Revolusi Mental Dilakukan Konsekuen

Selasa, 28 November 2017 - 08:39 WIB
Revolusi Mental Dilakukan Konsekuen
Revolusi Mental Dilakukan Konsekuen
A A A
Prof Dr Frans H Winarta, SH, MH
Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin),
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

SEBAGAI negara demokrasi ketiga terbesar setelah Amerika Serikat dan India, sejarah menceritakan bahwa Indonesia pernah mengalami masa-masa berat di mana ma­syarakat tidak dapat men­jalan­kan proses demokrasi dengan baik sesuai dengan prinsip pe­me­rintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Se­be­lum­nya, selama 30 tahun lebih pada era Orde Baru, kekuasaan ter­pusat pada seorang pemim­pin saja dan kebebasan indi­vidu sama sekali tidak dihargai. Era Reformasi 1998 merupa­kan titik balik bagi negara Indonesia untuk mening­gal­kan era yang serba-tertutup dan tidak trans­paran di mana komunikasi antara pemimpin dan rakyat berjalan amat buruk serta lebih bersifat instruktif daripada dialog dan silang pen­dapat.

Walaupun 19 tahun telah berlalu sejak 1998, Indonesia masih dalam tahap penye­suai­an secara bertahap me­napaki jalannya keterbukaan dalam demokrasi dengan gaya baru. Hal ini tentunya tidak mudah karena sekian lama bangsa ini telah terbiasa de­ngan gaya ko­munikasi dalam sistem peme­rintahan yang otoriter yang sejatinya ber­tentangan dengan hakikat demokrasi. Padahal dalam sistem demokrasi yang se­harusnya, komunikasi yang di­lakukan bersifat dua arah mau­pun saling silang dan me­nerima perbedaan dan per­ten­tangan dalam menyam­paikan gagasan maupun pemikiran.

Dengan adanya komuni­kasi atau interaksi dua arah yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin (dalam hal ini rakyat), akan hadir sosok pemimpin yang disegani dan dikagumi. Komunikasi yang baik biasanya dibangun se­orang pemimpin dari nol, dari sosok yang asing menjadi so­sok yang paling di­percaya dan diyakini dapat me­represen­tasikan kepentingan seluruh rakyat dengan latar belakang yang berbeda-beda namun tuju­an yang sama.

Dalam kehidupan ber­bangsa dan bernegara, komu­nikasi merupakan esensi dari sebuah kepemimpinan. Bebe­rapa pemimpin juga sering meng­gunakan simbol-simbol dalam kepemimpinannya se­bagai sarana untuk menyam­pai­kan ide dan gagasan. Pesan yang ingin disampaikan dari simbol-simbol tersebut pun dapat terlihat secara terang-terangan maupun secara ter­sirat. Ada yang bisa me­nangkap pesan tersebut, ada juga yang tidak. Namun tujuannya selalu sama, yaitu mencapai kese­pa­ham­­an ber­sama antara pemim­pin dan rakyat.

Standar Kepemimpinan
Saat ini keberadaan Pre­siden Jokowi sebagai seorang pemimpin di negara ini mem­bawa suasana baru yang terasa lebih humanis. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya fenomena luar biasa yang ter­jadi semenjak di era kepe­mim­piannya. Contoh yang dapat di­lihat antara lain adalah caranya memprioritaskan program kerja yang harus di­imple­men­tasi­kan dengan nyata; jika target tidak tercapai, susunan kabinet pun tidak segan di­ubah­nya. Kemudian di lain kesem­pat­an, dapat dilihat caranya mem­perlakukan tamu kepala negara lain yang datang dalam kunjungan kenegaraan, hal tersebut kadang membuat kita teringat bahwa sebenarnya ia juga manusia biasa yang tidak ingin terlalu terikat dengan aturan-aturan protokoler.

Ide, gagasan, serta program-program dan kebijakan dalam pembangunan dapat tersam­pai­kan kepada rakyat melalui gaya komunikasi yang kon­sisten. Tidak dapat dipungkiri bahwa respons rakyat terhadap kepemimpinan Jokowi melalui kebijakan-kebijakannya sangat beragam, pro-kontra pun men­jadi biasa sehingga di sini proses demokrasi dapat berjalan dengan baik. John C Maxwell menyatakan, ”Everything rises and falls on leadership, but knowing how to lead is only half the battle. Understanding leader­s­hip and actually leading are two different activities.”

Di sini kualitas karakter menentukan kepemimpinan seseorang, apakah kepemimpinan itu akan membawa suatu bangsa pada kebangkitan ataukah menuju kegagalan. Jokowi dapat me­mulai dan menyelesaikan keter­tinggalan pembangunan se­lama puluhan tahun dan me­laksanakan pemerataan pem­bangunan dari Sabang hingga Merauke. Di sini, ia menun­juk­kan integritasnya sebagai se­orang pemimpin untuk melak­sanakan salah satu amanat konstitusi, yaitu menciptakan kesejahteraan umum melalui berbagai produk legislasi dan kebijakan pemerintah.

Program andalannya, gerak­an nasional revolusi mental, merupakan kunci dari per­ubah­an karakter bangsa ke arah yang lebih baik yang berlandaskan kepada nilai-nilai sosial budaya yang tertanam dalam masya­ra­kat. Stigma rakyat terhadap pe­jabat dan birokrasi begitu buruk selama berpuluh tahun se­hingga kerja yang nyata menjadi sebuah fenomena luar biasa bagi rakyat. Efektivitas dan efisiensi kerja merupakan hal yang diprioritaskan sehingga, energi dan biaya rakyat tidak terbuang hanya demi melam­paui birokrasi yang berbelit-belit. Mimpi besar Bung Karno untuk menyejahterakan Indo­nesia dilaksanakan dengan tulus dan konsisten. Para elit politik diajak mengajarkan berpolitik secara santun dan beradab.

Contoh kesederhanaan lain­nya dari kepemimpinan Jokowi diperlihatkan melalui acara resepsi pernikahan putrinya di Solo beberapa waktu yang lalu. Beliau tidak mempergunakan aji mumpung dengan meng­ada­kan perhelatan besar resepsi perkawinan di Istana Negara, tetapi hanya mempergunakan gedung miliknya di Solo untuk berpesta dengan rakyat dan me­nyajikan hidangan ber­nuansa sederhana seperti: nasi liwet, serabi, gudeg, sate, cendol, dan makanan lokal lainnya. Di sini revolusi mental kentara terasa. Dimana seluruh pejabat, jajaran tinggi pemerintahan, politisi, artis, pengusaha, bahkan orang-orang top papan atas tidak diberi jalur khusus dalam acara resepsi perkawinan tersebut. Semua dianggap sama, berbaris antre selama tiga jam lebih untuk memberikan selamat kepada kedua mempelai.

Sikap egaliter seperti ini tidak mudah dijumpai pada kalangan atas di Indonesia, sehingga yang tidak biasa tentu takjub menyak­si­kan­nya. Belum lagi perhelatan ini mendorong perdagangan, usaha, dan ke­rajinan tangan serta industri rakyat seperti batik dan lain se­bagainya, paling tidak di wilayah Solo dan se­kitarnya. Pesta yang dilakukan di Medan pun di­laku­kan de­ngan standar ke­patut­an yang sama.

Gerakan nasional revolusi mental bukan hanya jargon. Sebagai seorang pemimpin, Jokowi terus-menerus mem­beri­kan teladan di depan ke­pada rakyat, ia memberikan terobosan-terobosan baru dan menghancur­kan tembok-tembok dan jurang pemisah antara pemimpin de­ngan rakyatnya. Sifat-sifat terpuji Jokowi yang merakyat patut dijadikan salah satu standar baru seorang pemimpin. Ten­tu­nya demi kemajuan bangsa Indonesia sesuai dengan ama­nat konstitusi, UUD 1945.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3222 seconds (0.1#10.140)