Revolusi Mental Dilakukan Konsekuen
A
A
A
Prof Dr Frans H Winarta, SH, MH
Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin),
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
SEBAGAI negara demokrasi ketiga terbesar setelah Amerika Serikat dan India, sejarah menceritakan bahwa Indonesia pernah mengalami masa-masa berat di mana masyarakat tidak dapat menjalankan proses demokrasi dengan baik sesuai dengan prinsip pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sebelumnya, selama 30 tahun lebih pada era Orde Baru, kekuasaan terpusat pada seorang pemimpin saja dan kebebasan individu sama sekali tidak dihargai. Era Reformasi 1998 merupakan titik balik bagi negara Indonesia untuk meninggalkan era yang serba-tertutup dan tidak transparan di mana komunikasi antara pemimpin dan rakyat berjalan amat buruk serta lebih bersifat instruktif daripada dialog dan silang pendapat.
Walaupun 19 tahun telah berlalu sejak 1998, Indonesia masih dalam tahap penyesuaian secara bertahap menapaki jalannya keterbukaan dalam demokrasi dengan gaya baru. Hal ini tentunya tidak mudah karena sekian lama bangsa ini telah terbiasa dengan gaya komunikasi dalam sistem pemerintahan yang otoriter yang sejatinya bertentangan dengan hakikat demokrasi. Padahal dalam sistem demokrasi yang seharusnya, komunikasi yang dilakukan bersifat dua arah maupun saling silang dan menerima perbedaan dan pertentangan dalam menyampaikan gagasan maupun pemikiran.
Dengan adanya komunikasi atau interaksi dua arah yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin (dalam hal ini rakyat), akan hadir sosok pemimpin yang disegani dan dikagumi. Komunikasi yang baik biasanya dibangun seorang pemimpin dari nol, dari sosok yang asing menjadi sosok yang paling dipercaya dan diyakini dapat merepresentasikan kepentingan seluruh rakyat dengan latar belakang yang berbeda-beda namun tujuan yang sama.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, komunikasi merupakan esensi dari sebuah kepemimpinan. Beberapa pemimpin juga sering menggunakan simbol-simbol dalam kepemimpinannya sebagai sarana untuk menyampaikan ide dan gagasan. Pesan yang ingin disampaikan dari simbol-simbol tersebut pun dapat terlihat secara terang-terangan maupun secara tersirat. Ada yang bisa menangkap pesan tersebut, ada juga yang tidak. Namun tujuannya selalu sama, yaitu mencapai kesepahaman bersama antara pemimpin dan rakyat.
Standar Kepemimpinan
Saat ini keberadaan Presiden Jokowi sebagai seorang pemimpin di negara ini membawa suasana baru yang terasa lebih humanis. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya fenomena luar biasa yang terjadi semenjak di era kepemimpiannya. Contoh yang dapat dilihat antara lain adalah caranya memprioritaskan program kerja yang harus diimplementasikan dengan nyata; jika target tidak tercapai, susunan kabinet pun tidak segan diubahnya. Kemudian di lain kesempatan, dapat dilihat caranya memperlakukan tamu kepala negara lain yang datang dalam kunjungan kenegaraan, hal tersebut kadang membuat kita teringat bahwa sebenarnya ia juga manusia biasa yang tidak ingin terlalu terikat dengan aturan-aturan protokoler.
Ide, gagasan, serta program-program dan kebijakan dalam pembangunan dapat tersampaikan kepada rakyat melalui gaya komunikasi yang konsisten. Tidak dapat dipungkiri bahwa respons rakyat terhadap kepemimpinan Jokowi melalui kebijakan-kebijakannya sangat beragam, pro-kontra pun menjadi biasa sehingga di sini proses demokrasi dapat berjalan dengan baik. John C Maxwell menyatakan, ”Everything rises and falls on leadership, but knowing how to lead is only half the battle. Understanding leadership and actually leading are two different activities.”
Di sini kualitas karakter menentukan kepemimpinan seseorang, apakah kepemimpinan itu akan membawa suatu bangsa pada kebangkitan ataukah menuju kegagalan. Jokowi dapat memulai dan menyelesaikan ketertinggalan pembangunan selama puluhan tahun dan melaksanakan pemerataan pembangunan dari Sabang hingga Merauke. Di sini, ia menunjukkan integritasnya sebagai seorang pemimpin untuk melaksanakan salah satu amanat konstitusi, yaitu menciptakan kesejahteraan umum melalui berbagai produk legislasi dan kebijakan pemerintah.
Program andalannya, gerakan nasional revolusi mental, merupakan kunci dari perubahan karakter bangsa ke arah yang lebih baik yang berlandaskan kepada nilai-nilai sosial budaya yang tertanam dalam masyarakat. Stigma rakyat terhadap pejabat dan birokrasi begitu buruk selama berpuluh tahun sehingga kerja yang nyata menjadi sebuah fenomena luar biasa bagi rakyat. Efektivitas dan efisiensi kerja merupakan hal yang diprioritaskan sehingga, energi dan biaya rakyat tidak terbuang hanya demi melampaui birokrasi yang berbelit-belit. Mimpi besar Bung Karno untuk menyejahterakan Indonesia dilaksanakan dengan tulus dan konsisten. Para elit politik diajak mengajarkan berpolitik secara santun dan beradab.
Contoh kesederhanaan lainnya dari kepemimpinan Jokowi diperlihatkan melalui acara resepsi pernikahan putrinya di Solo beberapa waktu yang lalu. Beliau tidak mempergunakan aji mumpung dengan mengadakan perhelatan besar resepsi perkawinan di Istana Negara, tetapi hanya mempergunakan gedung miliknya di Solo untuk berpesta dengan rakyat dan menyajikan hidangan bernuansa sederhana seperti: nasi liwet, serabi, gudeg, sate, cendol, dan makanan lokal lainnya. Di sini revolusi mental kentara terasa. Dimana seluruh pejabat, jajaran tinggi pemerintahan, politisi, artis, pengusaha, bahkan orang-orang top papan atas tidak diberi jalur khusus dalam acara resepsi perkawinan tersebut. Semua dianggap sama, berbaris antre selama tiga jam lebih untuk memberikan selamat kepada kedua mempelai.
Sikap egaliter seperti ini tidak mudah dijumpai pada kalangan atas di Indonesia, sehingga yang tidak biasa tentu takjub menyaksikannya. Belum lagi perhelatan ini mendorong perdagangan, usaha, dan kerajinan tangan serta industri rakyat seperti batik dan lain sebagainya, paling tidak di wilayah Solo dan sekitarnya. Pesta yang dilakukan di Medan pun dilakukan dengan standar kepatutan yang sama.
Gerakan nasional revolusi mental bukan hanya jargon. Sebagai seorang pemimpin, Jokowi terus-menerus memberikan teladan di depan kepada rakyat, ia memberikan terobosan-terobosan baru dan menghancurkan tembok-tembok dan jurang pemisah antara pemimpin dengan rakyatnya. Sifat-sifat terpuji Jokowi yang merakyat patut dijadikan salah satu standar baru seorang pemimpin. Tentunya demi kemajuan bangsa Indonesia sesuai dengan amanat konstitusi, UUD 1945.
Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin),
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
SEBAGAI negara demokrasi ketiga terbesar setelah Amerika Serikat dan India, sejarah menceritakan bahwa Indonesia pernah mengalami masa-masa berat di mana masyarakat tidak dapat menjalankan proses demokrasi dengan baik sesuai dengan prinsip pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sebelumnya, selama 30 tahun lebih pada era Orde Baru, kekuasaan terpusat pada seorang pemimpin saja dan kebebasan individu sama sekali tidak dihargai. Era Reformasi 1998 merupakan titik balik bagi negara Indonesia untuk meninggalkan era yang serba-tertutup dan tidak transparan di mana komunikasi antara pemimpin dan rakyat berjalan amat buruk serta lebih bersifat instruktif daripada dialog dan silang pendapat.
Walaupun 19 tahun telah berlalu sejak 1998, Indonesia masih dalam tahap penyesuaian secara bertahap menapaki jalannya keterbukaan dalam demokrasi dengan gaya baru. Hal ini tentunya tidak mudah karena sekian lama bangsa ini telah terbiasa dengan gaya komunikasi dalam sistem pemerintahan yang otoriter yang sejatinya bertentangan dengan hakikat demokrasi. Padahal dalam sistem demokrasi yang seharusnya, komunikasi yang dilakukan bersifat dua arah maupun saling silang dan menerima perbedaan dan pertentangan dalam menyampaikan gagasan maupun pemikiran.
Dengan adanya komunikasi atau interaksi dua arah yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin (dalam hal ini rakyat), akan hadir sosok pemimpin yang disegani dan dikagumi. Komunikasi yang baik biasanya dibangun seorang pemimpin dari nol, dari sosok yang asing menjadi sosok yang paling dipercaya dan diyakini dapat merepresentasikan kepentingan seluruh rakyat dengan latar belakang yang berbeda-beda namun tujuan yang sama.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, komunikasi merupakan esensi dari sebuah kepemimpinan. Beberapa pemimpin juga sering menggunakan simbol-simbol dalam kepemimpinannya sebagai sarana untuk menyampaikan ide dan gagasan. Pesan yang ingin disampaikan dari simbol-simbol tersebut pun dapat terlihat secara terang-terangan maupun secara tersirat. Ada yang bisa menangkap pesan tersebut, ada juga yang tidak. Namun tujuannya selalu sama, yaitu mencapai kesepahaman bersama antara pemimpin dan rakyat.
Standar Kepemimpinan
Saat ini keberadaan Presiden Jokowi sebagai seorang pemimpin di negara ini membawa suasana baru yang terasa lebih humanis. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya fenomena luar biasa yang terjadi semenjak di era kepemimpiannya. Contoh yang dapat dilihat antara lain adalah caranya memprioritaskan program kerja yang harus diimplementasikan dengan nyata; jika target tidak tercapai, susunan kabinet pun tidak segan diubahnya. Kemudian di lain kesempatan, dapat dilihat caranya memperlakukan tamu kepala negara lain yang datang dalam kunjungan kenegaraan, hal tersebut kadang membuat kita teringat bahwa sebenarnya ia juga manusia biasa yang tidak ingin terlalu terikat dengan aturan-aturan protokoler.
Ide, gagasan, serta program-program dan kebijakan dalam pembangunan dapat tersampaikan kepada rakyat melalui gaya komunikasi yang konsisten. Tidak dapat dipungkiri bahwa respons rakyat terhadap kepemimpinan Jokowi melalui kebijakan-kebijakannya sangat beragam, pro-kontra pun menjadi biasa sehingga di sini proses demokrasi dapat berjalan dengan baik. John C Maxwell menyatakan, ”Everything rises and falls on leadership, but knowing how to lead is only half the battle. Understanding leadership and actually leading are two different activities.”
Di sini kualitas karakter menentukan kepemimpinan seseorang, apakah kepemimpinan itu akan membawa suatu bangsa pada kebangkitan ataukah menuju kegagalan. Jokowi dapat memulai dan menyelesaikan ketertinggalan pembangunan selama puluhan tahun dan melaksanakan pemerataan pembangunan dari Sabang hingga Merauke. Di sini, ia menunjukkan integritasnya sebagai seorang pemimpin untuk melaksanakan salah satu amanat konstitusi, yaitu menciptakan kesejahteraan umum melalui berbagai produk legislasi dan kebijakan pemerintah.
Program andalannya, gerakan nasional revolusi mental, merupakan kunci dari perubahan karakter bangsa ke arah yang lebih baik yang berlandaskan kepada nilai-nilai sosial budaya yang tertanam dalam masyarakat. Stigma rakyat terhadap pejabat dan birokrasi begitu buruk selama berpuluh tahun sehingga kerja yang nyata menjadi sebuah fenomena luar biasa bagi rakyat. Efektivitas dan efisiensi kerja merupakan hal yang diprioritaskan sehingga, energi dan biaya rakyat tidak terbuang hanya demi melampaui birokrasi yang berbelit-belit. Mimpi besar Bung Karno untuk menyejahterakan Indonesia dilaksanakan dengan tulus dan konsisten. Para elit politik diajak mengajarkan berpolitik secara santun dan beradab.
Contoh kesederhanaan lainnya dari kepemimpinan Jokowi diperlihatkan melalui acara resepsi pernikahan putrinya di Solo beberapa waktu yang lalu. Beliau tidak mempergunakan aji mumpung dengan mengadakan perhelatan besar resepsi perkawinan di Istana Negara, tetapi hanya mempergunakan gedung miliknya di Solo untuk berpesta dengan rakyat dan menyajikan hidangan bernuansa sederhana seperti: nasi liwet, serabi, gudeg, sate, cendol, dan makanan lokal lainnya. Di sini revolusi mental kentara terasa. Dimana seluruh pejabat, jajaran tinggi pemerintahan, politisi, artis, pengusaha, bahkan orang-orang top papan atas tidak diberi jalur khusus dalam acara resepsi perkawinan tersebut. Semua dianggap sama, berbaris antre selama tiga jam lebih untuk memberikan selamat kepada kedua mempelai.
Sikap egaliter seperti ini tidak mudah dijumpai pada kalangan atas di Indonesia, sehingga yang tidak biasa tentu takjub menyaksikannya. Belum lagi perhelatan ini mendorong perdagangan, usaha, dan kerajinan tangan serta industri rakyat seperti batik dan lain sebagainya, paling tidak di wilayah Solo dan sekitarnya. Pesta yang dilakukan di Medan pun dilakukan dengan standar kepatutan yang sama.
Gerakan nasional revolusi mental bukan hanya jargon. Sebagai seorang pemimpin, Jokowi terus-menerus memberikan teladan di depan kepada rakyat, ia memberikan terobosan-terobosan baru dan menghancurkan tembok-tembok dan jurang pemisah antara pemimpin dengan rakyatnya. Sifat-sifat terpuji Jokowi yang merakyat patut dijadikan salah satu standar baru seorang pemimpin. Tentunya demi kemajuan bangsa Indonesia sesuai dengan amanat konstitusi, UUD 1945.
(kri)