Penyimpangan yang Lukai Tradisi
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
TRADISI sering membuat dirinya begitu dekat dengan segenap kesucian, yang menghubungkan apa yang duniawi dan apa yang surgawi, dan apa yang manusiawi dengan yang Ilahi. Ritual demi ritual mengukuhkan kebenaran pemikiran itu. Apalagi, bila kita bicara mengenai ritual yang disebut sakral atau suci, dengan simbol-simbol yang melekat pada benda-benda suci di dalam ritual tadi. Di sini, kedekatan tradisi dengan kesucian tampak begitu jelas bahkan antara keduanya seperti tak terpisahkan sama sekali. Padahal tradisi itu sendiri bukan benda suci. Tradisi merupakan satu hal, kesucian merupakan hal yang lain. Mereka berdomisili di dunia yang tak sama dan berjauhan letaknya.
Kajian-kajian antropologi menjelaskan, tradisi lahir di dalam suatu masyarakat dan diterima dengan kesepakatan utuh, tanpa perundingan, tanpa musyawarah. Tradisi juga tak pernah diuji melalui perdebatan, tak pernah diputuskan dalam suatu voting berdasarkan suara terbanyak. Tradisi lahir dan diterima dengan hati tanpa menggoyahkan kemapanan dalam kemapanan budaya dan hal khusus yang disebut conventional wisdom yang lebih tua. Kita tahu tradisi lahir dalam kearifan para warga pendukungnya yang membuat keputusan dalam diam. Di sini berlaku dalil sosial: kebenaran dalam jiwa seorang warga masyarakat dengan sendirinya merupakan kebenaran pula bagi para warga masyarakat yang lain. Kita bisa menyebutnya dengan ungkapan lain: kebenaran yang diterima satu orang diterima pula oleh yang lain.
Barangkali inilah wajah sebuah keputusan yang bisa disebut arif bijaksana, yang agaknya tak lagi terjadi di luar tatanan budaya yang masih punya sedikit rasa hormat terhadap tradisi. Apalagi, di dalam masyarakat setelah tradisi yang berubah begitu cepatnya sehingga kita tak lagi bisa menemukan di dalamnya sisa-sisa kemapanan lama. Ini semua membuat kita tak perlu merasa heran karena sebuah tradisi, mungkin bahkan setiap jenis tradisi lahir sebagai jawaban atas kebutuhan nyata yang tumbuh di dalam masyarakatnya. Dengan begitu, menjadi jelas bagi kita tradisi bukan ornamen yang ditempelkan di tubuh masyarakat, sekadar untuk memenuhi cita rasa keindahan.
Tradisi mungkin bisa disebut sukma atau ruh masyarakat yang bersangkutan. Maka, tanpa diuji tradisi sudah dengan sendirinya teruji. Tanpa diciptakan tradisi telah tercipta. Barangkali tak pernah ada suatu masyarakat yang dengan sadar berusaha menciptakan tradisi. Kecuali tidak suci, tradisi pun sering kelihatan agak begitu rentan terhadap kemungkinan tingkah laku menyimpang di dalam masyarakat. Perlawanan tradisi terhadap penyimpangan biasanya bukan disampaikan melalui kritik dan kemarahan melainkan melalui sindiran. Ada suatu jenis penyimpangan yang disindir dengan ungkapan milik nggendong lali, yang intinya menggambarkan sikap seseorang yang merasa begitu senang dengan sesuatu, bahkan menikmatinya secara mendalam dan karena itu dia berusaha mempertahankannya, untuk mengubah status benda atau sesuatu yang nonbenda, yang bukan miliknya itu, menjadi memilikinya.
Orang boleh memberinya nama khusus dalam konteks khusus di luar kajian budaya. Tapi di sini kelihatannya agak jelas, milik nggendong lali merupakan ekspresi sikap atau tindakan yang tampaknya bersifat lokal, seolah hal ini hanya merupakan bagian dari tradisi Jawa, terutama bila ditinjau dari ungkapannya yang berbahasa Jawa tadi. Para ilmuwan Jawa, antropolog maupun sosiolog, sampai saat ini agaknya belum pernah ada yang membahas perkara ini untuk menemukan konteks kebudayaannya yang lebih luas. Saya sendiri lama membiarkan ungkapan itu menjadi apa adanya, dengan anggapan bahwa hal itu memang bersifat khas Jawa, tetapi ternyata tidak. Ini juga merupakan bagian dari unsur-unsur yang bersifat global, yang memiliki ciri dan nama yang jelas. Milik nggendong lali itu di luar tradisi Jawa disebut keengganan meninggalkan apa yang mungkin bisa disebut comfort zone yang begitu membius dan memesona pribadi yang mungkin lemah, atau orang kuat tapi serakah.
Tradisi Jawa memiliki formula untuk mengatasi persoalan seperti ini. Ada contoh klasik dalam relasi kekuasaan antara Patih dan Rajanya. Patih Suwanda diperintahkan memboyong putri cantik untuk dijadikan permaisuri Baginda Raja Sri Harjuna Sasrabahu dari Negeri Maespati. Sang patih berhasil memperoleh putri itu melalui pertempuran beradu kekuatan lahir dan batin. Namun, di dalam perjalanan pulang, ketika dilihatnya sang putri kelihatan sedemikian cantiknya, dia tak mau menyerahkannya kepada Baginda Raja. Dia menantang Sri Baginda untuk beradu kesaktian. Kalau Baginda mampu mengalahkannya, sang putri boleh diambil menjadi permaisuri. Baginda Raja yang memang lebih sakti dengan sendirinya menang dan berhak menjadikan sang putri jelita sebagai permaisuri. Solusi Jawa ini tegas sekali. Di sini ”milik nggendong lali” berakhir tragis dan memalukan bagi Patih Suwanda.
Ungkapan ngemut gula krasa legi juga merupakan sindiran terhadap jenis perilaku menyimpang yang lebih kurang sama seperti contoh di atas, mungkin bahkan sama persis. Dengan begitu, tak perlu lagi diulas apa maknanya, kecuali sedikit tambahan bahwa ngemut gula krasa legi itu tak pelak lagi akan membuat siapa pun yang mengemutnya merasa manis, dan dalam kenikmatan yang manis itu mustahil yang bersangkutan ”melepehnya” atau mengeluarkannya dari mulut. Konsep lain yang dikenal dengan sebutan ngunthet dalam tradisi Jawa, memberi kita kesan bahwa hal itu tak lebih dari fenomena yang bersifat Jawa pula. Kita tak pernah mencarikan kaitannya dengan fenomena lain yang lebih luas daripada apa yang kita duga.
Orang yang melakukan audit, atau sebaliknya: orang yang diaudit, pelan-pelan mulai paham bahwa ngunthet itu ternyata merupakan fenomena global yang disebut mark-up. Mungkin di sini kita lalu bicara bahwa yang diduga bersifat ”lokal” tadi ternyata dalam konteks global juga memiliki nama khusus. Lokal dan global dalam konteks ini sama. Sebagai bagian dari apa yang bisa diterima secara wajar dalam tradisi, ngunthet tak pernah diberi stigma negatif dan dengan begitu tak dianggap sebagai tingkah laku yang bersifat patologis. Ngunthet diterima sebagai sejenis kewajaran dan ketika kita membicarakannya, kita bisa berbicara sambil tersenyum karena hal itu dianggap bukan suatu penyimpangan, bukan sebuah dosa. Tapi ketika kesadaran kita berubah, bahwa ngunthet itu mark-up yang bisa dikenai tindak pidana korupsi, kita menjadi sadar bahwa tindakan tersebut sebuah penyimpangan yang tak mungkin bisa menjaga keutuhan tradisi. Pemahaman konvensional mengenai larangan untuk tidak mencuri, di dalam masyarakat komunal dipahami secara harfiah sesuai konsep mencuri di dalam masyarakat bersangkutan.
Dengan begitu, hal-hal yang sudah dibahas di atas dianggap persoalan lain yang tak berhubungan dengan mencuri. Begitu pula korupsi. Tradisi yang tak membedakan apa yang merupakan urusan privat dan urusan publik akan dengan sendirinya tak mengenal korupsi. Konsep penyimpangan pun dalam masyarakat komunal yang meluhurkan tradisi sebagai hal yang tak tersentuh, berbeda pula maknanya dibanding dengan pengertian dunia audit yang sudah jelas memiliki pakem dan aturan-aturan standar yang tak bisa lagi diganggu gugat.
Kuitansi, yang dimengerti berdasarkan kemampuan mengotak-atik makna kata menjadi kuwi tansah dadi saksi benda itu selalu menjadi saksi, tak dengan sendirinya bisa membuat orang merasa enak menandatanganinya terutama bila apa yang disebut public trust itu lebih dibangun menggunakan ketulusan hati yang hampir tak terukur. Maka birokrasi mati-matian menekankan aturan sangat ketat, tegas, terukur, dan kelewat jauh memercayai prosedur. Tapi di birokrasi macam itu penyimpangan, penggelapan, dan korupsi mengapa masih juga terjadi? Dan, mengapa orang bisa korup secara nyaman menggunakan, atau menyalah gunakan prosedur baku yang ketat dan keras seperti mesin yang tak memiliki kelenturan jiwa? Birokrasi hanya percaya pada dalil bahwa keterbukaan, transparansi, dan tanda bukti nyata sebagai simbol terbaik dalam manajemen keuangan.
Lembaga audit dan para auditor telah berbakti mati-matian pada prosedur seperti itu. Tapi apa maknanya terbuka, transparan, jelas, dan tegas bila tuntutan terhadap akuntabilitas publik tak terpenuhi? Terbuka dan transparan tanpa akuntabilitas publik itu sikap terkutuk karena mengabaikan public trust dalam tradisi masyarakat modern. Segenap penyimpangan dalam masyarakat komunal pun terkutuk karena melukai tradisi.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
TRADISI sering membuat dirinya begitu dekat dengan segenap kesucian, yang menghubungkan apa yang duniawi dan apa yang surgawi, dan apa yang manusiawi dengan yang Ilahi. Ritual demi ritual mengukuhkan kebenaran pemikiran itu. Apalagi, bila kita bicara mengenai ritual yang disebut sakral atau suci, dengan simbol-simbol yang melekat pada benda-benda suci di dalam ritual tadi. Di sini, kedekatan tradisi dengan kesucian tampak begitu jelas bahkan antara keduanya seperti tak terpisahkan sama sekali. Padahal tradisi itu sendiri bukan benda suci. Tradisi merupakan satu hal, kesucian merupakan hal yang lain. Mereka berdomisili di dunia yang tak sama dan berjauhan letaknya.
Kajian-kajian antropologi menjelaskan, tradisi lahir di dalam suatu masyarakat dan diterima dengan kesepakatan utuh, tanpa perundingan, tanpa musyawarah. Tradisi juga tak pernah diuji melalui perdebatan, tak pernah diputuskan dalam suatu voting berdasarkan suara terbanyak. Tradisi lahir dan diterima dengan hati tanpa menggoyahkan kemapanan dalam kemapanan budaya dan hal khusus yang disebut conventional wisdom yang lebih tua. Kita tahu tradisi lahir dalam kearifan para warga pendukungnya yang membuat keputusan dalam diam. Di sini berlaku dalil sosial: kebenaran dalam jiwa seorang warga masyarakat dengan sendirinya merupakan kebenaran pula bagi para warga masyarakat yang lain. Kita bisa menyebutnya dengan ungkapan lain: kebenaran yang diterima satu orang diterima pula oleh yang lain.
Barangkali inilah wajah sebuah keputusan yang bisa disebut arif bijaksana, yang agaknya tak lagi terjadi di luar tatanan budaya yang masih punya sedikit rasa hormat terhadap tradisi. Apalagi, di dalam masyarakat setelah tradisi yang berubah begitu cepatnya sehingga kita tak lagi bisa menemukan di dalamnya sisa-sisa kemapanan lama. Ini semua membuat kita tak perlu merasa heran karena sebuah tradisi, mungkin bahkan setiap jenis tradisi lahir sebagai jawaban atas kebutuhan nyata yang tumbuh di dalam masyarakatnya. Dengan begitu, menjadi jelas bagi kita tradisi bukan ornamen yang ditempelkan di tubuh masyarakat, sekadar untuk memenuhi cita rasa keindahan.
Tradisi mungkin bisa disebut sukma atau ruh masyarakat yang bersangkutan. Maka, tanpa diuji tradisi sudah dengan sendirinya teruji. Tanpa diciptakan tradisi telah tercipta. Barangkali tak pernah ada suatu masyarakat yang dengan sadar berusaha menciptakan tradisi. Kecuali tidak suci, tradisi pun sering kelihatan agak begitu rentan terhadap kemungkinan tingkah laku menyimpang di dalam masyarakat. Perlawanan tradisi terhadap penyimpangan biasanya bukan disampaikan melalui kritik dan kemarahan melainkan melalui sindiran. Ada suatu jenis penyimpangan yang disindir dengan ungkapan milik nggendong lali, yang intinya menggambarkan sikap seseorang yang merasa begitu senang dengan sesuatu, bahkan menikmatinya secara mendalam dan karena itu dia berusaha mempertahankannya, untuk mengubah status benda atau sesuatu yang nonbenda, yang bukan miliknya itu, menjadi memilikinya.
Orang boleh memberinya nama khusus dalam konteks khusus di luar kajian budaya. Tapi di sini kelihatannya agak jelas, milik nggendong lali merupakan ekspresi sikap atau tindakan yang tampaknya bersifat lokal, seolah hal ini hanya merupakan bagian dari tradisi Jawa, terutama bila ditinjau dari ungkapannya yang berbahasa Jawa tadi. Para ilmuwan Jawa, antropolog maupun sosiolog, sampai saat ini agaknya belum pernah ada yang membahas perkara ini untuk menemukan konteks kebudayaannya yang lebih luas. Saya sendiri lama membiarkan ungkapan itu menjadi apa adanya, dengan anggapan bahwa hal itu memang bersifat khas Jawa, tetapi ternyata tidak. Ini juga merupakan bagian dari unsur-unsur yang bersifat global, yang memiliki ciri dan nama yang jelas. Milik nggendong lali itu di luar tradisi Jawa disebut keengganan meninggalkan apa yang mungkin bisa disebut comfort zone yang begitu membius dan memesona pribadi yang mungkin lemah, atau orang kuat tapi serakah.
Tradisi Jawa memiliki formula untuk mengatasi persoalan seperti ini. Ada contoh klasik dalam relasi kekuasaan antara Patih dan Rajanya. Patih Suwanda diperintahkan memboyong putri cantik untuk dijadikan permaisuri Baginda Raja Sri Harjuna Sasrabahu dari Negeri Maespati. Sang patih berhasil memperoleh putri itu melalui pertempuran beradu kekuatan lahir dan batin. Namun, di dalam perjalanan pulang, ketika dilihatnya sang putri kelihatan sedemikian cantiknya, dia tak mau menyerahkannya kepada Baginda Raja. Dia menantang Sri Baginda untuk beradu kesaktian. Kalau Baginda mampu mengalahkannya, sang putri boleh diambil menjadi permaisuri. Baginda Raja yang memang lebih sakti dengan sendirinya menang dan berhak menjadikan sang putri jelita sebagai permaisuri. Solusi Jawa ini tegas sekali. Di sini ”milik nggendong lali” berakhir tragis dan memalukan bagi Patih Suwanda.
Ungkapan ngemut gula krasa legi juga merupakan sindiran terhadap jenis perilaku menyimpang yang lebih kurang sama seperti contoh di atas, mungkin bahkan sama persis. Dengan begitu, tak perlu lagi diulas apa maknanya, kecuali sedikit tambahan bahwa ngemut gula krasa legi itu tak pelak lagi akan membuat siapa pun yang mengemutnya merasa manis, dan dalam kenikmatan yang manis itu mustahil yang bersangkutan ”melepehnya” atau mengeluarkannya dari mulut. Konsep lain yang dikenal dengan sebutan ngunthet dalam tradisi Jawa, memberi kita kesan bahwa hal itu tak lebih dari fenomena yang bersifat Jawa pula. Kita tak pernah mencarikan kaitannya dengan fenomena lain yang lebih luas daripada apa yang kita duga.
Orang yang melakukan audit, atau sebaliknya: orang yang diaudit, pelan-pelan mulai paham bahwa ngunthet itu ternyata merupakan fenomena global yang disebut mark-up. Mungkin di sini kita lalu bicara bahwa yang diduga bersifat ”lokal” tadi ternyata dalam konteks global juga memiliki nama khusus. Lokal dan global dalam konteks ini sama. Sebagai bagian dari apa yang bisa diterima secara wajar dalam tradisi, ngunthet tak pernah diberi stigma negatif dan dengan begitu tak dianggap sebagai tingkah laku yang bersifat patologis. Ngunthet diterima sebagai sejenis kewajaran dan ketika kita membicarakannya, kita bisa berbicara sambil tersenyum karena hal itu dianggap bukan suatu penyimpangan, bukan sebuah dosa. Tapi ketika kesadaran kita berubah, bahwa ngunthet itu mark-up yang bisa dikenai tindak pidana korupsi, kita menjadi sadar bahwa tindakan tersebut sebuah penyimpangan yang tak mungkin bisa menjaga keutuhan tradisi. Pemahaman konvensional mengenai larangan untuk tidak mencuri, di dalam masyarakat komunal dipahami secara harfiah sesuai konsep mencuri di dalam masyarakat bersangkutan.
Dengan begitu, hal-hal yang sudah dibahas di atas dianggap persoalan lain yang tak berhubungan dengan mencuri. Begitu pula korupsi. Tradisi yang tak membedakan apa yang merupakan urusan privat dan urusan publik akan dengan sendirinya tak mengenal korupsi. Konsep penyimpangan pun dalam masyarakat komunal yang meluhurkan tradisi sebagai hal yang tak tersentuh, berbeda pula maknanya dibanding dengan pengertian dunia audit yang sudah jelas memiliki pakem dan aturan-aturan standar yang tak bisa lagi diganggu gugat.
Kuitansi, yang dimengerti berdasarkan kemampuan mengotak-atik makna kata menjadi kuwi tansah dadi saksi benda itu selalu menjadi saksi, tak dengan sendirinya bisa membuat orang merasa enak menandatanganinya terutama bila apa yang disebut public trust itu lebih dibangun menggunakan ketulusan hati yang hampir tak terukur. Maka birokrasi mati-matian menekankan aturan sangat ketat, tegas, terukur, dan kelewat jauh memercayai prosedur. Tapi di birokrasi macam itu penyimpangan, penggelapan, dan korupsi mengapa masih juga terjadi? Dan, mengapa orang bisa korup secara nyaman menggunakan, atau menyalah gunakan prosedur baku yang ketat dan keras seperti mesin yang tak memiliki kelenturan jiwa? Birokrasi hanya percaya pada dalil bahwa keterbukaan, transparansi, dan tanda bukti nyata sebagai simbol terbaik dalam manajemen keuangan.
Lembaga audit dan para auditor telah berbakti mati-matian pada prosedur seperti itu. Tapi apa maknanya terbuka, transparan, jelas, dan tegas bila tuntutan terhadap akuntabilitas publik tak terpenuhi? Terbuka dan transparan tanpa akuntabilitas publik itu sikap terkutuk karena mengabaikan public trust dalam tradisi masyarakat modern. Segenap penyimpangan dalam masyarakat komunal pun terkutuk karena melukai tradisi.
(mhd)