Perjanjian Balfour dan Luka Berkepanjangan Palestina

Senin, 06 November 2017 - 09:16 WIB
Perjanjian Balfour dan...
Perjanjian Balfour dan Luka Berkepanjangan Palestina
A A A
Rofi Munawar
Wakil Ketua BKSAP DPR RI

KAMIS, 2 November 2017, tepat satu abad perjanjian Balfour dibuat, sejarah telah mencatat 100 tahun lalu pada tanggal 2 November 1917 awal migrasi Israel terjadi dari berbagai belahan dunia, utamanya Eropa, ke Palestina. Deklarasi Balfour merupakan sebuah mandat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris saat Perang Dunia I yang mengumumkan dukungan untuk ”tanah air nasional bagi orang Yahudi” di Palestina, yang saat itu merupakan sebuah kawasan Utsmaniyah dengan populasi minoritas Yahudi. Deklarasi tersebut mewajibkan negara yang kalah dalam perang (Utsmaniyah) memberikan seluruh kekuasaan wilayahnya kepada para pemenang, yakni Inggris dan sejumlah negara sekutu lain seperti Prancis dan Italia.

Atas dasar itu, tragedi kemanusiaan paling kelam terjadi di muka bumi untuk sekian lama karena bangsa Palestina tertindas dan terusir dari tanahnya sendiri. Satu abad lamanya, alih-alih meminta maaf atas kebijakan buruk yang telah dilakukan pada masa lalu, belum lama ini Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May bersama Pemimpin Israel Benjamin Netanyahu menggelar perayaan mewah untuk memperingati satu abad deklarasi Balfour di Lancaster House, London. Tidak cukup hanya di situ, sebelumnya Menteri Luar Negeri Inggris Borish Johnson juga menegaskan merasa berbangga hati karena Inggris telah ikut serta membentuk Negara Zionis Israel. Sungguh sebuah sikap yang sangat di luar akal sehat, nalar jernih, dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Perayaan dilakukan di tengah-tengah penderitaan rakyat Palestina yang terdampar di pengungsian dan terhempas di tanah suci Palestina.

Satu Abad Balfour dan Penderitaan Palestina

Sejak deklarasi Balfour dibuat, secara geografis pendudukan Israel di wilayah Palestina terus meluas hingga hanya menyisakan Tepi Barat dan Jalur Gaza bagi warga Palestina. Pun demikian secara demografis kondisi tidak jauh berbeda. Padahal, pada masa akhir Perang Dunia I wilayah Palestina dihuni oleh 700.000 orang; 80% di antaranya muslim, 10% orang Kristen Arab, dan 10% Yahudi. Sebagaimana dilansir Al Jazeera, selepas deklarasi antara 1922 hingga 1935, populasi Yahudi meningkat secara signifikan dari 9% menjadi hampir 27% dari total populasi. Kondisi terus berubah, sebagaimana dilansir dari israelipalestinianprocon.org pada 1946 jumlah Yahudi naik mencapai 32,9%, adapun sisa¬nya adalah muslim Arab.

Akibat deklarasi itu juga, migrasi penduduk Palestina yang tinggal di kamp pengungsian hampir 69 tahun lamanya, diperkirakan dalam kurun waktu tersebut ada 5 juta pengungsi di seluruh dunia atau 70% dari total populasi Palestina. Tercatat lebih dari 2/3 total pengungsi Palestina terdaftar di bawah UN Relief and Works Agency (UNRWA) dan 1/3 lagi di antaranya tinggal di 59 kamp pengungsi yang tersebar di seluruh Tepi Barat, Jalur Gaza, Lebanon, Syria, dan Jordan.

Kondisi di atas semakin menegaskan bahwa bangsa Pales¬tina terusir dari tanah mereka sendiri. Situasi lebih memprihatinkan bagi warga Palestina yang tinggal di Jalur Gaza, mereka sama sekali tidak memiliki cara untuk melakukan perjalanan. Satu-satunya bandara hancur saat sebuah serangan Israel pada 2001, perbatasan darat telah ditutup selama sebelas tahun, dan Israel membatasi akses ke laut untuk memancing, apalagi bepergian.

Deklarasi Balfour sejatinya merupakan pintu bencana yang paling besar dalam sejarah umat manusia karena telah membuka penderitaan berkepanjangan bagi warga Palestina hingga satu abad lamanya. Mereka tertindas, terbunuh, dan terusir dari tanah airnya sendiri. Sudah sepantasnya kita malu karena hingga hari ini Palestina masih belum bisa bernapas secara leluasa di negerinya sendiri. Satu abad ini menjadi bukti bahwa sebagian besar negara Islam dan masyarakat internasional masih tidak berdaya melepaskan Palestina dari cengkeraman Israel.

Perjuangan Mewujudkan Negara Palestina

Perjuangan Palestina meraih kemerdekaan disadari mengalami berbagai kendala dan usaha yang tidak mudah karena tantangan datang dari luar, namun juga terjadi friksi di internal Palestina. Utamanya antara Hamas dan Fatah, dua faksi yang telah sekian lama berbeda pandangan dalam usaha menggapai kemerdekaan. Namun, belum lama ini kita bersyukur dan mengapresiasi telah terjadi rekonsiliasi antara dua faksi tersebut yang berlangsung di Mesir pada 12 Oktober 2017. Tentu saja peristiwa ini menjadi momentum penting dalam mendorong persatuan Palestina mencapai kemerdekaan. Rekonsiliasi ini telah menghasilkan sejumlah kesepahaman yang dicapai di antaranya Otoritas Palestina yang didominasi Fatah akan mengambil alih sepenuhnya tanggung jawab administrasi di Jalur Gaza, yang selama ini dikuasai oleh Hamas.

Adapun secara eksternal sejumlah usaha dalam mencapai kemerdekaan dan kedaulatan terus dilakukan oleh Palestina selama satu abad ini melalui berbagai forum diplomasi internasional, dibuktikan bergabungnya Palestina dengan Interpol diputuskan dalam voting yang digelar Sidang Majelis Umum di Markas Interpol di Beijing, menjadi bagian dari upaya Palestina untuk diakui komunitas internasional sebagai sebuah negara. Pada 2012 Palestina mendapatkan status negara pemantau dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sejak saat itu Palestina telah bergabung dengan lebih dari 50 organisasi internasional dan terlibat dalam berbagai kesepakatan. Bergabungnya Palestina dengan organisasi Interpol secara faktual semakin menegaskan eksistensi negara tersebut dalam kancah kepolisi¬an internasional sebagai sebuah negara yang memiliki sistem yuridiksi cukup baik. Tentu saja ini menjadi langkah positif dan monumental bagi Interpol.

Dukungan fakta lain terhadap okupasi Israel pada 2017 telah ditegaskan oleh Komite Warisan Budaya Organisasi Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) yang mengadopsi sebuah resolusi yang menegaskan kembali tak ada kedaulatan Israel atas Kota Al-Quds (Yerusalem) yang diduduki. Keputusan UNESCO semakin menegaskan bahwa usaha aneksasi dan okupasi yang telah dilakukan Israel selama ini di Yerusalem adalah pelanggaran terhadap kedaulatan wilayah Palestina.

Palestina Jantung Diplomasi Indonesia

Sebagaimana diketahui, sikap Indonesia terhadap kedaulatan Palestina jelas dan tegas. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai politik luar negeri Indonesia yang menentang segala bentuk penjajahan di muka bumi. Sejalan dengan sikap itu, sudah banyak ratifikasi yang ditorehkan oleh Indonesia seperti meng¬inisiasi Piagam Dukungan Palestina di Konferensi Asia Afrika (KAA) dan mendukung resolusi terbaru UNESCO terkait Masjid Al-Aqsha.

Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, Indonesia tidak akan berhenti membantu perjuangan rakyat Palestina mencapai kemerdekaan dan dukungan bagi perjuangan rakyat Palestina menjadi salah satu prioritas dalam politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Menlu bahkan menyebut Palestina sebagai jantung dari politik luar negeri RI, setiap helaan napas diplomasi Indonesia di situ ada Palestina. Langkah ini selaras dengan sikap Parlemen, DPR RI melalui Badan Kerja Sama Antar¬parlemen, yang selalu konsisten menyuarakan isu Palestina di pelbagai forum parlemen internasional seperti Inter-Parliamentary Union (IPU), Parliamentary Union of OIC Member States (PUIC), atau parlemen negara-negara OKI, maupun regional seperti Asian Parliamentary Assembly (APA), ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA), dan Asia Pacific Parliamentary Forum (APPF). Agenda Palestina me¬rupakan agenda kemanusia¬an dan agenda tentang persamaan negara beserta kedaulatannya yang asasi.

Kita juga harus memelihara komitmen komunitas inter¬nasional pada umumnya dan negara berpenduduk muslim khususnya bahwa penjajahan yang dilakukan oleh negara Israel sejak deklarasi Balfour telah menelan jutaan korban jiwa warga Palestina. Terlebih Organisasi Konferensi Islam (OKI) harus lebih serius dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina di berbagai forum internasional baik secara diplomatik maupun mekanisme lain.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0504 seconds (0.1#10.140)