Ali Rasa Baba Ekonomi Digital
A
A
A
Ajisatria Suleiman
Direktur Eksekutif Asosiasi FinTech Indonesia
PADA tahun 1950-an era Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo I, Indonesia pernah mencetuskan sistem ekonomi "Ali-Baba", di mana pengusaha pribumi (Ali) wajib menjadi mitra pengusaha nonpribumi (Baba). Sistem ini gagal karena dalam praktik, Ali cenderung menjadi pemburu rente sementara keuntungan diambil penuh oleh Baba. Yang terjadi adalah kongkalikong: secara resmi saham dimiliki Ali, namun secara riil bisnis tetap dikendalikan Baba.
Pada tahun 2017, kekhawatiran yang sama muncul melihat perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Banyak yang khawatir Indonesia menggadaikan kedaulatan digitalnya kepada pengusaha asing, misalnya Alibaba besutan Jack Ma. Penunjukan Jack Ma sebagai penasihat ekonomi digital Indonesia disertai dengan penetrasi, akuisisi, dan kemitraan yang dilakukan oleh Alibaba Group ataupun raksasa teknologi China lainnya seperti Tencent secara agresif terhadap perusahaan-perusahaan teknologi lokal Indonesia memunculkan kekhawatiran dari pelaku industri lokal.
Benarkah ekonomi digital Indonesia dikuasai asing? Patutkah kita meragukan nasionalisme pengusaha lokal yang bermitra dengan raksasa asing? Perlukah kita membatasi gerak Go-Jek yang bermitra dengan Tencent, Tokopedia yang bermitra dengan Alibaba, atau EMTEK yang bermitra dengan Alipay?
Pertanyaan lebih besarnya lagi: sejauh mana negara perlu membatasi kepemilikan asing dalam ekosistem ekonomi digital yang sedang berada dalam fase pertumbuhan ini?
Proteksionisme digital
Sejarah perkembangan teknologi dunia tidak pernah lepas dari intervensi negara. Dalam bukunya "The Entrepreneurial State " (2012), Mariana Mazucatto memperlihatkan bagaimana pemerintah Amerika Serikat melalui Kementerian Pertahanan (militer) berperan dalam pengembangan teknologi internet, Global Positioning Satellite (GPS), dan virtual assistants berbasis suara. Tanpa militer AS, tidak akan ada Google, iPhone, atau Siri.
Kebijakan merkantilisme teknologi pun dilakukan oleh Jepang, melalui instansinya yang paling terkenal, Ministry of International Trade and Industry (MITI) dimulai pada periode 1960-an. MITI adalah arsitek dari berbagai kewajiban "kawin paksa" bagi seluruh perusahaan teknologi yang berniat berinvestasi di Jepang. Di periode tersebut, Texas Instruments dipaksa bermitra dengan Sony, hingga akhirnya Sony menjelma menjadi raksasa teknologi dunia. Texas Instruments justru meredup pamornya.
Di era modern ekonomi digital, pemerintahan Obama juga pernah mengeluarkan kebijakan subsidi USD25 miliar bunga rendah dari Kementerian Energi-nya bagi perusahaan automotif lokal yang hendak mengembangkan kendaraan ramah lingkungan. Tesla besutan Elon Musk pun menikmati fasilitas ini.
Singkat kata, tidak ada yang salah dengan keberpihakan negara dalam pengembangan teknologi. Justru, tanpa negara, inovasi teknologi tidak akan pernah berkembang.
Namun di sisi lain, keberpihakan harus dijalankan secara hati-hati apabila tetap ingin menjaga daya saing industri. Indonesia pernah mengalami kasus konkret terkait kebijakan teknologi yang tidak tepat sasaran, Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Pada 1976, IPTN dibangun dengan memanfaatkan profit besar dari industri migas. Pada 10 Agustus 1995, dunia dihentakkan dengan berhasilnya maiden flight pesawat N-2S0 hasil karya putra terbaik bangsa Indonesia. N-250 melibatkan 1.500 insinyur IPTN. Namun, biaya untuk proyek ini membengkak.
Dalam kondisi kekurangan dana, Presiden Soeharto mengizinkan IPTN mendapatkan hutang tanpa bunga sebesar Rp400 miliar (atau sekitar USD200 juta pada masa tersebut) yang bersumber dari Dana Reboisasi Kementerian Kehutanan. Skema ini mendapat pertentangan masyarakat, apalagi saat itu Indonesia memasuki masa krisis. Ditambah dengan lemahnya manajemen, proyek N250 akhirnya ditunda. Beruntung saat ini IPTN (sekarang PT. Dirgantara Indonesia) berangsur sudah mulai pulih dan mulai meningkat kinerjanya.
Kasus IPTN membuktikan bahwa kebijakan proteksionisme tidak mudah dan tidak murah. Apalagi jika iklim industri belum didukung persaingan sehat.
Pembatasan Asing
Di tengah serbuan modal asing ke dalam ekonomi digital Indonesia, wajar ada hasrat nasionalisme tinggi memproteksi ekonomi digital lokal. Namun demikian, pengembangan ekosistem domestik tidak selalu harus berupa restriksi. Ada berbagai format dari berbagai negara yang berhasil mengembangkan industri digital lokal tanpa harus bersikap ekstrem membatasi modal asing.
AS berfokus pada komersialisasi hasil penelitian militer yang menghasilkan internet, GPS, dan teknologi lainnya. India berfokus pada pengembangan infrastruktur biometrik dan jaringan pembayaran Unified Payments Interface (UPI) yang dapat dimanfaatkan seluruh perusahaan dan startups. Prancis di era Presiden Sarkozy berfokus pada kebijakan investasi strategis melalui unit khusus Fonds Stratégique d'Investissement (FSI). Selain itu, masih banyak contoh lain yang dapat dijadikan referensi.
Bahkan, China yang terkenal menerapkan kebijakan proteksionisme ekstrem pun tidak antimodal asing. Pemegang saham terbesar Alibaba Group adalah Softbank dari Jepang dan Yahoo dari AS. Pemegang saham terbesar di Tencent adalah Naspers, perusahaan telekomunikasi dari Afrika Selatan.
Mencari Jawara Lokal
Kesimpulannya, keberpihakan terhadap pemain lokal tetap harus didorong, namun persaingan yang sehat tidak boleh dimatikan. Untuk melakukan ini, ada beberapa resep yang dapat diambil.
Pertama, pemerintah harus berpihak kepada wirausaha lokal yang terbukti berhasil, bukan kepada pemburu rente. Jack Ma didukung oleh pemerintah China setelah dia sukses, bukan sebaliknya. Ingat, di awal 2000-an, Jack Ma masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah pusat China yang saat itu masih berorientasi ekspor manufaktur melalui BUMN-nya. Baru setelah berhasil dan didukung oleh Hangzhou, dia kemudian didukung penuh oleh pemerintah pusatnya.
Kedua, persaingan tidak boleh dimatikan. Di China ada Baidu-Ali-Tencent (BAT); di AS ada Google-Apple-Facebook-Amazon (GAFA), di mana masing-masing bersaing satu sama lain. Tanpa persaingan, maka perusahaan akan dimanja pasar, dan akhirnya akan lupa (complacent) berinovasi. Keberpihakan ekstrem kepada satu pihak tertentu justru akan menciptakan monopoli.
Ketiga, asing tetap dibutuhkan. Teknologi dan investasi asing masih diperlukan untuk mendorong ekonomi lokal. Tanpa Softbank dan Yahoo, tidak akan ada Alibaba. Tanpa Naspers, tidak akan ada Tencent. Namun, sangat wajar apabila diatur kewajiban untuk mempertahankan pengendalian pada wirausaha lokal.
Keempat, fokus pada ekosistem. Setiap industri terdiri dari rangkaian mata rantai (value chain) yang panjang, mulai SDM, bahan mentah, hingga pendanaan. Negara perlu melakukan intervensi untuk mengisi mata rantai yang tidak optimal, bukan justru membatasi ruang gerak pihak-pihak yang berkontribusi terhadap ekosistem.
Direktur Eksekutif Asosiasi FinTech Indonesia
PADA tahun 1950-an era Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo I, Indonesia pernah mencetuskan sistem ekonomi "Ali-Baba", di mana pengusaha pribumi (Ali) wajib menjadi mitra pengusaha nonpribumi (Baba). Sistem ini gagal karena dalam praktik, Ali cenderung menjadi pemburu rente sementara keuntungan diambil penuh oleh Baba. Yang terjadi adalah kongkalikong: secara resmi saham dimiliki Ali, namun secara riil bisnis tetap dikendalikan Baba.
Pada tahun 2017, kekhawatiran yang sama muncul melihat perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Banyak yang khawatir Indonesia menggadaikan kedaulatan digitalnya kepada pengusaha asing, misalnya Alibaba besutan Jack Ma. Penunjukan Jack Ma sebagai penasihat ekonomi digital Indonesia disertai dengan penetrasi, akuisisi, dan kemitraan yang dilakukan oleh Alibaba Group ataupun raksasa teknologi China lainnya seperti Tencent secara agresif terhadap perusahaan-perusahaan teknologi lokal Indonesia memunculkan kekhawatiran dari pelaku industri lokal.
Benarkah ekonomi digital Indonesia dikuasai asing? Patutkah kita meragukan nasionalisme pengusaha lokal yang bermitra dengan raksasa asing? Perlukah kita membatasi gerak Go-Jek yang bermitra dengan Tencent, Tokopedia yang bermitra dengan Alibaba, atau EMTEK yang bermitra dengan Alipay?
Pertanyaan lebih besarnya lagi: sejauh mana negara perlu membatasi kepemilikan asing dalam ekosistem ekonomi digital yang sedang berada dalam fase pertumbuhan ini?
Proteksionisme digital
Sejarah perkembangan teknologi dunia tidak pernah lepas dari intervensi negara. Dalam bukunya "The Entrepreneurial State " (2012), Mariana Mazucatto memperlihatkan bagaimana pemerintah Amerika Serikat melalui Kementerian Pertahanan (militer) berperan dalam pengembangan teknologi internet, Global Positioning Satellite (GPS), dan virtual assistants berbasis suara. Tanpa militer AS, tidak akan ada Google, iPhone, atau Siri.
Kebijakan merkantilisme teknologi pun dilakukan oleh Jepang, melalui instansinya yang paling terkenal, Ministry of International Trade and Industry (MITI) dimulai pada periode 1960-an. MITI adalah arsitek dari berbagai kewajiban "kawin paksa" bagi seluruh perusahaan teknologi yang berniat berinvestasi di Jepang. Di periode tersebut, Texas Instruments dipaksa bermitra dengan Sony, hingga akhirnya Sony menjelma menjadi raksasa teknologi dunia. Texas Instruments justru meredup pamornya.
Di era modern ekonomi digital, pemerintahan Obama juga pernah mengeluarkan kebijakan subsidi USD25 miliar bunga rendah dari Kementerian Energi-nya bagi perusahaan automotif lokal yang hendak mengembangkan kendaraan ramah lingkungan. Tesla besutan Elon Musk pun menikmati fasilitas ini.
Singkat kata, tidak ada yang salah dengan keberpihakan negara dalam pengembangan teknologi. Justru, tanpa negara, inovasi teknologi tidak akan pernah berkembang.
Namun di sisi lain, keberpihakan harus dijalankan secara hati-hati apabila tetap ingin menjaga daya saing industri. Indonesia pernah mengalami kasus konkret terkait kebijakan teknologi yang tidak tepat sasaran, Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Pada 1976, IPTN dibangun dengan memanfaatkan profit besar dari industri migas. Pada 10 Agustus 1995, dunia dihentakkan dengan berhasilnya maiden flight pesawat N-2S0 hasil karya putra terbaik bangsa Indonesia. N-250 melibatkan 1.500 insinyur IPTN. Namun, biaya untuk proyek ini membengkak.
Dalam kondisi kekurangan dana, Presiden Soeharto mengizinkan IPTN mendapatkan hutang tanpa bunga sebesar Rp400 miliar (atau sekitar USD200 juta pada masa tersebut) yang bersumber dari Dana Reboisasi Kementerian Kehutanan. Skema ini mendapat pertentangan masyarakat, apalagi saat itu Indonesia memasuki masa krisis. Ditambah dengan lemahnya manajemen, proyek N250 akhirnya ditunda. Beruntung saat ini IPTN (sekarang PT. Dirgantara Indonesia) berangsur sudah mulai pulih dan mulai meningkat kinerjanya.
Kasus IPTN membuktikan bahwa kebijakan proteksionisme tidak mudah dan tidak murah. Apalagi jika iklim industri belum didukung persaingan sehat.
Pembatasan Asing
Di tengah serbuan modal asing ke dalam ekonomi digital Indonesia, wajar ada hasrat nasionalisme tinggi memproteksi ekonomi digital lokal. Namun demikian, pengembangan ekosistem domestik tidak selalu harus berupa restriksi. Ada berbagai format dari berbagai negara yang berhasil mengembangkan industri digital lokal tanpa harus bersikap ekstrem membatasi modal asing.
AS berfokus pada komersialisasi hasil penelitian militer yang menghasilkan internet, GPS, dan teknologi lainnya. India berfokus pada pengembangan infrastruktur biometrik dan jaringan pembayaran Unified Payments Interface (UPI) yang dapat dimanfaatkan seluruh perusahaan dan startups. Prancis di era Presiden Sarkozy berfokus pada kebijakan investasi strategis melalui unit khusus Fonds Stratégique d'Investissement (FSI). Selain itu, masih banyak contoh lain yang dapat dijadikan referensi.
Bahkan, China yang terkenal menerapkan kebijakan proteksionisme ekstrem pun tidak antimodal asing. Pemegang saham terbesar Alibaba Group adalah Softbank dari Jepang dan Yahoo dari AS. Pemegang saham terbesar di Tencent adalah Naspers, perusahaan telekomunikasi dari Afrika Selatan.
Mencari Jawara Lokal
Kesimpulannya, keberpihakan terhadap pemain lokal tetap harus didorong, namun persaingan yang sehat tidak boleh dimatikan. Untuk melakukan ini, ada beberapa resep yang dapat diambil.
Pertama, pemerintah harus berpihak kepada wirausaha lokal yang terbukti berhasil, bukan kepada pemburu rente. Jack Ma didukung oleh pemerintah China setelah dia sukses, bukan sebaliknya. Ingat, di awal 2000-an, Jack Ma masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah pusat China yang saat itu masih berorientasi ekspor manufaktur melalui BUMN-nya. Baru setelah berhasil dan didukung oleh Hangzhou, dia kemudian didukung penuh oleh pemerintah pusatnya.
Kedua, persaingan tidak boleh dimatikan. Di China ada Baidu-Ali-Tencent (BAT); di AS ada Google-Apple-Facebook-Amazon (GAFA), di mana masing-masing bersaing satu sama lain. Tanpa persaingan, maka perusahaan akan dimanja pasar, dan akhirnya akan lupa (complacent) berinovasi. Keberpihakan ekstrem kepada satu pihak tertentu justru akan menciptakan monopoli.
Ketiga, asing tetap dibutuhkan. Teknologi dan investasi asing masih diperlukan untuk mendorong ekonomi lokal. Tanpa Softbank dan Yahoo, tidak akan ada Alibaba. Tanpa Naspers, tidak akan ada Tencent. Namun, sangat wajar apabila diatur kewajiban untuk mempertahankan pengendalian pada wirausaha lokal.
Keempat, fokus pada ekosistem. Setiap industri terdiri dari rangkaian mata rantai (value chain) yang panjang, mulai SDM, bahan mentah, hingga pendanaan. Negara perlu melakukan intervensi untuk mengisi mata rantai yang tidak optimal, bukan justru membatasi ruang gerak pihak-pihak yang berkontribusi terhadap ekosistem.
(whb)