Tragedi Terorisme Mesir

Selasa, 28 November 2017 - 09:11 WIB
Tragedi Terorisme Mesir
Tragedi Terorisme Mesir
A A A
Amidhan Shaberah Ketua MUI (1995-2015) dan Anggota Komnas HAM (2002-2007)

TEROR kembali meng­guncang Mesir. Ketika jamaah Masjid Al-Raudhah di Kota Bir el-Abd, 50 km barat Kota El-Arish, Sinai Utara baru saja menyelesaikan ibadah salat Jumat (24/11), tiba-tiba mereka diberondong senapan otomatis. Masjid itu dikepung 30 teroris bersenjata ber­at. Lalu, para teroris ber­topeng itu menembaki 500-an orang jamaah. Tak hanya itu, bom pun diledakkan teroris di dalam masjid, sedangkan mobil-mobil jamaah di halaman masjid dibakar.

Suasana kacau balau. Darah berceceran. Jamaah masjid bergelimpangan, histeris, dan kepulan asap mobil-mobil yang dibakar menyelimuti udara se­kitar Al-Raudhah. Suasananya seperti peperangan.

Akibat serangan teroris itu, 305 jamaah Al-Raudhah tewas, termasuk 27 anak, sedangkan 128 orang lainnya luka parah. Tragedi Al-Raudhah ini tercatat sebagai serangan teroris ter­besar di Mesir dalam 25 tahun terakhir. Sungguh biadab.

Sampai hari ini belum ada pihak atau kelompok teroris yang mengaku bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Namun, pemerintah Mesir menduga pelakunya adalah Kelompok Daulah Sinai, sayap ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Soalnya dalam beberapa kali peristiwa terorisme di Mesir belakangan ini, pelaku­nya mengklaim sebagai Kelompok Daulah Sinai.

Kita masih ingat, April 2017 lalu—tepatnya Minggu pagi (9/4)—dua serangan bom mengoyak kesyahduan umat kristiani yang juga sedang beribadah. Saat itu umat Kristen Koptik Mesir sedang mem­peringati perayaan Minggu Palma di dua gereja kuno: Mar Girgis di Kota Tanta, 100 km utara Kairo dan Katedral Santo Markus di kota wisata Alexandria.

Ledakan bom bunuh diri di Mar Girgis menewaskan 27 orang dan melukai 78 orang lainnya, sedangkan di Katedral Santo Markus menewaskan 16 orang dan melukai 41 orang lainnya.

Melalui kantor berita Amaq, ISIS menyatakan bertanggung jawab atas dua kejadian itu. Hampir semua aksi terorisme di Mesir dilakukan Kelompok Daulah Sinai, sayap ISIS di Mesir tadi.

Kita tahu, Mesir sebelumnya merupakan negara yang relatif aman dari terorisme. Pada zaman Hosni Mubarak (1981-2011), misalnya, rezim Mesir bisa mengendalikan keamanan negara. Tapi setelah Mubarak jatuh (2011) dan gerakan Arab Spring (yang ingin melakukan demokratisasi di negara-negara Arab) melanda Mesir, terorisme bermunculan.

Partai Ikhwanul Muslimin (IM atau Ikhwan) yang memenangkan pemilu di Mesir (2012) justru dijungkal­kan militer pimpinan Jenderal Abdul Fatah al-Sisi, presiden Mesir sekarang, dan ironisnya Ikhwanul Muslimin kemudian dijadikan organisasi terlarang karena diduga menjadi sarang pendidikan terorisme (2014). Sejak itulah, Mesir terus dilanda berbagai kekacauan.

Ikhwanul Muslimin me­mang sebuah dilema. Sebelum Arab Spring, organisasi ini sangat terhormat di dunia Arab, apalagi ketika Dunia Arab ma­sih sangat bersitegang dengan Israel yang menduduki Pales­tina. Ikhwanul Muslimin saat itu men­jadi ”ikon” perjuangan pem­bebas­a­n Palestina. Penataan organisasi yang bagus, kader­isasi yang sustainable, tingkat intelektualitas yang tinggi, dan militansi yang integratif men­jadikan Ikhwanul Muslimin se­bagai organisasi yang disegani dunia Arab.

Namun, apa yang terjadi ke­mudian pada organisasi ben­tuk­an Hasan al-Banna ini? Pemerintahan korup negara-negara Arab mulai tidak me­nyukai Ikhwan. Ini karena visi Ikhwan adalah membentuk pemerintahan yang bersih, berasaskan kerakyatan, dan antikorupsi.

Ikhwanul Muslimin me­rupa­kan sebuah orga­nisasi Islam ber­landaskan ajaran Islam. Tujuan Ikhwanul Muslimin adalah me­wujudkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga islami, bangsa yang islami, pemerintahan yang islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatu­kan perpecahan kaum musli­min, dan untuk menye­bar­luaskan Islam. Pengaruh ajaran sufi hanya terbatas pada zikir atau wirid yang dibaca konsisten setiap pagi dan pe­tang (Al-Ma’tsurat) ber­dasar­kan hadis-hadis yang sahih. Ikhwanul Muslimin menolak segala ben­tuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat.

Dalam perpolitikan di ber­bagai negara, Ikhwanul Muslimin ikut serta dalam proses demo­krasi sebagai sarana untuk memperjuangkan visi-misinya. Itulah sebabnya di Mesir Al-Ikhwan mengikuti proses pe­milu agar bisa berpartisipasi da­l­am membangun negara sesuai ajaran Islam.

Di berbagai media khusus­nya media negara-negara Barat, Ikhwanul Muslimin sering di­kait-kaitkan dengan Al-Qaeda. Pa­da faktanya, Ikhwanul Muslimin berbeda jauh dengan Al-Qaeda. Ideologi, sarana, dan aksi kekerasan yang dilakukan oleh Al-Qaeda secara tegas di­tolak pimpinan Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin lebih mendukung ide per­ubah­an dan reformasi melalui jalan damai dan dialog konstruktif yang bersandarkan pada al-hujjah (alasan) al-mantiq (logika), al-bayyinah (trans­paransi), dan ad-dalil (sesuai rujukan atau dalil). Kekerasan dan radikal­isme bukan jalan perjuangan Ikhwanul Muslimin.

Selama ini ada pihak yang menuduh Al-Ikhwan adalah tempat penggodokan radikal­isme dan terorisme. Tuduhan itu absurd. Tapi karena politik dunia Arab yang masih totali­tarianisme, Al-Ikhwan di­anggap sebagai ancaman ne­gara. Itulah sebabnya, setelah Arab Spring merebak, Al-Ikhwan dituduh sebagai pro­vo­katornya. Akibatnya Al-Ikhwan dibekukan atau di­larang eksis di sejumlah negara Arab seperti Mesir dan Arab Saudi. Padahal, dulu kedua negara ini yang membesarkan Al-Ikhwan.

Mesir melarang Al-Ikhwan, padahal jumlah anggota Al-Ikhwan di seluruh dunia Arab lebih banyak daripada pen­duduk Mesir sendiri. Akibat pelarangan inilah, rezim Mesir tidak bisa lagi mengendalikan mayoritas rakyatnya yang notabene banyak orang Al-Ikhwan-nya.

Dalam kondisi Mesir yang kalut politik karena pem­bubar­an Al-Ikhwan itulah, ISIS masuk dengan ideologi ultrakonser­vatifnya. Padahal, konser­vatis­me dan ekstrem­isme ISIS mu­lanya berakar pada ajaran Wahabi yang di­dukung Kerajaan Arab Saudi. Dengan dana besar, Arab Saudi pun menyebarkan paham Wahabi ke seluruh jazirah Arab, bahkan ke seluruh dunia. Dalam novel ”Inside The Kingdom” karya Carmen bin Laden dise­but­kan 6% dari hasil minyak Saudi digelon­tor­kan untuk penyebaran paham Wahabi.

Tapi kini? Konservatisme dan wahabisme justru me­mukul balik para ”penjagan­ya”. Maka jadilah politik dunia Arab karut-marut. Mesir di­landa ke­kacauan. Yaman ka­cau. Suriah terbakar perang. Qatar dikucil­kan. Oman mulai go­yah, dan Arab Saudi kini mulai mem­bara. Tinggal tunggu waktu meletus.

Dalam kondisi itulah, ISIS mudah masuk. Rezim Mesir, misalnya, akan sulit meng­aman­kan negaranya karena siapa kawan dan lawan sulit dideteksi. Tragedi terorisme di Masjid Al-Raudhah, Jumat, 24 November 2017, dan tragedi terorisme di dua gereja Koptik, Minggu pagi, 9 April 2017 lalu, merupakan dampak dari ke­kacauan politik tadi.

Masa depan negara-negara Arab saat ini sangat problema­tis. Arab Saudi, yang selama ini bertindak sebagai ”jangkar per­damaian” di dunia Arab dari aspek ekonomi, kini tengah mengalami keterpurukan akibat anjloknya harga minyak. Mesir yang dulu menjadi jem­batan dunia Arab untuk ber­dialog de­ngan dunia Barat, kini meng­hadapi kericuhan politik tak berujung. Sementara Kuwait tak berkutik ditekuk Barat, setelah diselamatkan Amerika dari aneksasi oleh Saddam. Irak dan Suriah masih menghadapi ke­kacauan politik, sedangkan Qatar kini dikucil­kan Arab Saudi, Mesir, dan Kuwait. Tinggal Oman yang ”tak lama” lagi akan meng­hadapi perpecahan politik.

Dalam situasi seperti inilah, seharusnya para pemimpin Arab mencari ”wahana” yang bisa mempersatukan semua­nya. Apa wahana itu? Kalau mau jujur, seharusnya agama Islam-lah yang menjadi peng­ikat. Dalam kaitan ini, Islam model apa yang seharusnya menjadi pedoman? Islam yang rahmatan lil-alamin. Yaitu Islam yang rahmat dan mengede­pankan perdamaian. Bukan Islam yang menge­depan­kan kekuasaan dan hegemonis­me. Insya Allah!
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8288 seconds (0.1#10.140)