Gubernur Baru dan Warisan Lama

Senin, 16 Oktober 2017 - 07:31 WIB
Gubernur Baru dan Warisan...
Gubernur Baru dan Warisan Lama
A A A
Yayat Supriatna
Pengajar di Jurusan Teknik Planologi Universitas Trisakti Jakarta

SAAT Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen mendirikan Kota Batavia pada 30 Mei 1619, dia sudah memahami problema apa yang bakal dihadapi kota ini di masa depan. Secara fisik menata kota di wilayah hilir dari 13 sungai besar bukanlah permasalahan yang mudah diatasi.

Batavia memiliki cacat bawaan, jika tidak hati-hati dalam mengelolanya akan terkena bencana turunan antargenerasi. Beragam kebijakan untuk mengatasi problem Batavia telah banyak dilakukan Pemerintah Belanda, seperti pembangunan 16 kanal untuk mengatasi banjir dan penataan lingkungan di sekitarnya.

Upaya ini ternyata tidak mampu menghilangkan ancaman kematian bagi warga Batavia akibat buruknya sanitasi dan ganasnya serangan malaria. Jan Pieterszoon Coen sebagai gubernur sudah pernah gagal menata Jakarta. Dia tidak bisa membayangkan apakah para penggantinya akan mengalami hal yang sama dengan dirinya. Gubernur baru perlu banyak belajar dari para pendahulunya supaya mampu mencari solusi atas warisan lama yang menjadi beban warga.

Tata kelola kota tidak akan pernah lepas dari cara pemimpinnya mengatasi masalahnya. Pada zaman VOC hingga masa Orde Baru, para gubernur Jakarta tidak lepas dari campur tangan pilihan penguasa di pusat pemerintahan. Maka di masa Orde Reformasi yang dianggap sudah demokrasi, para gubernur pilihan rakyat pun masih menghadapi kendala sama.

Mengatur dan membangun kehidupan warga Jakarta pada saat ini dan di masa lalu secara sosiologis sangat dipengaruhi oleh kekuatan struktur, kultur, dan proses sosial.

Kekuatan struktur dalam hal ini terkait dengan masalah ketentuan dan aturan resmi yang berlaku dalam hukum dan kebijakan, kekuatan anggaran, dan organisasi sistem pemerintahan yang mengelola pembangunan.

Selain kekuatan struktur resmi, struktur lain juga berpengaruh dalam pembangunan Jakarta adalah lanskap ruang kota, jumlah penduduk, serta kekuatan pasar dan pemilik modal. Kekuatan inilah sering disebut sebagai "gubernur bayangan". Realitas posisinya tidak terlihat, tapi dalam praktik terlihat wujud fisik dan produknya.

Kekuatan struktur lain yang cukup dominan memengaruhi sikap dan perilaku warga adalah teknologi dan informasi. Kemajuan teknologi dan informasi yang terwujud di media sosial telah memengaruhi situasi kehidupan sosial warga dalam pelaksanaan pilkada.

Kekuatan kultur dalam wujud keyakinan atau kepercayaan yang sudah terinternalisasi menjadi panduan warga Jakarta untuk berperilaku dalam keseharian. Fakta menunjukkan, walaupun tinggal di Jakarta, hampir mayoritas warga kurang memiliki "kultur berkota".

Kota sebagai institusi atau sebagai wujud masyarakat kota, memiliki peran menanamkan nilai-nilai kehidupan berkota. Jakarta gagal membangun budaya berkota, kota ini buruk dalam budaya berlalu lintas dan punya kebiasaan membuang sampah di sembarang tempat. Disiplin, cinta kota, peduli, toleransi, dan taat hukum adalah cermin budaya berkota. Kita gagal membangun karakter warga.

Warisan budaya tentang etika berkota tidak tertanam walaupun aturan-aturan hukumnya sudah mencoba memaksa dan menghukum warganya untuk berbudaya dengan tekanan aturan. Warga lebih menyukai aturan hukum yang dapat dinegosiasikan atau ditawar agar kebiasaan buruknya tetap terjaga.

Budaya selalu menawarkan aturan hukum agar tidak dihukum adalah wujud proses sosial. Warga Jakarta punya nilai-nilai sendiri terhadap semua kebijakan untuk mewujudkan tertib berkota. Proses sosial adalah ruang dialog atau negosiasi untuk mencari kemufakatan. Ada nilai positifnya dan ada juga nilai negatifnya.

Membangun kota dengan dialog adalah nilai positif yang harus terjaga. Kecepatan dan kebutuhan mendesak atas nama ketertiban dan penataan kota sering tidak memberikan ruang dialog dalam prosesnya. Menghadirkan suasana batin bahwa Jakarta atau kota ini bukan milik pemerintah atau pemilik modal sangat penting untuk diperhatikan.

Tantangan untuk Anies-Sandi

Sebagai gubernur baru, Anies-Sandi memiliki potensi untuk membentuk dan membangun struktur, kultur, dan proses sosial baru. Perannya sebagai gubernur baru memberi harapan tentang kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan warga. Salah satu wujud harapan warga adalah menunggu kebijakan (struktur baru) tentang reklamasi dan penataan permukiman dengan DP 0 Rupiah.

Jika dalam kampanye Anies-Sandi tegas menolak reklamasi, apakah kebijakannya setelah dilantik akan berubah. Jika ingin bertahan dengan penolakan, Anies-Sandi harus berani melakukan "struk­tur yang diproses kembali".

Struktur yang diproses kembali adalah bentuk proses sosial yang ingin menunjukkan bahwa apa yang menjadi kebijakan pemerintah tidak seratus persen selalu benar dan sesuai aspirasi.

Anies-Sandi harus berani bertarung dengan "keyakinannya" jika berhadapan dengan kekuatan "kekuatan kapital" yang menjadi keyakinan pihak lain. Untuk memperkuat keyakinannya Anies-Sandi dapat belajar dari pengalaman Jan Pieterszoon Coen, ketika Jakarta gagal sebagai kota kanal untuk mengatasi banjir.

Perlu ruang dialog untuk mempertemukan di mana perbedaan "ke­yakinan” antara pusat dan DKI. Mengingat reklamasi adalah warisan dosa masa lalu, maka wajar kalau gubernur baru berpikir tentang masa depan kota yang lebih baik. Jika Anies-Sandi akan membuat gagasan atau janji-janji baru, hendaknya perlu kehati-hatian dan dukungan sumber daya yang siap untuk implementasinya.

Wacana dan gagasan baru yang diperkirakan sulit dilaksanakan sering dihindari untuk diimplementasikan oleh kalangan birokrasi. Hal ini terlihat beberapa tahun terakhir ini ketika tingkat penyerapan APBD DKI rendah walaupun tunjangan kinerja daerah (TKD) yang diterima birokrat sangat tinggi.

Tindakan untuk menghindari masalah, lebih dipilih dengan pertimbangan takut berhadapan dengan masalah hukum. Pekerjaan rumah lain yang tidak kalah penting untuk Anies-Sandi adalah membangun gerakan kultur berkota.

Pengalaman dari Gerakan Indonesia Mengajar dan gerakan mengantar anak ke sekolah adalah modal budaya yang baik dari Anies Baswedan. Jika selama pemerintahan Ahok-Djarot terkesan kekuatan struktur yang lebih dominan untuk mengatasi masalah. Apakah kekuatan kultural dari Anies-Sandi bisa menjadi pilihan alternatif lain.

Dahulu, Pak Ahok menggunakan kekuatan pasukan oranye atau biru untuk mengatasi sampah di sungai dan gorong-gorong. Apakah pasukan ini akan dipertahankan Anies-Sandi atau akan menambahkan kekuatannya dengan menggerakkan masyarakat untuk memperkuat rasa tanggung jawab mereka.

Semua pilihan untuk melakukan perubahan masih sangat terbuka bagi Anies-Sandi. Du­kungan akan semakin banyak muncul jika kebijakan atau tindakannya merupakan wujud "pembangunan manusia". Maju kotanya bahagia warganya yang merupakan janji Anies-Sandi esensinya adalah warga ingin di “wongke” atau dimanusiakan.

Bila dalam waktu singkat banyak kesan positif dan hasilnya cepat terlihat serta bermanfaat, maka kondisi ini akan sangat membantu terwujudnya rasa cinta terhadap gubernur baru bagi warga yang masih sulit untuk "move on".

Selamat bekerja dan berinovasi untuk Anies-Sandi. Warisan lama Jakarta di masa lalu cukup menjadi pembelajaran agar tidak membuat kesalahan yang sama di masa depan. Warga lebih butuh bukti dari sekadar janji.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0733 seconds (0.1#10.140)