bibit unggul. Hanya salah arah saja. Mereka tidak puas dengan pemimpin yang ada. Mereka mencari pemimpin, tapi tak mereka temukan. Lalu mereka memilih pemimpin sendiri, yaitu Imron, yang merasa pernah mendapat restu ulama Mekkah. Hal seperti ini tentu akan berakhir pada malapetaka.
Mantan aktivis mahasiswa dan politisi yang terakhir menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah ini kemarin kembali ke haribaan Ilahi dengan diantar ribuan rekan seperjuangan dan pengagumnya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ia telah berkumpul dengan khaliknya. Selamat jalan sang aktivis yang tak pernah gentar. Tidak ada jasa baik yang tidak dikenang.
Anggota DPR
PADA sekitar akhir Agustus 1993, seorang pria berusia 53 tahun melangkah keluar dari gerbang tahanan Cipinang. Dia dihadang seorang reporter perempuan RCTI.
"Pak Fatwa, apakah Anda menyesali segala yang terjadi atas Anda," tanya perempuan itu. Pria itu, alih-alih menjawab, justru terpana sejenak, "Oh, sebagai muslim," seraya menatap lekat ke wajah reporter itu, "saya tidak pernah menyesali masa lalu. Saya mengambil hikmahnya."
Dia kemudian bergerak lamban ke mobil yang menjemputnya. Mungkin ia masih ingin berbicara dengan reporter tersebut. Pria itu tidak lain adalah AM Fatwa dan reporter tersebut adalah putrinya sendiri, Dian Islamiati.
Dari ketertegunan dan cara menatapnya tersebut, tergambar jelas betapa pria tegar ini sangat merindukan berkumpul dengan keluarganya setelah mendekam dalam penjara selama 8 tahun.
Andi Mappetahang Fatwa, kelahiran Bone 12 Februari 1939, masuk penjara dengan tuduhan subversi. Salah satu kasusnya adalah pembuatan "Lembaran Putih". Dia diadili dan dijatuhi hukuman 18 tahun penjara dari tuntutan jaksa seumur hidup. Tapi setelah menjalani penjara efektif 8 tahun, ia dibebaskan bersyarat.
AM Fatwa dapat dikatakan, dalam kurun itu, adalah orang yang diikuti penjara. Betapa tidak, mantan PNS di Pemda DKI ini, di tengah kekuasaan Soeharto tengah dalam puncak-puncaknya, ia bersama dengan 49 tokoh lain menandatangani sebuah petisi yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50.
Di dalamnya terdapat mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal (Pur) AH Nasution, mantan Kapolri Jenderal (Pur) Pol Hugeng, mantan Gubernur Ali Sadikin, mantan Pangdam Sliwangi Mayjen (Pur) HR Dharsono, dan lainnya.
Petisi 50 adalah sebuah dokumen yang isinya memprotes penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Soeharto yang ditujukan terhadap lawan politiknya. Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah ungkapan keprihatinan. Para penandatangan petisi ini menyatakan, Presiden telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila.
Sebagai respons, dengan alasan untuk menjaga kestabilan, Soeharto mencabut hak-hak perjalanan para penandatangan petisi. Melarang koran-koran menerbitkan foto-foto mereka atau mengutip pernyataan-pernyataan mereka. Mereka juga tidak diperkenankan mendapat pinjaman bank dan kontrak-kontrak.
Akibatnya tentu saja anggota pendatanganan petisi ini sangat tertekan. Tapi tidak semua begitu, AM Fatwa justru lebih giat lagi beraktivitas. Ia menjadi penceramah yang garang dan karenanya segera menjadi "rebutan" aparat intelijen untuk memperketat pengawasan terhadap Fatwa.
Di masa Orde Lama (Orla) sebetulnya kehidupan pria berputra lima orang ini sudah akrab dengan penjara. Saat menjadi mahasiswa IAIN Jakarta pada 1957, Fatwa aktif dan menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat dan kemudian PB HMI. Saat itu Soekarno sedang kuat-kuatnya. Pada 1963 terjadi demonstrasi di kampusnya. Demonstrasi itu untuk mengkritik kebijakan menteri agama pada saat itu.
Tapi aparat Orla menganggap demo itu untuk merongrong kewibawaan Bung Karno. Fatwa yang terlibat dianggap sebagai penghubung tokoh-tokoh yang segera ditahan dengan tuduhan menggerakkan demo.
Ia dikenai UU Subversi dan ditahan tanpa diadili. Fatwa baru bebas selaras dengan tumbangnya Orla. Walaupun tidak disiksa, ia sempat diperiksa. Di bawah tekanan psikologis, ia diinterogasi beramai-ramai dan dibakar kumisnya, kemudian ditahan dengan cara dipindah-pindah.
Fatwa mengaku ikut menaikkan Orba, tapi segera ia berseberangan dengan rezim yang dipimpin Soeharto tersebut karena rezim Orba berubah menjadi rejim kediktatoran. Saat itulah ia menghadapi kekerasan fisik walau di luar penjara. Ia pernah dihajar hingga gegar otak oleh intel yang menyamar sebagai preman. Lebih mengerikan lagi, selagi menyetir ia dibacok, tapi meleset, hanya mengenai bibirnya hingga ia bersimbah darah.
Sekembali ke dunia ramai dari penjara, Fatwa memang menunjukkan sikap yang tidak menyesali masa lalunya sebagaimana diakuinya kepada Dian, anaknya yang reporter itu. Ia terus beraktivitas dan tidak pernah mengurangi sikap kritisnya hingga kemudian terlibat dalam pendirian Partai Amanat Nasional pada 1998.
Namun selaras dengan berlalunya waktu, Fatwa mulai merenungi bandul sifat gagasan yang berkembang. Ia menyadari gagasan terlalu ekstrem tidak cocok untuk kebutuhan bangsa yang sangat majemuk ini. "Sikap ekstrem bukan jalan baik dan benar. Atas segala urusan dan masalah, jalan terbaik dan benar adalah musyawarah," katanya dalam sebuah kesempatan ketika diwawancarai oleh sebuah harian Ibu Kota pada 1993.
Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan tempat pada musyawarah dan demokrasi yang sesuai dengan sikap hidup bangsa. "Memang kelompok ekstrem di kalangan Islam merupakan hal yang tak terelakkan. Dalam sejarah, senantiasa ada sekelompok macam itu. Termasuk di Indonesia," sebutnya.
Namun, menurut Fatwa, yang harus menjadi ukuran adalah mayoritas umat Islam merupakan penganut dan pembela demokrasi dan musyawarah.
Bagi Fatwa, meski memiliki komitmen yang kuat pada Islam, jika tidak memiliki konsep yang jelas tentang tujuan perjuangan dan mengabaikan asas demokrasi dan musyawarah, ia bisa berakhir buruk. Dalam penjara, ia menulis surat kepada temannya pada Maret 1991.
Ia mengaku sering didatangi anak-anak muda yang bukan PII dan HMI. "Mereka aktivis Islam tanpa nama," ungkapnya. Sikap dan pikiran mereka militan, tapi jelas mereka kurang pengalaman. Karenanya ia teringat dengan pengikut Imron yang ia temui dalam penjara.
Sepanjang pengalaman pertemuannya dengan pengikut Imron, kata Fatwa kepada temannya itu, mereka sebenarnya baik-baik dan bibit unggul. Hanya salah arah saja. Mereka tidak puas dengan pemimpin yang ada. Mereka mencari pemimpin, tapi tak mereka temukan. Lalu mereka memilih pemimpin sendiri, yaitu Imron, yang merasa pernah mendapat restu ulama Mekkah. Hal seperti ini tentu akan berakhir pada malapetaka.
Mantan aktivis mahasiswa dan politisi yang terakhir menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah ini kemarin kembali ke haribaan Ilahi dengan diantar ribuan rekan seperjuangan dan pengagumnya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ia telah berkumpul dengan khaliknya. Selamat jalan sang aktivis yang tak pernah gentar. Tidak ada jasa baik yang tidak dikenang.
(maf)