Single Mux, Jalan Pintas Melemahkan Industri Pertelevisian di Indonesia
A
A
A
Kamilov Sagala SH MH
Praktisi Hukum
PEMBAHASAN mengenai RUU Penyiaran masih membawa keadaan perdebatan panjang antara pihak regulator dan para penyelenggara televisi analog. Sebenarnya masalah ini diawali dari revisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2012 yang sudah berada di Badan Legislasi, namun dirasa masih jauh dari cita-cita menumbuhkan industri penyiaran yang sehat dan demokratis.
Salah satu poin penting yang disorot dalam revisi Undang-Undang Penyiaran ini antara lain ada perubahan yang nanti akan menetapkan LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) sebagai satu-satunya penyelenggara infrastruktur multipleksing digital atau dikenal juga dengan istilah single mux operator.
Penggunaan Konsep atau Model Bisnis yang Tidak Akomodatif
Sejak RUU Penyiaran 2017 beredar di masyarakat sampai hari ini masih terjadi perdebatan panjang khususnya terkait dengan pengelolaan multipleksing. Badan Legislasi DPR RI tetap bersikukuh bahwa sistem single mux operator dalam draf RUU Penyiaran tersebut tidak akan menciptakan praktik monopoli. Padahal, sistem single mux operator ini akhirnya tidak akan menciptakan ada suatu hubungan dan tata kerja yang sinkron bagi semua stakeholder dalam bidang penyiaran televisi FTA.
Dalam Pasal 20 ayat (1) RUU Penyiaran ini jelas menyebutkan bahwa “Model migrasi dari penyiaran analog ke digital adalah multiplekser tunggal”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan pula bahwa “Frekuensi dikuasai oleh negara dan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah”. Jika frekuensi siaran (slot/kanal) nanti diserahkan atau dikuasai oleh satu pihak (otoritas tunggal) dalam hal ini RTRI, sangat besar potensi terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
LPS menjadi tidak memiliki kemerdekaan dalam publikasi konten karena berada di bawah bayang-bayang kekuasaan mux operator serta tidak ada jaminan service level agreement terlaksana baik terhadap penggunaan slot/kanal pada infrastruktur multipleksing yang dikelola oleh operator tunggal.
Penguasaan mux operator atas faktor inilah yang mengarah pada perbuatan monopoli dan jelas mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan lain, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang secara jelas mengatur bahwa segala tindakan, kebijakan, dan perbuatan yang mengarah pada praktik monopoli adalah dilarang.
Bukan hanya mengarah pada ancaman monopoli, tetapi juga proses digitalisasi yang semula diharapkan akan terlaksana dengan lebih cepat menjadi lambat karena mux operator harus mengakomodasi banyak media televisi FTA yang tentu akan membutuhkan kapasitas infrastruktur multipleksing (menara, antena, dan lain-lain) dalam jumlah yang sangat besar, sementara infrastruktur televisi analog yang dimiliki oleh LPS menjadi tidak bermanfaat lagi.
Penerapan single mux operator yang sekadar mengejar peningkatan PNBP dengan mengorbankan demokrasi penyiaran yang telah dibangun dengan susah payah merupakan biaya sosial yang sangat mahal dan merupakan kemunduran kehidupan demokrasi di Indonesia, khususnya di bidang penyiaran televisi.
Selain single mux operator, sebenarnya masih ada pilihan lain sebagai solusi terkait perdebatan panjang dalam RUU Penyiaran, yakni sistem hybrid.
Penerapan sistem hybrid dalam penyelenggaraan penyiaran multipleksing merupakan bentuk nyata demokratisasi penyiaran, di mana LPP dan LPS yang akan menjadi operator atau penyelenggara multipleksing akan mengakomodasi kepentingan seluruh media penyiaran televisi FTA, baik yang memiliki kepentingan komersial maupun yang tidak. Sistem ini akan menjamin ketersediaan kanal untuk program-program baru (ketersediaan frekuensi untuk penyiaran analog terbatas) menjadi bertambah, termasuk untuk mengantisipasi perkembangan teknologi penyiaran masa depan seperti UHD4K, dan UHD 8K.
Bahkan teknologi hybrid broadband broadcast television (HbbTV) yang memungkinkan diselenggarakan layanan M to M Application dan interaktif yang saat ini sedang diuji coba di Jerman dan Polandia. Ketersediaan frekuensi untuk sistem hybrid ini tetap mencukupi untuk mengakomodasi siaran LPS, antisipasi perkembangan teknologi ke depan, maupun digital deviden.
Belajar dari Nasib Single Mux di Malaysia
Berdasarkan data European Broadcasting Union (EBU), Asia-Pacific Broadcasting Union (ABU), maupun International Telecommunication Union (ITU) dipastikan bahwa sebagian besar negara yang sudah melakukan analog switch off lebih memilih sistem hybrid daripada single mux operator. Hanya dua negara yang menggunakan sistem single mux operator, yakni Jerman dan Malaysia.
Jerman adalah salah satu negara yang berhasil karena 90% pemirsanya menikmati tayangan televisi melalui sistem kabel dan hanya 10% yang menikmati layanan TV FTA. Sedangkan Malaysia sampai hari ini gagal melakukan eksekusi analog switch off (ASO). Konsep single mux operator yang ditetapkan di Malaysia mengalami berbagai masalah sejak diluncurkan, yakni tingkat layanannya rendah dan harga sewa kanal yang tidak kompetitif sehingga para stasiun televisi termasuk stasiun televisi yang dimiliki oleh pemerintah tidak mau membayar harga sewa kanal. Hal seperti ini harus dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan industri penyiaran di Indonesia karena kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap iklim industri penyiaran.
Belajar dari pengalaman Malaysia yang sudah merintis memprogramkan peralihan dari analog ke digital sejak 1998, namun belum juga berhasil melakukan analog switch off ke digital sampai saat ini, seharusnya menjadi bahan pertimbangan para regulator. Kenyataannya di Malaysia, konsep single mux operator yang secara resmi memulai uji coba siaran digital pada 2006 di Klang Valley sampai saat ini belum bisa berjalan efektif dan maksimal. Asumsi yang paling kuat yang mendasari sulitnya melakukan analog switch off di Malaysia adalah konsep single mux operator yang diterapkan sehingga iklim kompetisi menjadi menurun.
Keberpihakan Regulasi Harus Merata
Indonesia sebagai negara demokrasi yang juga menjunjung tinggi kedaulatan rakyat seharusnya memperhatikan bahwa demokrasi seharusnya dihasilkan dan menghasilkan kompetisi yang sehat, bukan menghalangi kompetisi yang sehat. Dengan ada kompetisi yang sehat akan memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat dan akan menghasilkan layanan yang lebih inovatif serta menggerakkan industri televisi menjadi lebih bergairah.
Industri televisi yang sekarang ini tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah salah satu buah keberhasilan demokrasi yang dibanggakan masyarakat. Terhadap hal ini, masyarakat sangat mengapresiasi kebebasan yang diperoleh oleh para pelaku industri televisi FTA untuk memberikan layanan yang beragam dan inovasi yang berkembang demi kebaikan bersama. Regulasi yang dihasilkan dalam revisi Undang-Undang Penyiaran seharusnya tetap menjaga iklim persaingan dan inovasi yang demokratis ini tetap berjalan dengan baik dan jangan dirusak hanya karena mengejar peningkatan PNBP semata.
Dengan melakukan perubahan model bisnis pertelevisian menjadi model single mux sudah tentu akan menimbulkan masalah baru, bukan memberikan solusi. Itikad tidak baik sudah tentu menjadi asumsi para pemain dalam industri televisi dengan ada niatan dari regulator mengubah model bisnis menjadi single mux. Berusaha mengelabui perundang-undangan dengan mengatasnamakan Pasal 33 UUDí45 untuk memaksakan konsep single mux menjadi model bisnis melalui revisi Undang-Undang Penyiaran adalah sebuah kemunduran dan indikasi arogansi dan otoriter terselubung yang sedang dipertontonkan para regulator.
Seharusnya pembuat regulasi lebih mengantisipasi hal lain yang dibutuhkan terkait migrasi dari analog ke digital, yaitu availability dan affordability. Dalam membuat regulasi tidak boleh melupakan availability (ketersediaan layanan) dan affordability (kemampuan daya beli) demi mencapai tujuan migrasi yang maksimal dari sistem analog menuju digital.
Terkait perubahan model bisnis yang menimbulkan kegaduhan seharusnya para pembuat kebijakan lebih menyendengkan telinganya untuk bisa memberikan solusi terbaik bagi semua pihak, bukan malah bertindak tak acuh dan tidak memberikan solusi. Pembuat regulasi harus memiliki pola pikir yang terbuka dan tidak hanya melihat dari satu sudut pandang, kepentingan yang sedang diperjuangkan sangat banyak untuk menjadikan industri pertelevisian di Indonesia tetap tumbuh dengan baik. Dan, mengingat pada keberhasilan negara-negara lain, pilihan seharusnya diperluas dengan memperhatikan model bisnis hybrid mux.
Dengan ada opsi model hybrid mux ini menjadi win win solution bagi semua pihak. Pilihan yang terbaik harus mendasarkan pada keberlangsungan jangka panjang dan kebaikan bersama, bukan hanya demi kepentingan sesaat yang mengakibatkan kekacauan pada masa yang akan datang karena menanggung beban regulasi yang tidak baik yang dihasilkan saat ini.
Praktisi Hukum
PEMBAHASAN mengenai RUU Penyiaran masih membawa keadaan perdebatan panjang antara pihak regulator dan para penyelenggara televisi analog. Sebenarnya masalah ini diawali dari revisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2012 yang sudah berada di Badan Legislasi, namun dirasa masih jauh dari cita-cita menumbuhkan industri penyiaran yang sehat dan demokratis.
Salah satu poin penting yang disorot dalam revisi Undang-Undang Penyiaran ini antara lain ada perubahan yang nanti akan menetapkan LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) sebagai satu-satunya penyelenggara infrastruktur multipleksing digital atau dikenal juga dengan istilah single mux operator.
Penggunaan Konsep atau Model Bisnis yang Tidak Akomodatif
Sejak RUU Penyiaran 2017 beredar di masyarakat sampai hari ini masih terjadi perdebatan panjang khususnya terkait dengan pengelolaan multipleksing. Badan Legislasi DPR RI tetap bersikukuh bahwa sistem single mux operator dalam draf RUU Penyiaran tersebut tidak akan menciptakan praktik monopoli. Padahal, sistem single mux operator ini akhirnya tidak akan menciptakan ada suatu hubungan dan tata kerja yang sinkron bagi semua stakeholder dalam bidang penyiaran televisi FTA.
Dalam Pasal 20 ayat (1) RUU Penyiaran ini jelas menyebutkan bahwa “Model migrasi dari penyiaran analog ke digital adalah multiplekser tunggal”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan pula bahwa “Frekuensi dikuasai oleh negara dan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah”. Jika frekuensi siaran (slot/kanal) nanti diserahkan atau dikuasai oleh satu pihak (otoritas tunggal) dalam hal ini RTRI, sangat besar potensi terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
LPS menjadi tidak memiliki kemerdekaan dalam publikasi konten karena berada di bawah bayang-bayang kekuasaan mux operator serta tidak ada jaminan service level agreement terlaksana baik terhadap penggunaan slot/kanal pada infrastruktur multipleksing yang dikelola oleh operator tunggal.
Penguasaan mux operator atas faktor inilah yang mengarah pada perbuatan monopoli dan jelas mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan lain, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang secara jelas mengatur bahwa segala tindakan, kebijakan, dan perbuatan yang mengarah pada praktik monopoli adalah dilarang.
Bukan hanya mengarah pada ancaman monopoli, tetapi juga proses digitalisasi yang semula diharapkan akan terlaksana dengan lebih cepat menjadi lambat karena mux operator harus mengakomodasi banyak media televisi FTA yang tentu akan membutuhkan kapasitas infrastruktur multipleksing (menara, antena, dan lain-lain) dalam jumlah yang sangat besar, sementara infrastruktur televisi analog yang dimiliki oleh LPS menjadi tidak bermanfaat lagi.
Penerapan single mux operator yang sekadar mengejar peningkatan PNBP dengan mengorbankan demokrasi penyiaran yang telah dibangun dengan susah payah merupakan biaya sosial yang sangat mahal dan merupakan kemunduran kehidupan demokrasi di Indonesia, khususnya di bidang penyiaran televisi.
Selain single mux operator, sebenarnya masih ada pilihan lain sebagai solusi terkait perdebatan panjang dalam RUU Penyiaran, yakni sistem hybrid.
Penerapan sistem hybrid dalam penyelenggaraan penyiaran multipleksing merupakan bentuk nyata demokratisasi penyiaran, di mana LPP dan LPS yang akan menjadi operator atau penyelenggara multipleksing akan mengakomodasi kepentingan seluruh media penyiaran televisi FTA, baik yang memiliki kepentingan komersial maupun yang tidak. Sistem ini akan menjamin ketersediaan kanal untuk program-program baru (ketersediaan frekuensi untuk penyiaran analog terbatas) menjadi bertambah, termasuk untuk mengantisipasi perkembangan teknologi penyiaran masa depan seperti UHD4K, dan UHD 8K.
Bahkan teknologi hybrid broadband broadcast television (HbbTV) yang memungkinkan diselenggarakan layanan M to M Application dan interaktif yang saat ini sedang diuji coba di Jerman dan Polandia. Ketersediaan frekuensi untuk sistem hybrid ini tetap mencukupi untuk mengakomodasi siaran LPS, antisipasi perkembangan teknologi ke depan, maupun digital deviden.
Belajar dari Nasib Single Mux di Malaysia
Berdasarkan data European Broadcasting Union (EBU), Asia-Pacific Broadcasting Union (ABU), maupun International Telecommunication Union (ITU) dipastikan bahwa sebagian besar negara yang sudah melakukan analog switch off lebih memilih sistem hybrid daripada single mux operator. Hanya dua negara yang menggunakan sistem single mux operator, yakni Jerman dan Malaysia.
Jerman adalah salah satu negara yang berhasil karena 90% pemirsanya menikmati tayangan televisi melalui sistem kabel dan hanya 10% yang menikmati layanan TV FTA. Sedangkan Malaysia sampai hari ini gagal melakukan eksekusi analog switch off (ASO). Konsep single mux operator yang ditetapkan di Malaysia mengalami berbagai masalah sejak diluncurkan, yakni tingkat layanannya rendah dan harga sewa kanal yang tidak kompetitif sehingga para stasiun televisi termasuk stasiun televisi yang dimiliki oleh pemerintah tidak mau membayar harga sewa kanal. Hal seperti ini harus dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan industri penyiaran di Indonesia karena kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap iklim industri penyiaran.
Belajar dari pengalaman Malaysia yang sudah merintis memprogramkan peralihan dari analog ke digital sejak 1998, namun belum juga berhasil melakukan analog switch off ke digital sampai saat ini, seharusnya menjadi bahan pertimbangan para regulator. Kenyataannya di Malaysia, konsep single mux operator yang secara resmi memulai uji coba siaran digital pada 2006 di Klang Valley sampai saat ini belum bisa berjalan efektif dan maksimal. Asumsi yang paling kuat yang mendasari sulitnya melakukan analog switch off di Malaysia adalah konsep single mux operator yang diterapkan sehingga iklim kompetisi menjadi menurun.
Keberpihakan Regulasi Harus Merata
Indonesia sebagai negara demokrasi yang juga menjunjung tinggi kedaulatan rakyat seharusnya memperhatikan bahwa demokrasi seharusnya dihasilkan dan menghasilkan kompetisi yang sehat, bukan menghalangi kompetisi yang sehat. Dengan ada kompetisi yang sehat akan memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat dan akan menghasilkan layanan yang lebih inovatif serta menggerakkan industri televisi menjadi lebih bergairah.
Industri televisi yang sekarang ini tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah salah satu buah keberhasilan demokrasi yang dibanggakan masyarakat. Terhadap hal ini, masyarakat sangat mengapresiasi kebebasan yang diperoleh oleh para pelaku industri televisi FTA untuk memberikan layanan yang beragam dan inovasi yang berkembang demi kebaikan bersama. Regulasi yang dihasilkan dalam revisi Undang-Undang Penyiaran seharusnya tetap menjaga iklim persaingan dan inovasi yang demokratis ini tetap berjalan dengan baik dan jangan dirusak hanya karena mengejar peningkatan PNBP semata.
Dengan melakukan perubahan model bisnis pertelevisian menjadi model single mux sudah tentu akan menimbulkan masalah baru, bukan memberikan solusi. Itikad tidak baik sudah tentu menjadi asumsi para pemain dalam industri televisi dengan ada niatan dari regulator mengubah model bisnis menjadi single mux. Berusaha mengelabui perundang-undangan dengan mengatasnamakan Pasal 33 UUDí45 untuk memaksakan konsep single mux menjadi model bisnis melalui revisi Undang-Undang Penyiaran adalah sebuah kemunduran dan indikasi arogansi dan otoriter terselubung yang sedang dipertontonkan para regulator.
Seharusnya pembuat regulasi lebih mengantisipasi hal lain yang dibutuhkan terkait migrasi dari analog ke digital, yaitu availability dan affordability. Dalam membuat regulasi tidak boleh melupakan availability (ketersediaan layanan) dan affordability (kemampuan daya beli) demi mencapai tujuan migrasi yang maksimal dari sistem analog menuju digital.
Terkait perubahan model bisnis yang menimbulkan kegaduhan seharusnya para pembuat kebijakan lebih menyendengkan telinganya untuk bisa memberikan solusi terbaik bagi semua pihak, bukan malah bertindak tak acuh dan tidak memberikan solusi. Pembuat regulasi harus memiliki pola pikir yang terbuka dan tidak hanya melihat dari satu sudut pandang, kepentingan yang sedang diperjuangkan sangat banyak untuk menjadikan industri pertelevisian di Indonesia tetap tumbuh dengan baik. Dan, mengingat pada keberhasilan negara-negara lain, pilihan seharusnya diperluas dengan memperhatikan model bisnis hybrid mux.
Dengan ada opsi model hybrid mux ini menjadi win win solution bagi semua pihak. Pilihan yang terbaik harus mendasarkan pada keberlangsungan jangka panjang dan kebaikan bersama, bukan hanya demi kepentingan sesaat yang mengakibatkan kekacauan pada masa yang akan datang karena menanggung beban regulasi yang tidak baik yang dihasilkan saat ini.
(thm)