Mengapa Harus Takut pada Densus Tipikor
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
ADA yang menarik dari pro-kontra kehadiran Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri. Tiba-tiba saja banyak pihak yang merasa kebakaran jenggot seperti anak kecil yang terancam kehilangan mainan. Padahal, kehadiran Densus Tipikor Polri tidak akan mengurangi proyek-proyek kerja sama KPK dengan berbagai pihak dan berbagai program yang dibiayai APBN. Serta, tidak akan mengganggu juga masuknya aliran dana bantuan asing yang selama ini masuk ke berbagai pihak melalui endorsement KPK untuk tetap ”memfestivalisasi” isu-isu pemberantasan korupsi yang kerap melahirkan kegaduhan dan mengganggu pembangunan.
Tidak ada yang perlu ditakutkan atau dipersalahkan jika kehadiran Densus Tipikor nanti akan menimbulkan kegaduhan sebab kegaduhan akan berhenti dengan sendirinya setelah semua orang paham akan peran dan fungsi Densus Tipikor. Mengapa harus takut pada inisiatif Polri menghadirkan Densus Tipikor? Ada urgensinya bagi negara memperbarui strategi pemberantasan korupsi karena strategi maupun aksi yang diterapkan sekarang tidak efektif lagi. Negara memerlukan alat pemukul tambahan sehingga Polri berinisiatif membentuk Densus Tipikor.
Sebuah inisiatif baru memang harus diambil karena kinerja pemberantasan korupsi dalam 15 tahun terakhir sama sekali tidak signifikan. Selama belasan tahun itu, medan perang melawan korupsi hanya mempertunjukkan penindakan atau operasi tangkap tangan (OTT). Alih-alih menurun, korupsi justru semakin menjadi-jadi. Kecuali Kantor Presiden dan Wakil Presiden, semua institusi negara sudah terjangkit virus korupsi.
Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng terakhir pencari keadilan pun tidak bisa membendung virus korupsi. Beberapa oknum di dalam MA terlibat korupsi dengan modus jual-beli perkara. Para oknum hakim pada sejumlah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi pun ditangkap karena korupsi dalam bentuk menerima uang suap dengan imbalan meringankan vonis. Negeri ini sebenarnya sedang dibayang-bayangi ketidakpastian hukum karena badan-badan peradilan terlalu sering diguncang skandal suap.
Jumlah kepala daerah yang sudah dijerat karena melakukan korupsi sebenarnya patut dikhawatirkan. Bukan hanya karena jumlahnya sudah cukup banyak, melainkan juga persoalan efektivitas tata pemerintahan daerah setempat yang juga harus diperhitungkan. Lebih dari itu, begitu banyak kepala daerah yang ditangkap juga memberi gambaran tentang buruknya pola rekrutmen pimpinan daerah.
Pimpinan daerah dengan kualitas kepribadian yang buruk biasanya juga tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat setempat.
Presiden Joko Widodo terpaksa harus memberi peringatan sangat keras kepada seorang wali kota karena membiarkan sejumlah ruas jalan di kota besar itu rusak parah. Itulah salah satu contoh kasus dari kepribadian pimpinan daerah yang tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat setempat. Dengan kualitas kepribadian seperti itu, seorang penguasa daerah tidak sungkan-sungkan untuk berperilaku menyimpang, termasuk berperilaku korup.
Gambaran tentang maraknya praktik korupsi di negara ini sudah menjadi pengetahuan umum. Di ruang publik setiap individu pasti punya cerita tentang perilaku oknum birokrat yang korup, tentang modus-modus korupsi, hingga kisah tentang gaya hidup keluarga koruptor. Menghadapi kenyataan buruk itu, publik hanya bisa melihat dan mendengar. Tetapi, mereka tidak bisa dan tak berdaya untuk sekadar mencegah korupsi. Maka, alat-alat negaralah yang harus bertindak.
Benar bahwa sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendapat mandat undang-undang untuk memerangi korupsi. Namun, kendati KPK sudah menangkap begitu banyak koruptor, toh efek jera tidak pernah tumbuh. Sudah terbukti bahwa eksistensi KPK tidak menghadirkan efek gentar. Karena minus efek gentar itulah, korupsi tampak semakin marak. Menyikapi kecenderungan itu, sebagian orang hanya bisa marah, yang lain mengeluh, dan sebagian lainnya mengecam. Atau, bersilat lidah dalam forum dialog tentang strategi pemberantasan korupsi.
Pertanyaannya adalah mau berapa lama kecenderungan seperti sekarang akan dipertahankan? Lalu, apakah dengan strategi seperti yang dipraktikkan sekarang ini bisa efektif menekan praktik korupsi di tubuh birokrasi pemerintah pusat maupun birokrasi pemerintah daerah? Perdebatan tentang perlu dan tidak penguatan KPK adalah jebakan yang mengakibatkan kinerja pemberantasan korupsi tidak signifikan.
Banyak orang terlihat konyol karena tidak mau mengakui bahwa KPK tidak cukup efektif memberantas korupsi. KPK bahkan nyaris gagal karena lebih mengutamakan penindakan, bukan merumuskan sistem dan strategi pencegahan. Rangkaian penindakan KPK itu kemudian dijadikan show untuk menghibur masyarakat sekaligus penjelasan bahwa KPK telah bekerja. Apakah rangkaian show oleh KPK itu efektif menyelesaikan masalah? Kerja KPK memang patut diapresiasi. Tetapi, tujuan besarnya bukanlah rentetan penindakan itu, melainkan terbangunnya budaya antikorupsi.
Belum tumbuhnya budaya antikorupsi menjadi ancaman serius bagi masa depan generasi muda bangsa ini. Orang-orang muda yang memasuki dunia kerja harus menghadapi budaya atau perilaku korup di lingkungan kerja pemerintahan maupun di lingkungan swasta. Anak-anak muda yang melamar kerja di pabrik-pabrik harus menyediakan uang sogok. Perusahaan-perusahaan swasta yang ingin mengerjakan proyek-proyek pemerintah juga harus menyisihkan uang suap. Seperti itulah praktik atau kecenderungan yang berlaku sekarang. Dan, sekali lagi, kecenderungan ini bukan hanya sudah menjadi pengetahuan umum, melainkan juga dirasakan atau menjadi pengalaman jutaan orang di negara ini. Dan, jutaan orang itu merasa dilecehkan di negerinya sendiri. Tak tahu mau mengadu kepada siapa.
Efek Gentar
Harus ada keberanian untuk mengakui kegagalan dalam pemberantasan korupsi. Mari berkata jujur pada diri sendiri dan kepada khalayak tentang kegagalan itu. Gerakan pemberantasan korupsi tidak akan pernah mencapai tujuannya jika selalu dijadikan polemik atau perdebatan. Berdebat tidaklah salah jika berujung pada kesepakatan tentang rumusan strategi yang paling efektif.
Tantangan bagi bangsa ini adalah bagaimana mereduksi perilaku korup di tubuh birokrasi pusat dan daerah? Menyerahkan semua beban pekerjaan itu kepada KPK sudah terbukti tidak masuk akal. Lihat saja, eksistensi KPK tidak membuat oknum pegawai negeri sampai kepala daerah takut melakukan korupsi. Karena fokus pada penindakan, mencegah kepala daerah melakukan korupsi pun KPK tidak mampu. Padahal, karena posisinya yang paling atas dalam struktur pemerintahan daerah, mencegah kepala daerah melakukan korupsi seharusnya lebih mudah jika KPK sejak awal merumuskan sistem dan strategi pencegahannya.
Karena itu, menghadirkan alat ”pemukul” tambahan bernama Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) yang digagas dan dibentuk oleh Mabes Polri menjadi sangat relevan. Lagi pula, merespons kasus-kasus tipikor bukanlah pekerjaan haram bagi Polri. Sebaliknya, pekerjaan itu merupakan kewajiban Polri. Dengan jelajah kerja yang membentang dari pusat hingga semua pelosok daerah, Densus Tipikor bukan hanya diharapkan mampu menghadirkan efek gentar, melainkan juga harus bisa menghadirkan efek gentar itu.
Efek gentar berperilaku korup harus segera ditumbuhkan di semua ruang publik. Biarlah semua orang merasa diawasi oleh personel Densus Tipikor. Karena merasa diawasi, siapa pun akan gentar untuk berperilaku korup. Dalam konteks ini, pengawasan terhadap setiap oknum dalam skala yang moderat bukanlah sebuah kesalahan. Anak-anak didik yang mengikuti ujian saja diawasi oleh gurunya agar tidak berperilaku korup dengan menyontek. Pendekatan seperti ini diperlukan dalam rentang waktu tertentu dengan tujuan terbangun budaya antikorupsi.
Apakah kehadiran Densus Tipikor akan menimbulkan kegaduhan? Bisa ya, bisa juga tidak. Kegaduhan karena kehadiran Densus Tipikor pun tidak perlu dipersalahkan atau dikhawatirkan. Kegaduhan akan berhenti dengan sendirinya setelah semua orang paham akan peran dan fungsi Densus Tipikor.
Siapa yang akan memicu kegaduhan dari kehadiran Densus Tipikor? Sudah barang tentu kelompok-kelompok yang merasa akan sangat terganggu dengan beroperasinya Densus Tipikor. Mereka adalah kelompok yang merasa nyaman dengan kelemahan dan kekurangan KPK saat ini. Mereka tidak peduli pada fakta tentang korupsi yang semakin marak. Karena merasa terganggu, mereka pasti akan menggalang kekuatan atau opini untuk menentang kehadiran Densus Tipikor. Upaya itu diyakini tidak akan berhasil karena negara memang sangat membutuhkan alat pemukul tambahan dalam perang melawan korupsi.
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
ADA yang menarik dari pro-kontra kehadiran Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri. Tiba-tiba saja banyak pihak yang merasa kebakaran jenggot seperti anak kecil yang terancam kehilangan mainan. Padahal, kehadiran Densus Tipikor Polri tidak akan mengurangi proyek-proyek kerja sama KPK dengan berbagai pihak dan berbagai program yang dibiayai APBN. Serta, tidak akan mengganggu juga masuknya aliran dana bantuan asing yang selama ini masuk ke berbagai pihak melalui endorsement KPK untuk tetap ”memfestivalisasi” isu-isu pemberantasan korupsi yang kerap melahirkan kegaduhan dan mengganggu pembangunan.
Tidak ada yang perlu ditakutkan atau dipersalahkan jika kehadiran Densus Tipikor nanti akan menimbulkan kegaduhan sebab kegaduhan akan berhenti dengan sendirinya setelah semua orang paham akan peran dan fungsi Densus Tipikor. Mengapa harus takut pada inisiatif Polri menghadirkan Densus Tipikor? Ada urgensinya bagi negara memperbarui strategi pemberantasan korupsi karena strategi maupun aksi yang diterapkan sekarang tidak efektif lagi. Negara memerlukan alat pemukul tambahan sehingga Polri berinisiatif membentuk Densus Tipikor.
Sebuah inisiatif baru memang harus diambil karena kinerja pemberantasan korupsi dalam 15 tahun terakhir sama sekali tidak signifikan. Selama belasan tahun itu, medan perang melawan korupsi hanya mempertunjukkan penindakan atau operasi tangkap tangan (OTT). Alih-alih menurun, korupsi justru semakin menjadi-jadi. Kecuali Kantor Presiden dan Wakil Presiden, semua institusi negara sudah terjangkit virus korupsi.
Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng terakhir pencari keadilan pun tidak bisa membendung virus korupsi. Beberapa oknum di dalam MA terlibat korupsi dengan modus jual-beli perkara. Para oknum hakim pada sejumlah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi pun ditangkap karena korupsi dalam bentuk menerima uang suap dengan imbalan meringankan vonis. Negeri ini sebenarnya sedang dibayang-bayangi ketidakpastian hukum karena badan-badan peradilan terlalu sering diguncang skandal suap.
Jumlah kepala daerah yang sudah dijerat karena melakukan korupsi sebenarnya patut dikhawatirkan. Bukan hanya karena jumlahnya sudah cukup banyak, melainkan juga persoalan efektivitas tata pemerintahan daerah setempat yang juga harus diperhitungkan. Lebih dari itu, begitu banyak kepala daerah yang ditangkap juga memberi gambaran tentang buruknya pola rekrutmen pimpinan daerah.
Pimpinan daerah dengan kualitas kepribadian yang buruk biasanya juga tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat setempat.
Presiden Joko Widodo terpaksa harus memberi peringatan sangat keras kepada seorang wali kota karena membiarkan sejumlah ruas jalan di kota besar itu rusak parah. Itulah salah satu contoh kasus dari kepribadian pimpinan daerah yang tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat setempat. Dengan kualitas kepribadian seperti itu, seorang penguasa daerah tidak sungkan-sungkan untuk berperilaku menyimpang, termasuk berperilaku korup.
Gambaran tentang maraknya praktik korupsi di negara ini sudah menjadi pengetahuan umum. Di ruang publik setiap individu pasti punya cerita tentang perilaku oknum birokrat yang korup, tentang modus-modus korupsi, hingga kisah tentang gaya hidup keluarga koruptor. Menghadapi kenyataan buruk itu, publik hanya bisa melihat dan mendengar. Tetapi, mereka tidak bisa dan tak berdaya untuk sekadar mencegah korupsi. Maka, alat-alat negaralah yang harus bertindak.
Benar bahwa sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendapat mandat undang-undang untuk memerangi korupsi. Namun, kendati KPK sudah menangkap begitu banyak koruptor, toh efek jera tidak pernah tumbuh. Sudah terbukti bahwa eksistensi KPK tidak menghadirkan efek gentar. Karena minus efek gentar itulah, korupsi tampak semakin marak. Menyikapi kecenderungan itu, sebagian orang hanya bisa marah, yang lain mengeluh, dan sebagian lainnya mengecam. Atau, bersilat lidah dalam forum dialog tentang strategi pemberantasan korupsi.
Pertanyaannya adalah mau berapa lama kecenderungan seperti sekarang akan dipertahankan? Lalu, apakah dengan strategi seperti yang dipraktikkan sekarang ini bisa efektif menekan praktik korupsi di tubuh birokrasi pemerintah pusat maupun birokrasi pemerintah daerah? Perdebatan tentang perlu dan tidak penguatan KPK adalah jebakan yang mengakibatkan kinerja pemberantasan korupsi tidak signifikan.
Banyak orang terlihat konyol karena tidak mau mengakui bahwa KPK tidak cukup efektif memberantas korupsi. KPK bahkan nyaris gagal karena lebih mengutamakan penindakan, bukan merumuskan sistem dan strategi pencegahan. Rangkaian penindakan KPK itu kemudian dijadikan show untuk menghibur masyarakat sekaligus penjelasan bahwa KPK telah bekerja. Apakah rangkaian show oleh KPK itu efektif menyelesaikan masalah? Kerja KPK memang patut diapresiasi. Tetapi, tujuan besarnya bukanlah rentetan penindakan itu, melainkan terbangunnya budaya antikorupsi.
Belum tumbuhnya budaya antikorupsi menjadi ancaman serius bagi masa depan generasi muda bangsa ini. Orang-orang muda yang memasuki dunia kerja harus menghadapi budaya atau perilaku korup di lingkungan kerja pemerintahan maupun di lingkungan swasta. Anak-anak muda yang melamar kerja di pabrik-pabrik harus menyediakan uang sogok. Perusahaan-perusahaan swasta yang ingin mengerjakan proyek-proyek pemerintah juga harus menyisihkan uang suap. Seperti itulah praktik atau kecenderungan yang berlaku sekarang. Dan, sekali lagi, kecenderungan ini bukan hanya sudah menjadi pengetahuan umum, melainkan juga dirasakan atau menjadi pengalaman jutaan orang di negara ini. Dan, jutaan orang itu merasa dilecehkan di negerinya sendiri. Tak tahu mau mengadu kepada siapa.
Efek Gentar
Harus ada keberanian untuk mengakui kegagalan dalam pemberantasan korupsi. Mari berkata jujur pada diri sendiri dan kepada khalayak tentang kegagalan itu. Gerakan pemberantasan korupsi tidak akan pernah mencapai tujuannya jika selalu dijadikan polemik atau perdebatan. Berdebat tidaklah salah jika berujung pada kesepakatan tentang rumusan strategi yang paling efektif.
Tantangan bagi bangsa ini adalah bagaimana mereduksi perilaku korup di tubuh birokrasi pusat dan daerah? Menyerahkan semua beban pekerjaan itu kepada KPK sudah terbukti tidak masuk akal. Lihat saja, eksistensi KPK tidak membuat oknum pegawai negeri sampai kepala daerah takut melakukan korupsi. Karena fokus pada penindakan, mencegah kepala daerah melakukan korupsi pun KPK tidak mampu. Padahal, karena posisinya yang paling atas dalam struktur pemerintahan daerah, mencegah kepala daerah melakukan korupsi seharusnya lebih mudah jika KPK sejak awal merumuskan sistem dan strategi pencegahannya.
Karena itu, menghadirkan alat ”pemukul” tambahan bernama Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) yang digagas dan dibentuk oleh Mabes Polri menjadi sangat relevan. Lagi pula, merespons kasus-kasus tipikor bukanlah pekerjaan haram bagi Polri. Sebaliknya, pekerjaan itu merupakan kewajiban Polri. Dengan jelajah kerja yang membentang dari pusat hingga semua pelosok daerah, Densus Tipikor bukan hanya diharapkan mampu menghadirkan efek gentar, melainkan juga harus bisa menghadirkan efek gentar itu.
Efek gentar berperilaku korup harus segera ditumbuhkan di semua ruang publik. Biarlah semua orang merasa diawasi oleh personel Densus Tipikor. Karena merasa diawasi, siapa pun akan gentar untuk berperilaku korup. Dalam konteks ini, pengawasan terhadap setiap oknum dalam skala yang moderat bukanlah sebuah kesalahan. Anak-anak didik yang mengikuti ujian saja diawasi oleh gurunya agar tidak berperilaku korup dengan menyontek. Pendekatan seperti ini diperlukan dalam rentang waktu tertentu dengan tujuan terbangun budaya antikorupsi.
Apakah kehadiran Densus Tipikor akan menimbulkan kegaduhan? Bisa ya, bisa juga tidak. Kegaduhan karena kehadiran Densus Tipikor pun tidak perlu dipersalahkan atau dikhawatirkan. Kegaduhan akan berhenti dengan sendirinya setelah semua orang paham akan peran dan fungsi Densus Tipikor.
Siapa yang akan memicu kegaduhan dari kehadiran Densus Tipikor? Sudah barang tentu kelompok-kelompok yang merasa akan sangat terganggu dengan beroperasinya Densus Tipikor. Mereka adalah kelompok yang merasa nyaman dengan kelemahan dan kekurangan KPK saat ini. Mereka tidak peduli pada fakta tentang korupsi yang semakin marak. Karena merasa terganggu, mereka pasti akan menggalang kekuatan atau opini untuk menentang kehadiran Densus Tipikor. Upaya itu diyakini tidak akan berhasil karena negara memang sangat membutuhkan alat pemukul tambahan dalam perang melawan korupsi.
(pur)