DPD dan Penguatan Daerah
A
A
A
Baharuddin Aritonang
Anggota Lembaga Pengkajian MPR
Persoalan yang melilit Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tampaknya kembali membawa pembahasan ulang tentang lembaga negara yang hadir bersamaan dengan reformasi, khususnya melalui Perubahan UUD1945 ini. Walau usianya sudah memasuki yang ketiga belas, keberadaan lembaga ini tampaknya masih terus dipersoalkan.
Lembaga DPD terasa minim sumbangsih dalam kehidupan bernegara, sedangkan di internal sepertinya gaduh terus. Karena itu, ada yang mengusulkan agar dibubarkan saja meski usul ini juga terasa aneh karena sesungguhnya keberadaan DPD jelas-jelas sudah menjadi bagian dari UUD1945, konstitusi yang berlaku resmi di negeri ini.
Sebaliknya, di samping perseteruan memperebutkan pimpinan, yang selalu nyaring terdengar dari lembaga negara ini adalah wacana Perubahan UUD1945 untuk memperkuat kewenangan DPD. Padahal, jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 anggota DPR. Sedangkan langkah Perubahan UUD1945 harus disetujui setidaknya 2/3 dari anggota MPR (seluruh jumlah anggota DPR dan anggota DPD).
Setiap kali ada pertemuan, saya selalu menekankan agar bekerja saja dulu sesuai dengan yang dirumuskan di UUD1945. Sudahlah, bekerja sajalah atas dasar kewenangan yang diberikan itu, betapapun itu terbatas. Jika perannya sudah terasakan, suatu saat mungkin akan mendapat peluang memperkuat kewenangan. Kini posisi dan peranan DPD kembali dibicarakan. Itu sejalan dengan persoalan yang dihadapi dalam penyaluran dana desa. Bahkan diperluas dengan dana transfer ke daerah lain (seperti DAU, DAK, dana bagi hasil, dana otsus, dan transfer ke daerah lain). Siapa sesungguhnya yang mengawasi? Adakah DPR yang memutuskan anggaran (APBN) sampai ke tahap pengawasannya?
Sesungguhnya DPD itu dibentuk untuk kepentingan daerah baik dalam hal aspirasi daerah ke pusat maupun sebaliknya, hubungan pemerintah pusat dan daerah. Konsep awal pembentukan lembaga ini memang lama diperdebatkan. Ada fraksi yang mengusulkan dalam bentuk bikameral murni bahwa DPD sebagaimana halnya dengan Senat, kamar sendiri yang sama fungsi dan kewenangannya dengan lembaga DPR. Akan tetapi, banyak pihak yang menolaknya dan mengatakan, konsep itu akan dekat ke pembentukan negara bagian.
Padahal, sejak berdiri NKRI, pilihannya adalah negara kesatuan. NKRI itu berdiri dulu, baru di dalamnya dibentuk provinsi-provinsi (dan selanjutnya kabupaten/kota). Sedangkan dalam sistem bikameral, negara federal (pemerintahan pusat) itu dibentuk oleh negara-negara bagian. Akhirnya terjadilah titik tengah seperti pada Perubahan UUD1945.
Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah sebagai bentuk pelembagaan utusan daerah (UD). Sebagai utusan daerah yang dilembagakan, sesungguhnya anggota DPD itu berada di daerah masing-masing. DPD mewakili daerah. Pada waktu tertentu, melakukan persidangan di ibu kota negara. DPD memiliki tiga fungsi sebagaimana DPR, yakni legislasi, penganggaran (budget), dan pengawasan (kontrol atas jalannya pemerintahan).
Akan tetapi, tiga fungsi dan kewenangan itu dijalankan secara terbatas. Adakalanya hanya dalam bentuk memberi pertimbangan (misalnya usulan Undang Undang dan penganggaran). Tapi, dalam hal yang nyata, dicarilah rumusan yang membedakan antara DPR dan DPD. Jika DPR itu sesuai namanya mewakili rakyat (khususnya aspirasi politik rakyat), DPD itu mewakili daerah.
Dalam rapat Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR (yang menyiapkan bahan-bahan Perubahan UUD1945), anggota PAH I BP MPR Ir M Luthfi dari Fraksi PAN mengatakan, jika DPR itu mewakili rakyat, DPD itu mewakili gunung, sungai, lembah, dan ngarai-ngarai. DPD bukan mewakili rakyat (yang sesungguhnya juga berada di daerah), tetapi mewakili segala sesuatu yang ada di daerah (lihat Risalah Perubahan UUD1945).
Dengan demikian, DPD haruslah mengetahui segala suatu yang ada di daerah yang diwakilinya. Alangkah aneh ketika dana desa dipersoalkan, tidak ada anggota DPD yang bersuara. Jumlah desa pun seolah hanya milik BPS (yang acapkali berdasar hasil sampling). Begitu juga ketika ada yang mempersoalkan dana pendidikan yang tidak mencapai angka 20% di APBD.
Suatu ketika Presiden dalam pidatonya mengatakan , terdapat 17.000 pulau di Indonesia. "Tapi, saya tidak tahu persisnya karena saya tidak pernah menghitung!" ujar beliau. Sama saja kala alm Pramudya Ananta Toer diwawancara sebuah media tentang cita-citanya menghimpun seluruh sungai dan danau yang ada di seantero Nusantara lengkap dengan namanya. Dalam kenyataannya, berbagai aset berharga di negeri ini memang tidak diketahui secara pasti.
Semestinya, kalau anggota DPD bermukim dan tinggal di daerah masing-masing, tentulah seluruh aset negeri ini diketahui secara pasti. Merekalah yang mewakili berbagai aset berharga itu di tingkat nasional. Kebijakan yang disusun secara nasional akan didasarkan pada angka yang nyata dan pasti. Itu dapat dilakukan secara berbagi di antara empat orang anggota DPD untuk setiap provinsi.
Memang data dan angka seperti itu dengan mudah didapatkan dari pemda, BPS, kementerian, perguruan tinggi, atau yang lain. Tetapi, data-data itu adalah angka mati, akan berbeda dengan angka dan data yang dilihat dan dipahami langsung keadaannya oleh setiap anggota DPD dari daerah yang bersangkutan. Ini akan bermanfaat dalam setiap kebijakan yang disusun. Pemahaman terhadap aset berharga (gunung, sungai, danau, desa, dan aset lain) dilanjutkan dengan perbaikan dan pengembangan potensi daerah tersebut. Pemahaman terhadap desa misalnya untuk turut serta memecahkan masalah desa, baik administrasi maupun pengelolaannya, termasuk mengawasi pemanfaatan dan penggunaan dana desa. Demikian halnya aset lain, untuk dapat dikembangkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Begitulah setiap anggota DPD itu menyatu dengan daerahnya. Dengan lebih lama tinggal di daerah, setiap anggota DPD akan memberi kontribusi yang nyata bagi pembangunan daerah. Untuk itu, DPD tidak perlu membangun gedung di setiap daerah. Kalau perlu dapat berkantor di kantor gubernur. Bantulah gubernur tanpa harus menjadi stafnya gubernur!" kata Ketua Asosiasi Pimpinan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) Syahrul Yasin Limpo dalam rapat dengan Lembaga Pengkajian MPR, Selasa, 19 September 2017. Tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, langkah ini bisa dimulai sekarang. "Masa depan negeri ini berada di daerah," tambah dia.
Kalau DPD mampu menunjukkan dan membuktikan kapabilitasnya dalam hal ini, DPD niscaya akan dipercaya ikut menyusun kebijakan, termasuk menyusun undang-undang dan penganggaran seperti selama ini yang dituntutnya tanpa harus "menyebut memperkuat kelembagaan".
Bahasan ini hendaknya dapat mengubah posisi dan peran DPD sekarang ini. Untuk kembali ke pangkal jalan. Lebih banyak berada di daerah, ikut dalam memikirkan dan merumuskan perbaikan dan pembangunan di daerah. Saat tertentu menyuarakannya ke tingkat nasional. Sebaliknya, membawa pesan nasional ke daerah.
Anggota Lembaga Pengkajian MPR
Persoalan yang melilit Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tampaknya kembali membawa pembahasan ulang tentang lembaga negara yang hadir bersamaan dengan reformasi, khususnya melalui Perubahan UUD1945 ini. Walau usianya sudah memasuki yang ketiga belas, keberadaan lembaga ini tampaknya masih terus dipersoalkan.
Lembaga DPD terasa minim sumbangsih dalam kehidupan bernegara, sedangkan di internal sepertinya gaduh terus. Karena itu, ada yang mengusulkan agar dibubarkan saja meski usul ini juga terasa aneh karena sesungguhnya keberadaan DPD jelas-jelas sudah menjadi bagian dari UUD1945, konstitusi yang berlaku resmi di negeri ini.
Sebaliknya, di samping perseteruan memperebutkan pimpinan, yang selalu nyaring terdengar dari lembaga negara ini adalah wacana Perubahan UUD1945 untuk memperkuat kewenangan DPD. Padahal, jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 anggota DPR. Sedangkan langkah Perubahan UUD1945 harus disetujui setidaknya 2/3 dari anggota MPR (seluruh jumlah anggota DPR dan anggota DPD).
Setiap kali ada pertemuan, saya selalu menekankan agar bekerja saja dulu sesuai dengan yang dirumuskan di UUD1945. Sudahlah, bekerja sajalah atas dasar kewenangan yang diberikan itu, betapapun itu terbatas. Jika perannya sudah terasakan, suatu saat mungkin akan mendapat peluang memperkuat kewenangan. Kini posisi dan peranan DPD kembali dibicarakan. Itu sejalan dengan persoalan yang dihadapi dalam penyaluran dana desa. Bahkan diperluas dengan dana transfer ke daerah lain (seperti DAU, DAK, dana bagi hasil, dana otsus, dan transfer ke daerah lain). Siapa sesungguhnya yang mengawasi? Adakah DPR yang memutuskan anggaran (APBN) sampai ke tahap pengawasannya?
Sesungguhnya DPD itu dibentuk untuk kepentingan daerah baik dalam hal aspirasi daerah ke pusat maupun sebaliknya, hubungan pemerintah pusat dan daerah. Konsep awal pembentukan lembaga ini memang lama diperdebatkan. Ada fraksi yang mengusulkan dalam bentuk bikameral murni bahwa DPD sebagaimana halnya dengan Senat, kamar sendiri yang sama fungsi dan kewenangannya dengan lembaga DPR. Akan tetapi, banyak pihak yang menolaknya dan mengatakan, konsep itu akan dekat ke pembentukan negara bagian.
Padahal, sejak berdiri NKRI, pilihannya adalah negara kesatuan. NKRI itu berdiri dulu, baru di dalamnya dibentuk provinsi-provinsi (dan selanjutnya kabupaten/kota). Sedangkan dalam sistem bikameral, negara federal (pemerintahan pusat) itu dibentuk oleh negara-negara bagian. Akhirnya terjadilah titik tengah seperti pada Perubahan UUD1945.
Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah sebagai bentuk pelembagaan utusan daerah (UD). Sebagai utusan daerah yang dilembagakan, sesungguhnya anggota DPD itu berada di daerah masing-masing. DPD mewakili daerah. Pada waktu tertentu, melakukan persidangan di ibu kota negara. DPD memiliki tiga fungsi sebagaimana DPR, yakni legislasi, penganggaran (budget), dan pengawasan (kontrol atas jalannya pemerintahan).
Akan tetapi, tiga fungsi dan kewenangan itu dijalankan secara terbatas. Adakalanya hanya dalam bentuk memberi pertimbangan (misalnya usulan Undang Undang dan penganggaran). Tapi, dalam hal yang nyata, dicarilah rumusan yang membedakan antara DPR dan DPD. Jika DPR itu sesuai namanya mewakili rakyat (khususnya aspirasi politik rakyat), DPD itu mewakili daerah.
Dalam rapat Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR (yang menyiapkan bahan-bahan Perubahan UUD1945), anggota PAH I BP MPR Ir M Luthfi dari Fraksi PAN mengatakan, jika DPR itu mewakili rakyat, DPD itu mewakili gunung, sungai, lembah, dan ngarai-ngarai. DPD bukan mewakili rakyat (yang sesungguhnya juga berada di daerah), tetapi mewakili segala sesuatu yang ada di daerah (lihat Risalah Perubahan UUD1945).
Dengan demikian, DPD haruslah mengetahui segala suatu yang ada di daerah yang diwakilinya. Alangkah aneh ketika dana desa dipersoalkan, tidak ada anggota DPD yang bersuara. Jumlah desa pun seolah hanya milik BPS (yang acapkali berdasar hasil sampling). Begitu juga ketika ada yang mempersoalkan dana pendidikan yang tidak mencapai angka 20% di APBD.
Suatu ketika Presiden dalam pidatonya mengatakan , terdapat 17.000 pulau di Indonesia. "Tapi, saya tidak tahu persisnya karena saya tidak pernah menghitung!" ujar beliau. Sama saja kala alm Pramudya Ananta Toer diwawancara sebuah media tentang cita-citanya menghimpun seluruh sungai dan danau yang ada di seantero Nusantara lengkap dengan namanya. Dalam kenyataannya, berbagai aset berharga di negeri ini memang tidak diketahui secara pasti.
Semestinya, kalau anggota DPD bermukim dan tinggal di daerah masing-masing, tentulah seluruh aset negeri ini diketahui secara pasti. Merekalah yang mewakili berbagai aset berharga itu di tingkat nasional. Kebijakan yang disusun secara nasional akan didasarkan pada angka yang nyata dan pasti. Itu dapat dilakukan secara berbagi di antara empat orang anggota DPD untuk setiap provinsi.
Memang data dan angka seperti itu dengan mudah didapatkan dari pemda, BPS, kementerian, perguruan tinggi, atau yang lain. Tetapi, data-data itu adalah angka mati, akan berbeda dengan angka dan data yang dilihat dan dipahami langsung keadaannya oleh setiap anggota DPD dari daerah yang bersangkutan. Ini akan bermanfaat dalam setiap kebijakan yang disusun. Pemahaman terhadap aset berharga (gunung, sungai, danau, desa, dan aset lain) dilanjutkan dengan perbaikan dan pengembangan potensi daerah tersebut. Pemahaman terhadap desa misalnya untuk turut serta memecahkan masalah desa, baik administrasi maupun pengelolaannya, termasuk mengawasi pemanfaatan dan penggunaan dana desa. Demikian halnya aset lain, untuk dapat dikembangkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Begitulah setiap anggota DPD itu menyatu dengan daerahnya. Dengan lebih lama tinggal di daerah, setiap anggota DPD akan memberi kontribusi yang nyata bagi pembangunan daerah. Untuk itu, DPD tidak perlu membangun gedung di setiap daerah. Kalau perlu dapat berkantor di kantor gubernur. Bantulah gubernur tanpa harus menjadi stafnya gubernur!" kata Ketua Asosiasi Pimpinan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) Syahrul Yasin Limpo dalam rapat dengan Lembaga Pengkajian MPR, Selasa, 19 September 2017. Tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, langkah ini bisa dimulai sekarang. "Masa depan negeri ini berada di daerah," tambah dia.
Kalau DPD mampu menunjukkan dan membuktikan kapabilitasnya dalam hal ini, DPD niscaya akan dipercaya ikut menyusun kebijakan, termasuk menyusun undang-undang dan penganggaran seperti selama ini yang dituntutnya tanpa harus "menyebut memperkuat kelembagaan".
Bahasan ini hendaknya dapat mengubah posisi dan peran DPD sekarang ini. Untuk kembali ke pangkal jalan. Lebih banyak berada di daerah, ikut dalam memikirkan dan merumuskan perbaikan dan pembangunan di daerah. Saat tertentu menyuarakannya ke tingkat nasional. Sebaliknya, membawa pesan nasional ke daerah.
(zik)