Membangun Negeri, Memihaki Bangsa Sendiri
A
A
A
Herzaky Mahendra Putra
Direktur Manilka Research, Anggota KAHMI
Untuk pertama kalinya, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) mengadakan Silaturahmi Kebangsaan dan Simposium Nasional Pertama untuk para Guru Besar dan intelektual alumni HMI.
Lebih dari 200 guru besar dan intelektual memadati gedung MPR/DPR yang menjadi lokasi simposium selama dua hari pertengahan November lalu.
Mengingat yang mengadakan ini organisasi alumni dari HMI, salah satu organisasi kepemudaan tertua, beberapa pertanyaan pun kemudian menghampiri berkaitan dengan pelaksanaan simposium ini.
Pertama, setelah sekian lama berdiri (HMI berdiri 5 Februari 1947, KAHMI selaku Korps Alumni HMI sendiri dibentuk pada 17 September 1966), mengapa baru sekarang mengadakan pertemuan untuk para guru besar dan intelektualnya? Ada momentum apa yang ingin diraih melalui pertemuan kali ini?
Kedua, kehadiran 36 guru besar, 85 doktor, dan 126 master maupun kandidat doktor, menjadikan silaturahmi ini suatu pertemuan ilmiah yang luar biasa.
Apalagi, yang hadir berasal dari berbagai disiplin ilmu dan berbagai perguruan tinggi serta dari hampir seluruh pelosok Indonesia. Capaian apa yang sebenarnya diharapkan?
Ketiga, pemilihan tema "Membangun Negeri, Memihaki Bangsa Sendiri" memberikan pesan ada yang perlu diperbaiki dari pembangunan selama ini.
Pertanyaannya adalah, peran yang bakal diambil KAHMI? Sejauh mana KAHMI berusaha berkontribusi dalam membangun negeri dan memihaki bangsa sendiri sebagai suatu entitas? Mengarah ke entitas ilmiah, ataukah entitas politik?
Intelektual Pesanan
Konteks pertama mengenai pentingnya simposium para guru besar dan intelektual alumni HMI disampaikan oleh Prof Dr Mahfud MD selaku koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI.
Mahfud MD menguraikan perbedaan antara intelektual pesanan atau intelektual tukang, dengan cendekiawan ketika memberikan sambutan di simposium ini. Intelektual pesanan adalah intelektual yang bisa menerima pesanan tentang pendapat ilmiah sesuai dengan keinginan pemesan.
Sementara menurut Mahfud, dalam simposium ini para guru besar dan intelektual alumni HMI berkumpul untuk tidak hanya bekerja berdasarkan dalil-dalil keilmuan yang kuat, tapi juga bagaimana kita menjadi cendekiawan.
Sikap kecendekiawanan itu tidak hanya intelektualitasnya kuat, tetapi juga moralitas dan integritasnya tinggi untuk memihak kepada kebenaran, memihak kepada kaum lemah. Itu yang harus benar-benar diingat dan direnungkan.
Tentu saja keprihatinan Mahfud MD sangat relevan dengan situasi saat ini. Begitu banyak pendapat pakar bertebaran di media massa maupun media sosial mengenai situasi dan permasalahan terkini di masyarakat.
Hanya bukannya memberikan pencerahan, pendapat para pakar dan perdebatan antarkaum intelektual yang terjadi di ranah publik malah sering mengaburkan permasalahan sebenarnya.
Padahal, seharusnya usulan solusi yang didiskusikan sehingga permasalahannya bisa segera selesai, bukan malah sibuk menyangkal kalau negeri ini masih memiliki masalah. Inilah akibat meluasnya fenomena intelektual tukang, intelektual yang menyampaikan pendapat ilmiah sesuai dengan keinginan pemesan.
Simposium ini pun sebagai sarana saling mengingatkan sesama guru besar dan intelektual alumni HMI agar tidak terjebak dalam fenomena intelektual pesanan yang sedang mewabah.
Agar selalu mengedepankan moralitas dan integritas yang tinggi, bukan hanya intelektualitas saja. Hal ini ditandai dengan keberpihakan para intelektual pada kebenaran, kepada kaum lemah, bukannya kepada pemilik modal.
Ketimpangan Akut
Konteks kedua mengenai pentingnya pelaksanaan simposium ini adalah pertanyaan yang disampaikan Ketua MPR RI Dr (HC) Zulkifli Hasan SE MM ketika membuka acara ini: sudahkah kesejahteraan merata untuk semua? Dan, apakah janji keadilan sosial sudah terwujud? Pertanyaan ini mungkin cukup membingungkan, terutama bagi kita-kita yang terbiasa hidup dalam kenyamanan, dan merasa keadaan baik-baik saja.
Namun, fakta-fakta yang selanjutnya disajikan Zulkifli Hasan cukup memprihatinkan. Menurut data LPS per Agustus 2017, pemilik rekening dengan tabungan di atas Rp5 miliar hanya 0,09 juta nasabah, namun menguasai 47,34% total simpanan perbankan.
Sementara menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria, 71% lahan di Indonesia dikuasai oleh korporasi kehutanan dan 23% dikuasai oleh korporasi perkebunan skala besar. Jadi, hanya 6% lahan milik masyarakat. Ada ketimpangan yang sangat jelas dalam masyarakat kita.
Hal ini diperkuat dengan laporan mengenai situasi Indonesia pada 2016 yang dirilis Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia (INFID) pada Februari 2017. Menurut laporan yang berjudul "Menuju Indonesia yang Lebih Setara", peringkat ketimpangan kekayaan Indonesia berada di posisi enam terburuk di dunia.
Dalam laporan yang sama, data Credit Suisse menunjukkan 1% orang terkaya di Indonesia menguasai setengah atau 49% total kekayaan nasional pada 2016. Sementara itu, 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 77% dari total kekayaan nasional.
Mahfud MD sendiri mengingatkan, ada perbedaan signifikan antara pembangunan Indonesia dan pembangunan di Indonesia. Pembangunan Indonesia adalah pembangunan yang manfaatnya dirasakan rakyat Indonesia.
Pembangunan di Indonesia hanya pembangunannya yang dilakukan di Indonesia, sedangkan manfaatnya hanya dirasakan sebagian kecil rakyat Indonesia, dan lebih banyak dirasakan pihak asing.
Kondisi-kondisi di atas menunjukkan ketimpangan di Indonesia sangatlah akut, dan ini ditegaskan Prof Dr R Siti Zuhro MA ketika menjadi pembicara pertama di simposium ini.
Padahal, inti dari Ekonomi Pancasila adalah rasa senasib sepenanggungan, tumbuh bersama, sejahtera bersama. Simposium ini pun sangat relevan untuk diadakan, sebagai sarana menggugah kesadaran di kalangan guru besar dan intelektual alumni HMI bahwa bangsa Indonesia saat ini mengalami masalah besar berupa ketimpangan akut, dan tentu saja sebagai sarana menggagas pemikiran-pemikiran konstruktif untuk memecahkan permasalahan ini.
Agar pembangunan di negeri ini, benar-benar memihaki bangsa sendiri, sesuai dengan tema simposium.
Ketimpangan akut merupakan salah satu masalah besar bangsa ini, selain kemiskinan, ketidakadilan hukum, dan korupsi.
Peran KAHMI
Lalu, bagaimana simposium para guru besar dan intelektual alumni HMI ini bisa memberikan dampak positif, dalam usaha menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar bangsa ini? Pertama , para intelektual KAHMI mesti merespons situasi saat ini dengan cara-cara yang inovatif dan menggunakan pendekatan interdisipliner.
Kedua, solusi yang diusulkan sebaiknya solusi yang bersifat policy oriented dan implementatif. Policy oriented dalam konteks fokus pada memberikan masukan dan atau mengkritisi kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah saat ini. Implementatif dalam konteks bisa diterapkan di lapangan, bukan sekadar bagus dalam konsep dan memenuhi kaidah-kaidah ilmiah.
Terakhir, simposium ini barulah awal. KAHMI wajib merangkul elemen-elemen bangsa yang lain dalam membangun negeri ini ke depannya.
Sebagaimana yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, keberadaan intelektual memang baik dalam merumuskan konsep-konsep baru, namun yang mengeksekusinya di lapangan adalah pihak-pihak lain.
Tentunya kolaborasi dengan berbagai elemen bangsa merupakan suatu keharusan bagi KAHMI jika ingin hasil dari simposium ini memberikan manfaat bagi bangsa.
Kolaborasi inilah yang sebaiknya menjadi fokus bagi KAHMI, daripada menggunakan energi yang ada untuk membentuk entitas baru lagi, seperti membangun perguruan tinggi KAHMI, bahkan partai politik KAHMI.
Direktur Manilka Research, Anggota KAHMI
Untuk pertama kalinya, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) mengadakan Silaturahmi Kebangsaan dan Simposium Nasional Pertama untuk para Guru Besar dan intelektual alumni HMI.
Lebih dari 200 guru besar dan intelektual memadati gedung MPR/DPR yang menjadi lokasi simposium selama dua hari pertengahan November lalu.
Mengingat yang mengadakan ini organisasi alumni dari HMI, salah satu organisasi kepemudaan tertua, beberapa pertanyaan pun kemudian menghampiri berkaitan dengan pelaksanaan simposium ini.
Pertama, setelah sekian lama berdiri (HMI berdiri 5 Februari 1947, KAHMI selaku Korps Alumni HMI sendiri dibentuk pada 17 September 1966), mengapa baru sekarang mengadakan pertemuan untuk para guru besar dan intelektualnya? Ada momentum apa yang ingin diraih melalui pertemuan kali ini?
Kedua, kehadiran 36 guru besar, 85 doktor, dan 126 master maupun kandidat doktor, menjadikan silaturahmi ini suatu pertemuan ilmiah yang luar biasa.
Apalagi, yang hadir berasal dari berbagai disiplin ilmu dan berbagai perguruan tinggi serta dari hampir seluruh pelosok Indonesia. Capaian apa yang sebenarnya diharapkan?
Ketiga, pemilihan tema "Membangun Negeri, Memihaki Bangsa Sendiri" memberikan pesan ada yang perlu diperbaiki dari pembangunan selama ini.
Pertanyaannya adalah, peran yang bakal diambil KAHMI? Sejauh mana KAHMI berusaha berkontribusi dalam membangun negeri dan memihaki bangsa sendiri sebagai suatu entitas? Mengarah ke entitas ilmiah, ataukah entitas politik?
Intelektual Pesanan
Konteks pertama mengenai pentingnya simposium para guru besar dan intelektual alumni HMI disampaikan oleh Prof Dr Mahfud MD selaku koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI.
Mahfud MD menguraikan perbedaan antara intelektual pesanan atau intelektual tukang, dengan cendekiawan ketika memberikan sambutan di simposium ini. Intelektual pesanan adalah intelektual yang bisa menerima pesanan tentang pendapat ilmiah sesuai dengan keinginan pemesan.
Sementara menurut Mahfud, dalam simposium ini para guru besar dan intelektual alumni HMI berkumpul untuk tidak hanya bekerja berdasarkan dalil-dalil keilmuan yang kuat, tapi juga bagaimana kita menjadi cendekiawan.
Sikap kecendekiawanan itu tidak hanya intelektualitasnya kuat, tetapi juga moralitas dan integritasnya tinggi untuk memihak kepada kebenaran, memihak kepada kaum lemah. Itu yang harus benar-benar diingat dan direnungkan.
Tentu saja keprihatinan Mahfud MD sangat relevan dengan situasi saat ini. Begitu banyak pendapat pakar bertebaran di media massa maupun media sosial mengenai situasi dan permasalahan terkini di masyarakat.
Hanya bukannya memberikan pencerahan, pendapat para pakar dan perdebatan antarkaum intelektual yang terjadi di ranah publik malah sering mengaburkan permasalahan sebenarnya.
Padahal, seharusnya usulan solusi yang didiskusikan sehingga permasalahannya bisa segera selesai, bukan malah sibuk menyangkal kalau negeri ini masih memiliki masalah. Inilah akibat meluasnya fenomena intelektual tukang, intelektual yang menyampaikan pendapat ilmiah sesuai dengan keinginan pemesan.
Simposium ini pun sebagai sarana saling mengingatkan sesama guru besar dan intelektual alumni HMI agar tidak terjebak dalam fenomena intelektual pesanan yang sedang mewabah.
Agar selalu mengedepankan moralitas dan integritas yang tinggi, bukan hanya intelektualitas saja. Hal ini ditandai dengan keberpihakan para intelektual pada kebenaran, kepada kaum lemah, bukannya kepada pemilik modal.
Ketimpangan Akut
Konteks kedua mengenai pentingnya pelaksanaan simposium ini adalah pertanyaan yang disampaikan Ketua MPR RI Dr (HC) Zulkifli Hasan SE MM ketika membuka acara ini: sudahkah kesejahteraan merata untuk semua? Dan, apakah janji keadilan sosial sudah terwujud? Pertanyaan ini mungkin cukup membingungkan, terutama bagi kita-kita yang terbiasa hidup dalam kenyamanan, dan merasa keadaan baik-baik saja.
Namun, fakta-fakta yang selanjutnya disajikan Zulkifli Hasan cukup memprihatinkan. Menurut data LPS per Agustus 2017, pemilik rekening dengan tabungan di atas Rp5 miliar hanya 0,09 juta nasabah, namun menguasai 47,34% total simpanan perbankan.
Sementara menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria, 71% lahan di Indonesia dikuasai oleh korporasi kehutanan dan 23% dikuasai oleh korporasi perkebunan skala besar. Jadi, hanya 6% lahan milik masyarakat. Ada ketimpangan yang sangat jelas dalam masyarakat kita.
Hal ini diperkuat dengan laporan mengenai situasi Indonesia pada 2016 yang dirilis Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia (INFID) pada Februari 2017. Menurut laporan yang berjudul "Menuju Indonesia yang Lebih Setara", peringkat ketimpangan kekayaan Indonesia berada di posisi enam terburuk di dunia.
Dalam laporan yang sama, data Credit Suisse menunjukkan 1% orang terkaya di Indonesia menguasai setengah atau 49% total kekayaan nasional pada 2016. Sementara itu, 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 77% dari total kekayaan nasional.
Mahfud MD sendiri mengingatkan, ada perbedaan signifikan antara pembangunan Indonesia dan pembangunan di Indonesia. Pembangunan Indonesia adalah pembangunan yang manfaatnya dirasakan rakyat Indonesia.
Pembangunan di Indonesia hanya pembangunannya yang dilakukan di Indonesia, sedangkan manfaatnya hanya dirasakan sebagian kecil rakyat Indonesia, dan lebih banyak dirasakan pihak asing.
Kondisi-kondisi di atas menunjukkan ketimpangan di Indonesia sangatlah akut, dan ini ditegaskan Prof Dr R Siti Zuhro MA ketika menjadi pembicara pertama di simposium ini.
Padahal, inti dari Ekonomi Pancasila adalah rasa senasib sepenanggungan, tumbuh bersama, sejahtera bersama. Simposium ini pun sangat relevan untuk diadakan, sebagai sarana menggugah kesadaran di kalangan guru besar dan intelektual alumni HMI bahwa bangsa Indonesia saat ini mengalami masalah besar berupa ketimpangan akut, dan tentu saja sebagai sarana menggagas pemikiran-pemikiran konstruktif untuk memecahkan permasalahan ini.
Agar pembangunan di negeri ini, benar-benar memihaki bangsa sendiri, sesuai dengan tema simposium.
Ketimpangan akut merupakan salah satu masalah besar bangsa ini, selain kemiskinan, ketidakadilan hukum, dan korupsi.
Peran KAHMI
Lalu, bagaimana simposium para guru besar dan intelektual alumni HMI ini bisa memberikan dampak positif, dalam usaha menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar bangsa ini? Pertama , para intelektual KAHMI mesti merespons situasi saat ini dengan cara-cara yang inovatif dan menggunakan pendekatan interdisipliner.
Kedua, solusi yang diusulkan sebaiknya solusi yang bersifat policy oriented dan implementatif. Policy oriented dalam konteks fokus pada memberikan masukan dan atau mengkritisi kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah saat ini. Implementatif dalam konteks bisa diterapkan di lapangan, bukan sekadar bagus dalam konsep dan memenuhi kaidah-kaidah ilmiah.
Terakhir, simposium ini barulah awal. KAHMI wajib merangkul elemen-elemen bangsa yang lain dalam membangun negeri ini ke depannya.
Sebagaimana yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, keberadaan intelektual memang baik dalam merumuskan konsep-konsep baru, namun yang mengeksekusinya di lapangan adalah pihak-pihak lain.
Tentunya kolaborasi dengan berbagai elemen bangsa merupakan suatu keharusan bagi KAHMI jika ingin hasil dari simposium ini memberikan manfaat bagi bangsa.
Kolaborasi inilah yang sebaiknya menjadi fokus bagi KAHMI, daripada menggunakan energi yang ada untuk membentuk entitas baru lagi, seperti membangun perguruan tinggi KAHMI, bahkan partai politik KAHMI.
(nag)