Tragedi Terorisme Mesir
A
A
A
Amidhan Shaberah Ketua MUI (1995-2015) dan Anggota Komnas HAM (2002-2007)
TEROR kembali mengguncang Mesir. Ketika jamaah Masjid Al-Raudhah di Kota Bir el-Abd, 50 km barat Kota El-Arish, Sinai Utara baru saja menyelesaikan ibadah salat Jumat (24/11), tiba-tiba mereka diberondong senapan otomatis. Masjid itu dikepung 30 teroris bersenjata berat. Lalu, para teroris bertopeng itu menembaki 500-an orang jamaah. Tak hanya itu, bom pun diledakkan teroris di dalam masjid, sedangkan mobil-mobil jamaah di halaman masjid dibakar.
Suasana kacau balau. Darah berceceran. Jamaah masjid bergelimpangan, histeris, dan kepulan asap mobil-mobil yang dibakar menyelimuti udara sekitar Al-Raudhah. Suasananya seperti peperangan.
Akibat serangan teroris itu, 305 jamaah Al-Raudhah tewas, termasuk 27 anak, sedangkan 128 orang lainnya luka parah. Tragedi Al-Raudhah ini tercatat sebagai serangan teroris terbesar di Mesir dalam 25 tahun terakhir. Sungguh biadab.
Sampai hari ini belum ada pihak atau kelompok teroris yang mengaku bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Namun, pemerintah Mesir menduga pelakunya adalah Kelompok Daulah Sinai, sayap ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Soalnya dalam beberapa kali peristiwa terorisme di Mesir belakangan ini, pelakunya mengklaim sebagai Kelompok Daulah Sinai.
Kita masih ingat, April 2017 lalu—tepatnya Minggu pagi (9/4)—dua serangan bom mengoyak kesyahduan umat kristiani yang juga sedang beribadah. Saat itu umat Kristen Koptik Mesir sedang memperingati perayaan Minggu Palma di dua gereja kuno: Mar Girgis di Kota Tanta, 100 km utara Kairo dan Katedral Santo Markus di kota wisata Alexandria.
Ledakan bom bunuh diri di Mar Girgis menewaskan 27 orang dan melukai 78 orang lainnya, sedangkan di Katedral Santo Markus menewaskan 16 orang dan melukai 41 orang lainnya.
Melalui kantor berita Amaq, ISIS menyatakan bertanggung jawab atas dua kejadian itu. Hampir semua aksi terorisme di Mesir dilakukan Kelompok Daulah Sinai, sayap ISIS di Mesir tadi.
Kita tahu, Mesir sebelumnya merupakan negara yang relatif aman dari terorisme. Pada zaman Hosni Mubarak (1981-2011), misalnya, rezim Mesir bisa mengendalikan keamanan negara. Tapi setelah Mubarak jatuh (2011) dan gerakan Arab Spring (yang ingin melakukan demokratisasi di negara-negara Arab) melanda Mesir, terorisme bermunculan.
Partai Ikhwanul Muslimin (IM atau Ikhwan) yang memenangkan pemilu di Mesir (2012) justru dijungkalkan militer pimpinan Jenderal Abdul Fatah al-Sisi, presiden Mesir sekarang, dan ironisnya Ikhwanul Muslimin kemudian dijadikan organisasi terlarang karena diduga menjadi sarang pendidikan terorisme (2014). Sejak itulah, Mesir terus dilanda berbagai kekacauan.
Ikhwanul Muslimin memang sebuah dilema. Sebelum Arab Spring, organisasi ini sangat terhormat di dunia Arab, apalagi ketika Dunia Arab masih sangat bersitegang dengan Israel yang menduduki Palestina. Ikhwanul Muslimin saat itu menjadi ”ikon” perjuangan pembebasan Palestina. Penataan organisasi yang bagus, kaderisasi yang sustainable, tingkat intelektualitas yang tinggi, dan militansi yang integratif menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi yang disegani dunia Arab.
Namun, apa yang terjadi kemudian pada organisasi bentukan Hasan al-Banna ini? Pemerintahan korup negara-negara Arab mulai tidak menyukai Ikhwan. Ini karena visi Ikhwan adalah membentuk pemerintahan yang bersih, berasaskan kerakyatan, dan antikorupsi.
Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi Islam berlandaskan ajaran Islam. Tujuan Ikhwanul Muslimin adalah mewujudkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga islami, bangsa yang islami, pemerintahan yang islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum muslimin, dan untuk menyebarluaskan Islam. Pengaruh ajaran sufi hanya terbatas pada zikir atau wirid yang dibaca konsisten setiap pagi dan petang (Al-Ma’tsurat) berdasarkan hadis-hadis yang sahih. Ikhwanul Muslimin menolak segala bentuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat.
Dalam perpolitikan di berbagai negara, Ikhwanul Muslimin ikut serta dalam proses demokrasi sebagai sarana untuk memperjuangkan visi-misinya. Itulah sebabnya di Mesir Al-Ikhwan mengikuti proses pemilu agar bisa berpartisipasi dalam membangun negara sesuai ajaran Islam.
Di berbagai media khususnya media negara-negara Barat, Ikhwanul Muslimin sering dikait-kaitkan dengan Al-Qaeda. Pada faktanya, Ikhwanul Muslimin berbeda jauh dengan Al-Qaeda. Ideologi, sarana, dan aksi kekerasan yang dilakukan oleh Al-Qaeda secara tegas ditolak pimpinan Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin lebih mendukung ide perubahan dan reformasi melalui jalan damai dan dialog konstruktif yang bersandarkan pada al-hujjah (alasan) al-mantiq (logika), al-bayyinah (transparansi), dan ad-dalil (sesuai rujukan atau dalil). Kekerasan dan radikalisme bukan jalan perjuangan Ikhwanul Muslimin.
Selama ini ada pihak yang menuduh Al-Ikhwan adalah tempat penggodokan radikalisme dan terorisme. Tuduhan itu absurd. Tapi karena politik dunia Arab yang masih totalitarianisme, Al-Ikhwan dianggap sebagai ancaman negara. Itulah sebabnya, setelah Arab Spring merebak, Al-Ikhwan dituduh sebagai provokatornya. Akibatnya Al-Ikhwan dibekukan atau dilarang eksis di sejumlah negara Arab seperti Mesir dan Arab Saudi. Padahal, dulu kedua negara ini yang membesarkan Al-Ikhwan.
Mesir melarang Al-Ikhwan, padahal jumlah anggota Al-Ikhwan di seluruh dunia Arab lebih banyak daripada penduduk Mesir sendiri. Akibat pelarangan inilah, rezim Mesir tidak bisa lagi mengendalikan mayoritas rakyatnya yang notabene banyak orang Al-Ikhwan-nya.
Dalam kondisi Mesir yang kalut politik karena pembubaran Al-Ikhwan itulah, ISIS masuk dengan ideologi ultrakonservatifnya. Padahal, konservatisme dan ekstremisme ISIS mulanya berakar pada ajaran Wahabi yang didukung Kerajaan Arab Saudi. Dengan dana besar, Arab Saudi pun menyebarkan paham Wahabi ke seluruh jazirah Arab, bahkan ke seluruh dunia. Dalam novel ”Inside The Kingdom” karya Carmen bin Laden disebutkan 6% dari hasil minyak Saudi digelontorkan untuk penyebaran paham Wahabi.
Tapi kini? Konservatisme dan wahabisme justru memukul balik para ”penjaganya”. Maka jadilah politik dunia Arab karut-marut. Mesir dilanda kekacauan. Yaman kacau. Suriah terbakar perang. Qatar dikucilkan. Oman mulai goyah, dan Arab Saudi kini mulai membara. Tinggal tunggu waktu meletus.
Dalam kondisi itulah, ISIS mudah masuk. Rezim Mesir, misalnya, akan sulit mengamankan negaranya karena siapa kawan dan lawan sulit dideteksi. Tragedi terorisme di Masjid Al-Raudhah, Jumat, 24 November 2017, dan tragedi terorisme di dua gereja Koptik, Minggu pagi, 9 April 2017 lalu, merupakan dampak dari kekacauan politik tadi.
Masa depan negara-negara Arab saat ini sangat problematis. Arab Saudi, yang selama ini bertindak sebagai ”jangkar perdamaian” di dunia Arab dari aspek ekonomi, kini tengah mengalami keterpurukan akibat anjloknya harga minyak. Mesir yang dulu menjadi jembatan dunia Arab untuk berdialog dengan dunia Barat, kini menghadapi kericuhan politik tak berujung. Sementara Kuwait tak berkutik ditekuk Barat, setelah diselamatkan Amerika dari aneksasi oleh Saddam. Irak dan Suriah masih menghadapi kekacauan politik, sedangkan Qatar kini dikucilkan Arab Saudi, Mesir, dan Kuwait. Tinggal Oman yang ”tak lama” lagi akan menghadapi perpecahan politik.
Dalam situasi seperti inilah, seharusnya para pemimpin Arab mencari ”wahana” yang bisa mempersatukan semuanya. Apa wahana itu? Kalau mau jujur, seharusnya agama Islam-lah yang menjadi pengikat. Dalam kaitan ini, Islam model apa yang seharusnya menjadi pedoman? Islam yang rahmatan lil-alamin. Yaitu Islam yang rahmat dan mengedepankan perdamaian. Bukan Islam yang mengedepankan kekuasaan dan hegemonisme. Insya Allah!
TEROR kembali mengguncang Mesir. Ketika jamaah Masjid Al-Raudhah di Kota Bir el-Abd, 50 km barat Kota El-Arish, Sinai Utara baru saja menyelesaikan ibadah salat Jumat (24/11), tiba-tiba mereka diberondong senapan otomatis. Masjid itu dikepung 30 teroris bersenjata berat. Lalu, para teroris bertopeng itu menembaki 500-an orang jamaah. Tak hanya itu, bom pun diledakkan teroris di dalam masjid, sedangkan mobil-mobil jamaah di halaman masjid dibakar.
Suasana kacau balau. Darah berceceran. Jamaah masjid bergelimpangan, histeris, dan kepulan asap mobil-mobil yang dibakar menyelimuti udara sekitar Al-Raudhah. Suasananya seperti peperangan.
Akibat serangan teroris itu, 305 jamaah Al-Raudhah tewas, termasuk 27 anak, sedangkan 128 orang lainnya luka parah. Tragedi Al-Raudhah ini tercatat sebagai serangan teroris terbesar di Mesir dalam 25 tahun terakhir. Sungguh biadab.
Sampai hari ini belum ada pihak atau kelompok teroris yang mengaku bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Namun, pemerintah Mesir menduga pelakunya adalah Kelompok Daulah Sinai, sayap ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Soalnya dalam beberapa kali peristiwa terorisme di Mesir belakangan ini, pelakunya mengklaim sebagai Kelompok Daulah Sinai.
Kita masih ingat, April 2017 lalu—tepatnya Minggu pagi (9/4)—dua serangan bom mengoyak kesyahduan umat kristiani yang juga sedang beribadah. Saat itu umat Kristen Koptik Mesir sedang memperingati perayaan Minggu Palma di dua gereja kuno: Mar Girgis di Kota Tanta, 100 km utara Kairo dan Katedral Santo Markus di kota wisata Alexandria.
Ledakan bom bunuh diri di Mar Girgis menewaskan 27 orang dan melukai 78 orang lainnya, sedangkan di Katedral Santo Markus menewaskan 16 orang dan melukai 41 orang lainnya.
Melalui kantor berita Amaq, ISIS menyatakan bertanggung jawab atas dua kejadian itu. Hampir semua aksi terorisme di Mesir dilakukan Kelompok Daulah Sinai, sayap ISIS di Mesir tadi.
Kita tahu, Mesir sebelumnya merupakan negara yang relatif aman dari terorisme. Pada zaman Hosni Mubarak (1981-2011), misalnya, rezim Mesir bisa mengendalikan keamanan negara. Tapi setelah Mubarak jatuh (2011) dan gerakan Arab Spring (yang ingin melakukan demokratisasi di negara-negara Arab) melanda Mesir, terorisme bermunculan.
Partai Ikhwanul Muslimin (IM atau Ikhwan) yang memenangkan pemilu di Mesir (2012) justru dijungkalkan militer pimpinan Jenderal Abdul Fatah al-Sisi, presiden Mesir sekarang, dan ironisnya Ikhwanul Muslimin kemudian dijadikan organisasi terlarang karena diduga menjadi sarang pendidikan terorisme (2014). Sejak itulah, Mesir terus dilanda berbagai kekacauan.
Ikhwanul Muslimin memang sebuah dilema. Sebelum Arab Spring, organisasi ini sangat terhormat di dunia Arab, apalagi ketika Dunia Arab masih sangat bersitegang dengan Israel yang menduduki Palestina. Ikhwanul Muslimin saat itu menjadi ”ikon” perjuangan pembebasan Palestina. Penataan organisasi yang bagus, kaderisasi yang sustainable, tingkat intelektualitas yang tinggi, dan militansi yang integratif menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi yang disegani dunia Arab.
Namun, apa yang terjadi kemudian pada organisasi bentukan Hasan al-Banna ini? Pemerintahan korup negara-negara Arab mulai tidak menyukai Ikhwan. Ini karena visi Ikhwan adalah membentuk pemerintahan yang bersih, berasaskan kerakyatan, dan antikorupsi.
Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi Islam berlandaskan ajaran Islam. Tujuan Ikhwanul Muslimin adalah mewujudkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga islami, bangsa yang islami, pemerintahan yang islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum muslimin, dan untuk menyebarluaskan Islam. Pengaruh ajaran sufi hanya terbatas pada zikir atau wirid yang dibaca konsisten setiap pagi dan petang (Al-Ma’tsurat) berdasarkan hadis-hadis yang sahih. Ikhwanul Muslimin menolak segala bentuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat.
Dalam perpolitikan di berbagai negara, Ikhwanul Muslimin ikut serta dalam proses demokrasi sebagai sarana untuk memperjuangkan visi-misinya. Itulah sebabnya di Mesir Al-Ikhwan mengikuti proses pemilu agar bisa berpartisipasi dalam membangun negara sesuai ajaran Islam.
Di berbagai media khususnya media negara-negara Barat, Ikhwanul Muslimin sering dikait-kaitkan dengan Al-Qaeda. Pada faktanya, Ikhwanul Muslimin berbeda jauh dengan Al-Qaeda. Ideologi, sarana, dan aksi kekerasan yang dilakukan oleh Al-Qaeda secara tegas ditolak pimpinan Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin lebih mendukung ide perubahan dan reformasi melalui jalan damai dan dialog konstruktif yang bersandarkan pada al-hujjah (alasan) al-mantiq (logika), al-bayyinah (transparansi), dan ad-dalil (sesuai rujukan atau dalil). Kekerasan dan radikalisme bukan jalan perjuangan Ikhwanul Muslimin.
Selama ini ada pihak yang menuduh Al-Ikhwan adalah tempat penggodokan radikalisme dan terorisme. Tuduhan itu absurd. Tapi karena politik dunia Arab yang masih totalitarianisme, Al-Ikhwan dianggap sebagai ancaman negara. Itulah sebabnya, setelah Arab Spring merebak, Al-Ikhwan dituduh sebagai provokatornya. Akibatnya Al-Ikhwan dibekukan atau dilarang eksis di sejumlah negara Arab seperti Mesir dan Arab Saudi. Padahal, dulu kedua negara ini yang membesarkan Al-Ikhwan.
Mesir melarang Al-Ikhwan, padahal jumlah anggota Al-Ikhwan di seluruh dunia Arab lebih banyak daripada penduduk Mesir sendiri. Akibat pelarangan inilah, rezim Mesir tidak bisa lagi mengendalikan mayoritas rakyatnya yang notabene banyak orang Al-Ikhwan-nya.
Dalam kondisi Mesir yang kalut politik karena pembubaran Al-Ikhwan itulah, ISIS masuk dengan ideologi ultrakonservatifnya. Padahal, konservatisme dan ekstremisme ISIS mulanya berakar pada ajaran Wahabi yang didukung Kerajaan Arab Saudi. Dengan dana besar, Arab Saudi pun menyebarkan paham Wahabi ke seluruh jazirah Arab, bahkan ke seluruh dunia. Dalam novel ”Inside The Kingdom” karya Carmen bin Laden disebutkan 6% dari hasil minyak Saudi digelontorkan untuk penyebaran paham Wahabi.
Tapi kini? Konservatisme dan wahabisme justru memukul balik para ”penjaganya”. Maka jadilah politik dunia Arab karut-marut. Mesir dilanda kekacauan. Yaman kacau. Suriah terbakar perang. Qatar dikucilkan. Oman mulai goyah, dan Arab Saudi kini mulai membara. Tinggal tunggu waktu meletus.
Dalam kondisi itulah, ISIS mudah masuk. Rezim Mesir, misalnya, akan sulit mengamankan negaranya karena siapa kawan dan lawan sulit dideteksi. Tragedi terorisme di Masjid Al-Raudhah, Jumat, 24 November 2017, dan tragedi terorisme di dua gereja Koptik, Minggu pagi, 9 April 2017 lalu, merupakan dampak dari kekacauan politik tadi.
Masa depan negara-negara Arab saat ini sangat problematis. Arab Saudi, yang selama ini bertindak sebagai ”jangkar perdamaian” di dunia Arab dari aspek ekonomi, kini tengah mengalami keterpurukan akibat anjloknya harga minyak. Mesir yang dulu menjadi jembatan dunia Arab untuk berdialog dengan dunia Barat, kini menghadapi kericuhan politik tak berujung. Sementara Kuwait tak berkutik ditekuk Barat, setelah diselamatkan Amerika dari aneksasi oleh Saddam. Irak dan Suriah masih menghadapi kekacauan politik, sedangkan Qatar kini dikucilkan Arab Saudi, Mesir, dan Kuwait. Tinggal Oman yang ”tak lama” lagi akan menghadapi perpecahan politik.
Dalam situasi seperti inilah, seharusnya para pemimpin Arab mencari ”wahana” yang bisa mempersatukan semuanya. Apa wahana itu? Kalau mau jujur, seharusnya agama Islam-lah yang menjadi pengikat. Dalam kaitan ini, Islam model apa yang seharusnya menjadi pedoman? Islam yang rahmatan lil-alamin. Yaitu Islam yang rahmat dan mengedepankan perdamaian. Bukan Islam yang mengedepankan kekuasaan dan hegemonisme. Insya Allah!
(kri)