Wajah Korupsi Indonesia di Era Supremasi Sipil

Rabu, 08 November 2017 - 08:37 WIB
Wajah Korupsi Indonesia di Era Supremasi Sipil
Wajah Korupsi Indonesia di Era Supremasi Sipil
A A A
DR Budiharjo, M.SI
Wakil Direktur Pasca Sarjana
Universitas Prof DR Moestopo (Beragama)

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah anak kandung Reformasi yang semangatnya adalah supremasi sipil. Era Orde Baru yang demikian parah dalam praktik korupsi selama 32 tahun, melahirkan perlawanan sipil. Bukan hanya itu, perubahan rezim ini melahirkan Indonesia baru, yakni dikotomi sipil militer yang artinya adalah sipil sebagai ordinat dan militer sebagai subordinat. Hubungan sipil militer ini dipenuhi dengan trauma masa lalu, ketika Orde Baru menancapkan kekuasaan dengan gaya militerisme dan otoritarianisme. Dan, ketika itu militer menguasai sumber-sumber sosial, politik, ekonomi, hingga urusan agama. Hal itu tidak lepas dari paradigma Dwifungsi ABRI yang tidak hanya mengurusi masalah pertahanan negara, tapi juga berbagai persoalan.

Menjadi pertanyaan, bagaimana Indonesia setelah era Reformasi? Lembaga pemerhati korupsi global, Transparency International Indonesia (TII) menempatkan Indonesia sebagai lima besar negara paling korup pada 1999. Hasil survei TI diulang tahun 2004 dan hasilnya ”masih” menunjukkan Indonesia sebagai peringkat kelima negara paling korup dari 146 negara yang disurvei. Hasil survei juga menunjukkan di tingkat Asia, Indonesia menduduki posisi nomor satu tingkat korupsinya pada saat itu.

Pada 2017, indeks korupsi Indonesia memang lebih baik, meski kondisinya tersendat. TII menyatakan indeks korupsi Indonesia (CPI) pada 2016 naik satu poin sebesar 37 dari angka tertinggi 100. Namun, secara global posisi Indonesia masih berada di urutan ke-90. Menurut TII, kenaikan indeks itu didorong oleh semangat reformasi birokrasi di pemerintah. Di sisi lain, korupsi di sektor swasta belum mendapat perhatian. Ini yang menjadi penyebab lambatnya kenaikan indeks korupsi Indonesia di level global.

Dari data di atas menjadi ironis, setelah Indonesia dikuasai supremasi sipil, ternyata praktik korupsi tak kunjung berhenti. Setelah Orde Baru berakhir, korupsi semakin merajalela seiring dengan diterapkannya desentralisasi. Ketika kekuasaan dilimpahkan ke tingkat lokal, peluang untuk melakukan korupsi pun beranjak ke tingkat lokal. Ada adagium yang menyebutkan, di era reformasi pelaku ko­rupsi adalah raja-raja kecil di daerah. Mereka menguasai anggaran dan mereka menguasai para pemain di lapangan.

Untuk mengatasi korupsi di daerah, dibutuhkan keterlibatan masyarakat sipil sebagai pihak yang mengawasi. Era keterbukaan semakin mendorong ma­syarakat sipil untuk memantau langsung jalannya pemerintahan di daerah. Kemampuan masyarakat sipil untuk memantau, mengungkapkan, dan membendung kegiatan tercela pejabat publik diperkuat oleh jarak yang dekat dan pengetahuan lebih mendalam mengenai persoalan setempat.

Masyarakat sipil bisa menempati posisi antara sebagai bagian pemecahan kasus korupsi, atau bagian dari korupsi itu sendiri. Dalam beberapa kasus pengadaan proyek di pemerintahan, dunia usaha sudah terbiasa memberi suap kepada pejabat publik untuk mendapatkan kontrak pemerintah. Ada keengganan di pihak-pihak yang berpengaruh untuk mengadakan perubahan pada aturan main yang mungkin mengakibatkan mereka kehilangan ”priuk” dari pemerintah.

Ini menjadi sumber masalah dalam mengatasi pemberantasan korupsi. Hubungan segitiga antara pemerintah, modal (swasta), dan masyarakat sipil. Korupsi dapat mengakar pada ketiga pihak ini. Oleh sebab itu, dari sisi teori dan praktis, memberantas korupsi harus menghadirkan tiga pihak di atas. Tidak mungkin memecahkan persoalan ini secara efektif tanpa keikutsertaan ketiganya.

-Pemberantasan Korupsi Berbasis Masyarakat Sipil-
Satu hal yang kita sepakati adalah memberantas korupsi merupakan tugas kita semua, apakah KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman ataukah Den­sus Tipikor yang wujudnya masih digodok pemerintah. Pendekatan lembaga negara berarti memberantas korupsi secara struktural kelembagaan yang lebih pada normatif hukum yang berlaku. Persoalannya, merumuskan tindak korupsi tidak mudah karena adanya pemahaman yang berlainan pada tiga tingkatan, yakni (a) korupsi yang didefinisikan oleh otoritas penegak hukum, (b) korupsi yang berdampak pada kehidupan masyarakat (c) korupsi yang dipersepsi dan diinterpretasikan oleh masyarakat umum yang kemudian menjadi opini publik.

Dari rumusan yang berbeda-beda di atas, kita bisa meng­acu pada definisi korupsi yang diberikan TII, yakni ”the abuse power for personal gain” (penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi). Atau rumusan World Bank yang mendefinisikan hampir mirip ”the misuse of public power for private benefit” (penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan individu).

Dari rumusan korupsi di atas maka ditarik benang merah, praktik korupsi memiliki relevansi dengan kepentingan masyarakat. Pejabat yang menguasai hajat hidup orang banyak dan diberi kepercayaan untuk mengelola anggaran demi kebaikan masyarakat umum, malah berkhianat dan melakukan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Ini yang menjadi perhatian dalam tulisan kali ini, yakni membangkitkan kesadaran masyarakat untuk bersama memperjuangkan hak-hak mereka terhadap pejabat yang korup.

Selain melahirkan berbagai perundang-undangan yang tujuannya mempersempit praktik korupsi, pemerintah harus semakin memberdayakan perlawanan korupsi berbasis masyarakat sipil. Perlawanan korupsi dengan melibatkan LSM, kelompok agamawan, tokoh masyarakat, hingga akademisi akan semakin efektif menyadarkan masyarakat tentang bahaya korupsi. Hal itu akan mendekatkan masyarakat terhadap perlawanan korupsi dan menjadikan praktik korupsi sebagai musuh bersama (common enemy).

Edukasi pemberantasan korupsi terhadap masyarakat tidak boleh berhenti dalam kegiatan seremonial belaka dan senantiasa menjadi unfinished agenda. Secara kultural, pemahaman terhadap bahaya korupsi akan melahirkan paradigma pencegahan yang baik. Demikian pula secara struktural, penegakan hukum akan diberikan tanpa pandang bulu terhadap siapapun yang terlibat praktik korupsi.

Jika ada pejabat negara yang terlibat korupsi dan tidak tersentuh hukum, maka tugas masyarakat sipil untuk senantiasa ”berteriak” untuk mengingatakan para penegak hukum. Mereka menjadi pressure group yang tujuannya mendorong pemerintah untuk lebih trans­pa­ran memberantas kejahatan luar biasa ini. Grup penekan ini bisa saja turun ke jalan, melibatkan media massa, hingga melahirkan opini publik di media sosial sehingga pejabat korup mendapatkan hukum setimpal atas apa yang telah diperbuatnya.

Kemajuan komunikasi dan teknologi informasi bisa mendorong masyarakat untuk berperan aktif dalam memberantas korupsi. Cara paling mudah adalah menggunakan media sosial terhadap sosok pejabat negara yang diduga korup. Atau, bisa melaporkan ke KPK terhadap kejahatan korupsi yang diduga dilakukan seorang penyelenggara negara. Pelaporan ini tentunya disertai dengan bukti-bukti akurat, dan KPK akan me­ra­hasiakan whistle blower.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6938 seconds (0.1#10.140)