Djohan Effendi, Dialog dan Persatuan Indonesia
A
A
A
Tom Saptaatmaja
Teolog dan Pemerhati Budaya
INDONESIA kembali kehilangan salah satu tokoh penting. Menteri sekretaris negara di era Presiden Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, meninggal dunia di Geelong, Australia, Jumat (17/11). Sejak beberapa tahun belakangan ini, dia berkutat dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Dia dikabarkan sudah empat kali mengalami serangan stroke. Menurut keluarga, jenazah Djohan tidak akan dipulangkan ke Indonesia, tapi dimakamkan di Geelong.
Pria yang lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, 1 Oktober 1939 itu dikenal sebagai cendekiawan muslim terkemuka, pemikir teologi keberagaman, dan perintis dialog lintas agama. Pemikiran Djohan senada dengan pemikiran Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang ditandai dengan keterbukaan, toleransi, dan amat menghargai perbedaan. Pemikiran demikian jelas amat positif bagi bangsa yang majemuk ini.
Jika dikaji, pemikiran tersebut bertolak dari kenyataan bahwa agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen, dan Islam merupakan pewaris satu keyakinan yang sama, yakni iman Ibrahim (”Abrahmic Religion”). Leluhur dari ketiga agama besar ini adalah Ibrahim, yang menjunjung monoteisme. Jadi, anak-cucu Ibrahim perlu hidup rukun dan saling menghargai, demi perdamaian dunia.
Tidak heran, guna mendorong dialog, Djohan gemar mengibaratkan para penganut agama samawi sebagai umat yang sama-sama mendiami sebuah rumah besar yang banyak kamarnya dan masing-masing mempunyai kamar sendiri. Saat di dalam kamar,setiap penghuni kamar bisa menggunakan dan merawat kamarnya sendiri-sendiri serta boleh berbuat apa pun di dalamnya. Namun saat berada di ruang keluarga atau di ruang tamu, kepentingan masing-masing kamar dilebur untuk kepentingan rumah bersama. Jadi, para penghuni rumah tanpa mempersoalkan asal kamar masing-masing harus bersatu merawat rumah itu dan mempertahankannya secara bersama-sama dari serangan yang datang dari luar.
Pemikiran tersebut jelas amat cocok dengan kebinekaan Indonesia. Apalagi para pendiri bangsa sudah mewariskan semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan ini berasal dari kitab Sutasoma (1380) karangan Empu Tantular di zaman kejayaan Majapahit. Lengkapnya berbunyi ”Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mengrwa ”. Berbeda-beda cara beragama, tetapi semuanya satu dalam kebenaran tertinggi.
Maka Djohan juga amat terbuka terhadap pemikiran apa pun yang bisa mempertemukan sesama anak-cucu Ibrahim, khususnya yang mendiami negeri ini. Misalnya pemikiran perenialisme. Seperti diketahui, istilah perenialisme pertama kali digunakan Agustinus Steucchus dalam bukunya, De Parenni Philosophia, terbit 1540. Frithjof Schuon juga menulis Islam Filsafat Perenial (Mizan 1998). Filsafat atau pemikiran ini meyakini bahwa kebenaran abadi selalu berada di pusat semua tradisi spiritual entah Hindu, Kristen, atau Islam.
Menurut Djohan yang dikenal luas sebagai sosok yang jujur dan sederhana, perenialisme sangat cocok dan relevan, karena bisa menghindarkan penganut agama dari fanatisme buta atau pemikiran radikal yang sempit.
Lagipula, dalam sejarah sudah terbukti perenialisme amat positif sumbangannya, sebab selalu mencoba menyadarkan setiap pemeluk agama bahwa setiap agama punya pekerjaan rumah (PR) yang sama, yakni memajukan persaudaraan antarmanusia tanpa memandang agama dan alasan primordial lain, komitmen pada perdamaian, dan antisegala diskriminasi, kekerasan, dan penindasan.
Untuk itu, setiap pemeluk agama perlu terus mendorong terjadinya dialog, kerja sama, dan segala bentuk interaksi positif demi persaudaraan sejati di dalam satu bumi yang sama, yang diciptakan oleh Satu Pencipta yang sama pula.
Sayangnya, dalam menafsirkan semangat perenial itu kadang bisa muncul pendapat simplistis seolah ”semua agama sama saja, tanpa ada perbedaan sama sekali”. Ini yang disebut oleh almarhum Djohan sebagai kesalahan sinkretisme yang simplistis, relativisme agama yang naif, atau paham pluralisme yang gagal. Mungkin mereka yang berpaham seperti itu lebih didorong oleh semangat untuk sekadar menyenangkan pihak lain. Jelas, pandangan demikian sangat keliru dan harus dihindari kalau kita ingin mengembangkan dialog dan interaksi yang jujur di antara berbagai umat beragama.
Meski demikian, semoga kita juga tidak jatuh dalam semangat eksklusif ekstrem yang hanya memutlakkan perbedaan agama. Mereka yang berpaham eksklusif ini tegas menyatakan, ”Hanya agamaku yang paling benar, agama lain adalah sesat.” Tidak perlu ada dialog lagi. Pandangan demikian dalam psikologi disebut narsistis.
Bagi mereka, agama berada di atas Tuhan dan manusia. Mereka ingin membela agama mati-matian, termasuk menggunakan berbagai cara kekerasan. Padahal menurut Gus Dur, sahabat dekat Djohan, Tuhan tidak perlu dibela.
Itulah sebabnya Djohan tidak lelah memperjuangkan dialog agar umat beragama terhindar dari penghayatan narsistis, yang antitoleransi dan gampang memicu konflik. Bukan hanya konflik antaragama, melainkan juga konflik dalam internal keagamaan sendiri, yang biasanya justru lebih sengit dan bersifat laten.
Maka agar perbedaan dan persamaan agama tidak menimbulkan konflik dan merusak persatuan bangsa, yang diperlukan bukan hanya dialog dan interaksi antaragama, melainkan juga dialog dan interaksi dalam internal penganut agama yang sama.
Dalam dialog dan interaksi dengan siapa pun, tidak keliru jika kita tetap meyakini agama kita yang paling baik ”bagiku”. Cuma, kita jangan terjebak dalam arogansi bahwa yang lain pasti sesat. Dengan pemahaman seperti itu, kita akan bisa berkata seperti Gandhi: ”Aku menghormati agama orang lain, seperti aku menghormati agamaku sendiri!”
Jelas pemikiran Djohan, seperti dibeberkan sebagian di atas, tidak boleh ikut dikuburkan bersama jasadnya. Kita perlu terus menghidupkan pemikiran inklusif seperti itu demi persatuan dan keutuhan bangsa, terlebih ketika hari-hari ini radikalisme agama sedang mengancam Pancasila dan hendak memecah belah anak-anak bangsa.
Dan di atas segala-galanya, Djohan bukan seorang teoretikus. Dia praktik langsung di lapangan dengan menyapa dan bersilaturahim dengan saudara-saudaranya yang berbeda agama. Djohan dikenal luas sebagai sosok yang telah melintas batas. Bukan seorang cendekiawan yang terjebak dalam tempurung agamanya sendiri. Poin pentingnya, kita semua tidak sama, termasuk dalam memilih agama. Namun, kita selalu bisa bekerja sama demi kerukunan, keutuhan, dan kejayaan bangsa. Dalam tulisannya ”Agama dan Kewarganegaraan”, Menag Lukman Hakim Saifuddin sudah menjelaskan bahwa menjaga keutuhan bangsa merupakan kewajiban setiap penganut agama sekaligus setiap warga negara (Opini KORAN SINDO, 22/11). *
Teolog dan Pemerhati Budaya
INDONESIA kembali kehilangan salah satu tokoh penting. Menteri sekretaris negara di era Presiden Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, meninggal dunia di Geelong, Australia, Jumat (17/11). Sejak beberapa tahun belakangan ini, dia berkutat dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Dia dikabarkan sudah empat kali mengalami serangan stroke. Menurut keluarga, jenazah Djohan tidak akan dipulangkan ke Indonesia, tapi dimakamkan di Geelong.
Pria yang lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, 1 Oktober 1939 itu dikenal sebagai cendekiawan muslim terkemuka, pemikir teologi keberagaman, dan perintis dialog lintas agama. Pemikiran Djohan senada dengan pemikiran Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang ditandai dengan keterbukaan, toleransi, dan amat menghargai perbedaan. Pemikiran demikian jelas amat positif bagi bangsa yang majemuk ini.
Jika dikaji, pemikiran tersebut bertolak dari kenyataan bahwa agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen, dan Islam merupakan pewaris satu keyakinan yang sama, yakni iman Ibrahim (”Abrahmic Religion”). Leluhur dari ketiga agama besar ini adalah Ibrahim, yang menjunjung monoteisme. Jadi, anak-cucu Ibrahim perlu hidup rukun dan saling menghargai, demi perdamaian dunia.
Tidak heran, guna mendorong dialog, Djohan gemar mengibaratkan para penganut agama samawi sebagai umat yang sama-sama mendiami sebuah rumah besar yang banyak kamarnya dan masing-masing mempunyai kamar sendiri. Saat di dalam kamar,setiap penghuni kamar bisa menggunakan dan merawat kamarnya sendiri-sendiri serta boleh berbuat apa pun di dalamnya. Namun saat berada di ruang keluarga atau di ruang tamu, kepentingan masing-masing kamar dilebur untuk kepentingan rumah bersama. Jadi, para penghuni rumah tanpa mempersoalkan asal kamar masing-masing harus bersatu merawat rumah itu dan mempertahankannya secara bersama-sama dari serangan yang datang dari luar.
Pemikiran tersebut jelas amat cocok dengan kebinekaan Indonesia. Apalagi para pendiri bangsa sudah mewariskan semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan ini berasal dari kitab Sutasoma (1380) karangan Empu Tantular di zaman kejayaan Majapahit. Lengkapnya berbunyi ”Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mengrwa ”. Berbeda-beda cara beragama, tetapi semuanya satu dalam kebenaran tertinggi.
Maka Djohan juga amat terbuka terhadap pemikiran apa pun yang bisa mempertemukan sesama anak-cucu Ibrahim, khususnya yang mendiami negeri ini. Misalnya pemikiran perenialisme. Seperti diketahui, istilah perenialisme pertama kali digunakan Agustinus Steucchus dalam bukunya, De Parenni Philosophia, terbit 1540. Frithjof Schuon juga menulis Islam Filsafat Perenial (Mizan 1998). Filsafat atau pemikiran ini meyakini bahwa kebenaran abadi selalu berada di pusat semua tradisi spiritual entah Hindu, Kristen, atau Islam.
Menurut Djohan yang dikenal luas sebagai sosok yang jujur dan sederhana, perenialisme sangat cocok dan relevan, karena bisa menghindarkan penganut agama dari fanatisme buta atau pemikiran radikal yang sempit.
Lagipula, dalam sejarah sudah terbukti perenialisme amat positif sumbangannya, sebab selalu mencoba menyadarkan setiap pemeluk agama bahwa setiap agama punya pekerjaan rumah (PR) yang sama, yakni memajukan persaudaraan antarmanusia tanpa memandang agama dan alasan primordial lain, komitmen pada perdamaian, dan antisegala diskriminasi, kekerasan, dan penindasan.
Untuk itu, setiap pemeluk agama perlu terus mendorong terjadinya dialog, kerja sama, dan segala bentuk interaksi positif demi persaudaraan sejati di dalam satu bumi yang sama, yang diciptakan oleh Satu Pencipta yang sama pula.
Sayangnya, dalam menafsirkan semangat perenial itu kadang bisa muncul pendapat simplistis seolah ”semua agama sama saja, tanpa ada perbedaan sama sekali”. Ini yang disebut oleh almarhum Djohan sebagai kesalahan sinkretisme yang simplistis, relativisme agama yang naif, atau paham pluralisme yang gagal. Mungkin mereka yang berpaham seperti itu lebih didorong oleh semangat untuk sekadar menyenangkan pihak lain. Jelas, pandangan demikian sangat keliru dan harus dihindari kalau kita ingin mengembangkan dialog dan interaksi yang jujur di antara berbagai umat beragama.
Meski demikian, semoga kita juga tidak jatuh dalam semangat eksklusif ekstrem yang hanya memutlakkan perbedaan agama. Mereka yang berpaham eksklusif ini tegas menyatakan, ”Hanya agamaku yang paling benar, agama lain adalah sesat.” Tidak perlu ada dialog lagi. Pandangan demikian dalam psikologi disebut narsistis.
Bagi mereka, agama berada di atas Tuhan dan manusia. Mereka ingin membela agama mati-matian, termasuk menggunakan berbagai cara kekerasan. Padahal menurut Gus Dur, sahabat dekat Djohan, Tuhan tidak perlu dibela.
Itulah sebabnya Djohan tidak lelah memperjuangkan dialog agar umat beragama terhindar dari penghayatan narsistis, yang antitoleransi dan gampang memicu konflik. Bukan hanya konflik antaragama, melainkan juga konflik dalam internal keagamaan sendiri, yang biasanya justru lebih sengit dan bersifat laten.
Maka agar perbedaan dan persamaan agama tidak menimbulkan konflik dan merusak persatuan bangsa, yang diperlukan bukan hanya dialog dan interaksi antaragama, melainkan juga dialog dan interaksi dalam internal penganut agama yang sama.
Dalam dialog dan interaksi dengan siapa pun, tidak keliru jika kita tetap meyakini agama kita yang paling baik ”bagiku”. Cuma, kita jangan terjebak dalam arogansi bahwa yang lain pasti sesat. Dengan pemahaman seperti itu, kita akan bisa berkata seperti Gandhi: ”Aku menghormati agama orang lain, seperti aku menghormati agamaku sendiri!”
Jelas pemikiran Djohan, seperti dibeberkan sebagian di atas, tidak boleh ikut dikuburkan bersama jasadnya. Kita perlu terus menghidupkan pemikiran inklusif seperti itu demi persatuan dan keutuhan bangsa, terlebih ketika hari-hari ini radikalisme agama sedang mengancam Pancasila dan hendak memecah belah anak-anak bangsa.
Dan di atas segala-galanya, Djohan bukan seorang teoretikus. Dia praktik langsung di lapangan dengan menyapa dan bersilaturahim dengan saudara-saudaranya yang berbeda agama. Djohan dikenal luas sebagai sosok yang telah melintas batas. Bukan seorang cendekiawan yang terjebak dalam tempurung agamanya sendiri. Poin pentingnya, kita semua tidak sama, termasuk dalam memilih agama. Namun, kita selalu bisa bekerja sama demi kerukunan, keutuhan, dan kejayaan bangsa. Dalam tulisannya ”Agama dan Kewarganegaraan”, Menag Lukman Hakim Saifuddin sudah menjelaskan bahwa menjaga keutuhan bangsa merupakan kewajiban setiap penganut agama sekaligus setiap warga negara (Opini KORAN SINDO, 22/11). *
(mhd)