Rekomendasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia (1)
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla menginjak tahun ke-3 pada minggu ini. Banyak analis atau mereka yang terlibat dalam diplomasi mengemukakan bahwa politik luar negeri belum jadi prioritas pemerintah.
Justifikasinya cukup beragam, mulai alasan praktis pragmatis hingga yang sifatnya mendekati alasan substantif. Pendapat saya akan terbagi menjadi dua bagian mengenai hal tersebut.
Bagian pertama, mengonseptualisasikan tentang kebijakan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Bagian kedua, akan memuat tentang tantangan dan rekomendasi yang mungkin dapat dipertimbangkan pemerintah.
Untuk itu, sebelum diskusinya saya bagi di sini, ada baiknya saya perjelas dulu tentang apa pentingnya politik luar negeri dalam sejarah negara Indonesia. Dalam Konstitusi Republik Indonesia, politik luar negeri Indonesia adalah politik membebaskan bangsa-bangsa dari kolonialisme.
Para pendiri bangsa dan rakyat berjuang bukan hanya untuk memerdekakan bangsa Indonesia, melainkan juga negara-negara lain dari kolonialisme. Indonesia memimpikan penghapusan penjajahan dari seluruh dunia karena bertentangan dengan prinsip perikemanusiaan dan perikeadilan yang diyakini oleh para pendiri bangsa.
Oleh sebab itu ketika Indonesia merdeka, tidak lantas kemudian langsung bekerja sama dengan negara-negara kolonial dari Eropa dan Amerika Serikat (AS), tetapi justru membantu negara-negara lain yang sedang dalam proses pembebasan.
Ada janji untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Harapannya ketika negara-negara kecil merdeka maka mereka memiliki posisi tawar yang lebih kuat terhadap negara kolonial Eropa dan AS.
Semangat tersebut yang sebetulnya mulai meredup di masa Orde Baru ketika pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama pemerintahan. Indonesia memang tetap terlibat di pergaulan dunia, tetapi tidak lagi aktif memimpin negara-negara berkembang dalam menggalang perjuangan pembebasan seperti yang dilakukan Presiden Soekarno.
Konsekuensinya maka hal-hal yang terkait dengan nilai seperti kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan tidak juga menjadi prioritas di dalam negeri. Pelanggaran HAM dan otoritarianisme menguat. Politik luar negeri dan politik dalam negeri menjadi terdikotomi.
Warisan sejarah itu yang masih terbawa hingga saat ini terutama dalam cara kita berpikir tentang pembangunan, khususnya ketika mendiskusikan perkembangan tiga tahun politik luar negeri Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ada pendapat yang menyatakan bahwa agenda pembangunan jauh lebih penting dan mendesak untuk diberi perhatian oleh presiden.
Di sini ada kesalahpahaman tentang terpisahnya agenda pembangunan dengan politik luar negeri; masih ada pemahaman yang minim tentang agenda pembangunan dan peranan kerja sama antarnegara untuk mendorong itu.
Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa panggung politik luar negeri berubah. Perang dingin sudah selesai dan setiap negara saat ini bekerja sama untuk meningkatkan perekonomian tidak memandang apakah negara itu komunis, sosialis, kapitalis, teokrasi, dan sebagainya. Tidak ada lagi penjajahan melalui pendudukan secara fisik seperti 70 tahun lalu.
Bila demikian, apakah masih relevan semangat politik luar negeri dalam konstitusi seperti yang telah dijelaskan di atas? Jawabannya adalah masih, karena inti dari kemerdekaan bersama negara-negara yang terjajah adalah solidaritas bersama negara-negara dalam meningkatkan daya tawar terhadap negara-negara yang besar dan kuat dan melindungi kepentingan dalam negeri.
Pengalaman membuktikan bahwa negara-negara kecil akan mampu menghadapi tekanan negara kuat ketika mereka mendapat dukungan solidaritas dari negara-negara lain. Solidaritas ini ditumbuhkan dan dirawat melalui diplomasi yang tidak kenal lelah.
Diplomasi adalah upaya negara untuk mencapai kepentingan nasional melalui kerja sama dengan negara-negara lain, bahkan membuka jalur kerja sama antaraktor nonpemerintah (juga karena hari ini para pihak nonpemerintah juga berperan penting dalam hubungan antarnegara), dan mencari tahu arah kebijakan luar negeri negara-negara yang kepentingannya berpotongan atau bahkan bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia.
Diplomasi bukan sekadar pemberi solusi bagi masalah yang sudah ada dan sedang berkembang, melainkan juga pemberi arah tentang arah kebijakan di dalam dan luar negeri yang perlu dikembangkan untuk mengantisipasi respons dari negara-negara lain. Artinya bahwa diplomasi adalah bagian sangat penting dari politik kebijakan luar negeri suatu negara; bukan di saat kondisi domestik sudah oke, tetapi justru di saat kondisi domestik dianggap lemah atau kondisi global mengalami ketidakpastian.
Kebijakan politik luar negeri kita secara konstitusional adalah bebas dan aktif. Bebas dalam arti tidak terikat dalam sekat-sekat ideologis dan aktif terlibat dalam masalah-masalah di dunia terutama yang menyangkut usaha menciptakan perdamaian. Dalam definisi praktis adalah kebijakan politik luar negeri bertujuan membangun kerja sama menurut analisis kondisi dalam dan luar negeri, terutama dalam mengantisipasi tantangan di masa depan.
Kebijakan politik luar ngeri dapat dibayangkan sebagai cara untuk mempersiapkan atau mengondisikan lingkungan politik luar negeri agar selaras dengan kepentingan dalam negeri. Upaya-upaya ini tidak bisa berhenti; harus dinamis terus mengikuti perkembangan zaman.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla menginjak tahun ke-3 pada minggu ini. Banyak analis atau mereka yang terlibat dalam diplomasi mengemukakan bahwa politik luar negeri belum jadi prioritas pemerintah.
Justifikasinya cukup beragam, mulai alasan praktis pragmatis hingga yang sifatnya mendekati alasan substantif. Pendapat saya akan terbagi menjadi dua bagian mengenai hal tersebut.
Bagian pertama, mengonseptualisasikan tentang kebijakan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Bagian kedua, akan memuat tentang tantangan dan rekomendasi yang mungkin dapat dipertimbangkan pemerintah.
Untuk itu, sebelum diskusinya saya bagi di sini, ada baiknya saya perjelas dulu tentang apa pentingnya politik luar negeri dalam sejarah negara Indonesia. Dalam Konstitusi Republik Indonesia, politik luar negeri Indonesia adalah politik membebaskan bangsa-bangsa dari kolonialisme.
Para pendiri bangsa dan rakyat berjuang bukan hanya untuk memerdekakan bangsa Indonesia, melainkan juga negara-negara lain dari kolonialisme. Indonesia memimpikan penghapusan penjajahan dari seluruh dunia karena bertentangan dengan prinsip perikemanusiaan dan perikeadilan yang diyakini oleh para pendiri bangsa.
Oleh sebab itu ketika Indonesia merdeka, tidak lantas kemudian langsung bekerja sama dengan negara-negara kolonial dari Eropa dan Amerika Serikat (AS), tetapi justru membantu negara-negara lain yang sedang dalam proses pembebasan.
Ada janji untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Harapannya ketika negara-negara kecil merdeka maka mereka memiliki posisi tawar yang lebih kuat terhadap negara kolonial Eropa dan AS.
Semangat tersebut yang sebetulnya mulai meredup di masa Orde Baru ketika pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama pemerintahan. Indonesia memang tetap terlibat di pergaulan dunia, tetapi tidak lagi aktif memimpin negara-negara berkembang dalam menggalang perjuangan pembebasan seperti yang dilakukan Presiden Soekarno.
Konsekuensinya maka hal-hal yang terkait dengan nilai seperti kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan tidak juga menjadi prioritas di dalam negeri. Pelanggaran HAM dan otoritarianisme menguat. Politik luar negeri dan politik dalam negeri menjadi terdikotomi.
Warisan sejarah itu yang masih terbawa hingga saat ini terutama dalam cara kita berpikir tentang pembangunan, khususnya ketika mendiskusikan perkembangan tiga tahun politik luar negeri Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ada pendapat yang menyatakan bahwa agenda pembangunan jauh lebih penting dan mendesak untuk diberi perhatian oleh presiden.
Di sini ada kesalahpahaman tentang terpisahnya agenda pembangunan dengan politik luar negeri; masih ada pemahaman yang minim tentang agenda pembangunan dan peranan kerja sama antarnegara untuk mendorong itu.
Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa panggung politik luar negeri berubah. Perang dingin sudah selesai dan setiap negara saat ini bekerja sama untuk meningkatkan perekonomian tidak memandang apakah negara itu komunis, sosialis, kapitalis, teokrasi, dan sebagainya. Tidak ada lagi penjajahan melalui pendudukan secara fisik seperti 70 tahun lalu.
Bila demikian, apakah masih relevan semangat politik luar negeri dalam konstitusi seperti yang telah dijelaskan di atas? Jawabannya adalah masih, karena inti dari kemerdekaan bersama negara-negara yang terjajah adalah solidaritas bersama negara-negara dalam meningkatkan daya tawar terhadap negara-negara yang besar dan kuat dan melindungi kepentingan dalam negeri.
Pengalaman membuktikan bahwa negara-negara kecil akan mampu menghadapi tekanan negara kuat ketika mereka mendapat dukungan solidaritas dari negara-negara lain. Solidaritas ini ditumbuhkan dan dirawat melalui diplomasi yang tidak kenal lelah.
Diplomasi adalah upaya negara untuk mencapai kepentingan nasional melalui kerja sama dengan negara-negara lain, bahkan membuka jalur kerja sama antaraktor nonpemerintah (juga karena hari ini para pihak nonpemerintah juga berperan penting dalam hubungan antarnegara), dan mencari tahu arah kebijakan luar negeri negara-negara yang kepentingannya berpotongan atau bahkan bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia.
Diplomasi bukan sekadar pemberi solusi bagi masalah yang sudah ada dan sedang berkembang, melainkan juga pemberi arah tentang arah kebijakan di dalam dan luar negeri yang perlu dikembangkan untuk mengantisipasi respons dari negara-negara lain. Artinya bahwa diplomasi adalah bagian sangat penting dari politik kebijakan luar negeri suatu negara; bukan di saat kondisi domestik sudah oke, tetapi justru di saat kondisi domestik dianggap lemah atau kondisi global mengalami ketidakpastian.
Kebijakan politik luar negeri kita secara konstitusional adalah bebas dan aktif. Bebas dalam arti tidak terikat dalam sekat-sekat ideologis dan aktif terlibat dalam masalah-masalah di dunia terutama yang menyangkut usaha menciptakan perdamaian. Dalam definisi praktis adalah kebijakan politik luar negeri bertujuan membangun kerja sama menurut analisis kondisi dalam dan luar negeri, terutama dalam mengantisipasi tantangan di masa depan.
Kebijakan politik luar ngeri dapat dibayangkan sebagai cara untuk mempersiapkan atau mengondisikan lingkungan politik luar negeri agar selaras dengan kepentingan dalam negeri. Upaya-upaya ini tidak bisa berhenti; harus dinamis terus mengikuti perkembangan zaman.
(poe)