Catalonia dan Disintegrasi Spanyol
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
POLITIK Eropa menjadi sibuk dalam seminggu ini terkait dengan aksi demonstrasi para pendukung dan juga penolak gagasan kemerdekaan negara Catalonia. Semalam sempat pula ada desas-desus Deklarasi Kemerdekaan Catalonia, namun mendapat ancaman keras dari pemerintah pusat di Barcelona, Spanyol untuk batal dilakukan.
Kebimbangan tersebut bukan saja menjadi masalah eksklusif pada pemimpin politik dan warga di Eropa, tetapi juga meluas kepada para penggemar sepak bola di mancanegara termasuk kita di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari keberhasilan diplomasi Catalonia untuk tetap dikenal sebagai sebuah entitas bangsa yang merasa berbeda dengan warga Spanyol.
Saya pernah mendiskusikan hal ini dalam artikel “Diplomasi Sepak Bola” persis empat tahun yang lalu di kolom yang sama. Intinya bahwa sepak bola di Catalonia selain sebagai sebuah bisnis yang memperkuat perekonomian, tetapi juga berfungsi memperkuat identitas ke dalam dan luar warganya.
Pertanyaan untuk menjadi merdeka mungkin menjadi sulit saat ini. Setelah aksi unjuk rasa pendukung kemerdekaan minggu sebelumnya, yang kemudian diikuti dengan aksi kekerasan oleh kepolisian yang melanggar hak asasi manusia (HAM), kini muncul aksi besar tandingan warga Catalonia yang menolak kemerdekaan dan tetap ingin berada di bawah pemerintahan kerajaan Spanyol. Mereka menyebut diri sebagai “silent majority” dengan slogan Catalonia adalah Spanyol.
Aksi tandingan itu pun membuahkan dilema bagi Pemerintah Spanyol. Di satu sisi, aksi tandingan menolak kemerdekaan itu menjadi dukungan legitimasi bagi Pemerintah Spanyol untuk terus menekan popularitas gagasan untuk melepaskan diri dari Spanyol. Namun, di sisi lain juga menjadi legitimasi gagasan untuk melakukan referendum agar dapat melihat dengan jelas berapa warga Catalonia yang ingin merdeka dan berapa yang ingin tetap ada di bawah kekuasaan Spanyol.
Bagi kita di Indonesia, fenomena ini menarik karena selama ini kita membayangkan bahwa gagasan sebuah wilayah untuk merdeka akan lebih mungkin terjadi apabila ada warga yang hidupnya di bawah garis kemiskinan yang sangat akut dan kronis. Meski demikian, gagasan untuk merdeka juga bisa disebabkan warga di sebuah wilayah merasa akan lebih maju kalau merdeka atau berdiri sendiri jauh dari kontrol pemerintah pusat atau negara federal. Hal ini yang tengah menguat di Eropa, termasuk di Spanyol.
Kasus di Catalonia bisa dapat menjadi contoh. Gagasan untuk merdeka di Catalonia justru dipicu oleh karena warga merasa diri mereka lebih sejahtera dibandingkan dengan Spanyol. Wilayah Catalonia adalah 6,3% (32.114 km persegi) dari total seluruh wilayah Negara Kerajaan Spanyol. Meskipun porsi wilayahnya kecil dibandingkan wilayah lain, kontribusinya kepada ekonomi Spanyol justru lebih besar apabila dilihat secara proporsional dengan kondisi demografisnya.
Profesor ekonomi Elisenda Paluzie mengatakan bahwa Catalonia yang memiliki penduduk 7,45 juta orang telah menyokong kehidupan 16-20% populasi Spanyol. Kapasitas ekonomi mereka sebesar 215,6 miliar euro dengan kontribusi pada GDP lebih dari seperlima GDP Spanyol. Ekspor Catalonia sebesar 65,2 miliar euro adalah lebih dari seperempat dari total ekspor nasional.
Kemajuan itu menyebabkan tingkat pengangguran di Catalonia lebih rendah dan ketimpangan pendapatan di antara warganya lebih kecil daripada Spanyol secara menyeluruh. PDB per kapita di Catalonia lebih tinggi dari rata-rata nasional. Beberapa analis bahkan mengatakan PDB-nya paling tinggi dibandingkan negara bagian lain.
Keberuntungan itu semakin nyaman ditambah dengan ketimpangannya lebih rendah. Kontribusi yang besar dari Catalonia bagi Spanyol itu ternyata tidak diimbangi dengan pembagian jatah belanja daerah (istilahnya DAU di Indonesia) yang proporsional khususnya untuk pembangunan dan pelayanan publik.
Pemerintah Spanyol mengatakan “pendapatan asli daerah” Catalonia memang banyak dipotong untuk biaya lain seperti militer, keamanan, dan sebagainya. Hal ini juga dilakukan kepada negara bagian lain.
Pemerintah juga mengecam warga Catalonia yang tidak peduli dengan nasib warga miskin yang ada di Extremadura. Wilayah ini masuk dalam kelompok ketiga negara bagian paling miskin di Spanyol yang meliputi - Asturias, Kepulauan Canary, Castille-La Mancha, Castilla y León, dan Extremadura. Daya beli mereka 10-20% lebih rendah dari rata-rata Spanyol.
Masalah ini semakin tajam ketika krisis ekonomi pada 2008 dimulai dan belum sepenuhnya pulih hingga saat ini. Penduduk Catalonia merasa menjadi sapi perahan Spanyol karena harus bekerja keras menyokong kehidupan warga Spanyol lain yang jatuh miskin dan menganggur karena krisis ekonomi.
Perasaan ketidakadilan ini yang membawa Ada Colau, seorang politisi sayap kiri Spanyol dan wanita pertama yang menjadi wali Kota Barcelona pada 2015. Ia adalah pahlawan bagi warga yang diusir dari rumah karena tidak mampu membayar cicilan akibat runtuhnya pasar properti dan krisis keuangan Spanyol pada 2008.
Perasaan mengalami ketidakadilan ini yang kemudian terus bergulir dan membuat warga berpikir bahwa melepaskan diri dari Spanyol adalah pilihan yang sangat rasional saat ini. Gagasan untuk melepaskan diri dari Spanyol mungkin dipengaruhi oleh referendum yang dilakukan oleh penduduk Skotlandia pada 2014, Brexit, Grexit, dan pola-pola penentuan nasib sendiri di Eropa.
Warga Catalonia yang lebih sejahtera tampaknya banyak yang mendukung gagasan kemerdekaan ini dibandingkan dengan mereka yang miskin. Center for Opinion Studies yang bertugas melakukan jajak pendapat menyebutkan bahwa mereka yang menyokong kemerdekaan paling dominan adalah penduduk dengan pendapatan lebih dari 4.000 euro per bulan dibandingkan penduduk yang penghasilannya 900 euro per bulan.
Saya tidak dalam posisi untuk mendukung atau menolak gagasan kemerdekaan Catalonia dari Spanyol karena masalah mereka jauh lebih rumit daripada yang terlihat. Masalah Catalonia ada kaitannya dengan pemerintahan Superstate Uni Eropa di Belgia yang telah menerapkan kebijakan fiskal superketat bagi anggotanya. Sebab itu, solusi bagi Catalonia tidak dapat hanya diselesaikan di pemerintahan Spanyol, tetapi juga Uni Eropa.
Meski demikian, kita perlu awas bahwa pada masa depan isu disintegrasi tidak lagi hanya disebabkan ekstremnya kemiskinan, tetapi juga disebabkan kesejahteraan sebuah wilayah. Kemajuan pembangunan ekonomi memang harus tinggi, tetapi haruslah merata dan tidak timpang antara satu wilayah ke wilayah lain.
Kemerataan tidak hanya antardaerah, tetapi juga antara mereka yang berpendapatan tinggi dan rendah. Rasa solidaritas yang tinggi antara sesama warga terutama perasaan memiliki republik yang bernama Indonesia juga harus berinovasi sesuai dengan perkembangan zaman. Partisipasi penduduk dalam politik dan ekonomi juga harus dijamin dan tidak ada diskriminasi di antara sesama penduduk.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
POLITIK Eropa menjadi sibuk dalam seminggu ini terkait dengan aksi demonstrasi para pendukung dan juga penolak gagasan kemerdekaan negara Catalonia. Semalam sempat pula ada desas-desus Deklarasi Kemerdekaan Catalonia, namun mendapat ancaman keras dari pemerintah pusat di Barcelona, Spanyol untuk batal dilakukan.
Kebimbangan tersebut bukan saja menjadi masalah eksklusif pada pemimpin politik dan warga di Eropa, tetapi juga meluas kepada para penggemar sepak bola di mancanegara termasuk kita di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari keberhasilan diplomasi Catalonia untuk tetap dikenal sebagai sebuah entitas bangsa yang merasa berbeda dengan warga Spanyol.
Saya pernah mendiskusikan hal ini dalam artikel “Diplomasi Sepak Bola” persis empat tahun yang lalu di kolom yang sama. Intinya bahwa sepak bola di Catalonia selain sebagai sebuah bisnis yang memperkuat perekonomian, tetapi juga berfungsi memperkuat identitas ke dalam dan luar warganya.
Pertanyaan untuk menjadi merdeka mungkin menjadi sulit saat ini. Setelah aksi unjuk rasa pendukung kemerdekaan minggu sebelumnya, yang kemudian diikuti dengan aksi kekerasan oleh kepolisian yang melanggar hak asasi manusia (HAM), kini muncul aksi besar tandingan warga Catalonia yang menolak kemerdekaan dan tetap ingin berada di bawah pemerintahan kerajaan Spanyol. Mereka menyebut diri sebagai “silent majority” dengan slogan Catalonia adalah Spanyol.
Aksi tandingan itu pun membuahkan dilema bagi Pemerintah Spanyol. Di satu sisi, aksi tandingan menolak kemerdekaan itu menjadi dukungan legitimasi bagi Pemerintah Spanyol untuk terus menekan popularitas gagasan untuk melepaskan diri dari Spanyol. Namun, di sisi lain juga menjadi legitimasi gagasan untuk melakukan referendum agar dapat melihat dengan jelas berapa warga Catalonia yang ingin merdeka dan berapa yang ingin tetap ada di bawah kekuasaan Spanyol.
Bagi kita di Indonesia, fenomena ini menarik karena selama ini kita membayangkan bahwa gagasan sebuah wilayah untuk merdeka akan lebih mungkin terjadi apabila ada warga yang hidupnya di bawah garis kemiskinan yang sangat akut dan kronis. Meski demikian, gagasan untuk merdeka juga bisa disebabkan warga di sebuah wilayah merasa akan lebih maju kalau merdeka atau berdiri sendiri jauh dari kontrol pemerintah pusat atau negara federal. Hal ini yang tengah menguat di Eropa, termasuk di Spanyol.
Kasus di Catalonia bisa dapat menjadi contoh. Gagasan untuk merdeka di Catalonia justru dipicu oleh karena warga merasa diri mereka lebih sejahtera dibandingkan dengan Spanyol. Wilayah Catalonia adalah 6,3% (32.114 km persegi) dari total seluruh wilayah Negara Kerajaan Spanyol. Meskipun porsi wilayahnya kecil dibandingkan wilayah lain, kontribusinya kepada ekonomi Spanyol justru lebih besar apabila dilihat secara proporsional dengan kondisi demografisnya.
Profesor ekonomi Elisenda Paluzie mengatakan bahwa Catalonia yang memiliki penduduk 7,45 juta orang telah menyokong kehidupan 16-20% populasi Spanyol. Kapasitas ekonomi mereka sebesar 215,6 miliar euro dengan kontribusi pada GDP lebih dari seperlima GDP Spanyol. Ekspor Catalonia sebesar 65,2 miliar euro adalah lebih dari seperempat dari total ekspor nasional.
Kemajuan itu menyebabkan tingkat pengangguran di Catalonia lebih rendah dan ketimpangan pendapatan di antara warganya lebih kecil daripada Spanyol secara menyeluruh. PDB per kapita di Catalonia lebih tinggi dari rata-rata nasional. Beberapa analis bahkan mengatakan PDB-nya paling tinggi dibandingkan negara bagian lain.
Keberuntungan itu semakin nyaman ditambah dengan ketimpangannya lebih rendah. Kontribusi yang besar dari Catalonia bagi Spanyol itu ternyata tidak diimbangi dengan pembagian jatah belanja daerah (istilahnya DAU di Indonesia) yang proporsional khususnya untuk pembangunan dan pelayanan publik.
Pemerintah Spanyol mengatakan “pendapatan asli daerah” Catalonia memang banyak dipotong untuk biaya lain seperti militer, keamanan, dan sebagainya. Hal ini juga dilakukan kepada negara bagian lain.
Pemerintah juga mengecam warga Catalonia yang tidak peduli dengan nasib warga miskin yang ada di Extremadura. Wilayah ini masuk dalam kelompok ketiga negara bagian paling miskin di Spanyol yang meliputi - Asturias, Kepulauan Canary, Castille-La Mancha, Castilla y León, dan Extremadura. Daya beli mereka 10-20% lebih rendah dari rata-rata Spanyol.
Masalah ini semakin tajam ketika krisis ekonomi pada 2008 dimulai dan belum sepenuhnya pulih hingga saat ini. Penduduk Catalonia merasa menjadi sapi perahan Spanyol karena harus bekerja keras menyokong kehidupan warga Spanyol lain yang jatuh miskin dan menganggur karena krisis ekonomi.
Perasaan ketidakadilan ini yang membawa Ada Colau, seorang politisi sayap kiri Spanyol dan wanita pertama yang menjadi wali Kota Barcelona pada 2015. Ia adalah pahlawan bagi warga yang diusir dari rumah karena tidak mampu membayar cicilan akibat runtuhnya pasar properti dan krisis keuangan Spanyol pada 2008.
Perasaan mengalami ketidakadilan ini yang kemudian terus bergulir dan membuat warga berpikir bahwa melepaskan diri dari Spanyol adalah pilihan yang sangat rasional saat ini. Gagasan untuk melepaskan diri dari Spanyol mungkin dipengaruhi oleh referendum yang dilakukan oleh penduduk Skotlandia pada 2014, Brexit, Grexit, dan pola-pola penentuan nasib sendiri di Eropa.
Warga Catalonia yang lebih sejahtera tampaknya banyak yang mendukung gagasan kemerdekaan ini dibandingkan dengan mereka yang miskin. Center for Opinion Studies yang bertugas melakukan jajak pendapat menyebutkan bahwa mereka yang menyokong kemerdekaan paling dominan adalah penduduk dengan pendapatan lebih dari 4.000 euro per bulan dibandingkan penduduk yang penghasilannya 900 euro per bulan.
Saya tidak dalam posisi untuk mendukung atau menolak gagasan kemerdekaan Catalonia dari Spanyol karena masalah mereka jauh lebih rumit daripada yang terlihat. Masalah Catalonia ada kaitannya dengan pemerintahan Superstate Uni Eropa di Belgia yang telah menerapkan kebijakan fiskal superketat bagi anggotanya. Sebab itu, solusi bagi Catalonia tidak dapat hanya diselesaikan di pemerintahan Spanyol, tetapi juga Uni Eropa.
Meski demikian, kita perlu awas bahwa pada masa depan isu disintegrasi tidak lagi hanya disebabkan ekstremnya kemiskinan, tetapi juga disebabkan kesejahteraan sebuah wilayah. Kemajuan pembangunan ekonomi memang harus tinggi, tetapi haruslah merata dan tidak timpang antara satu wilayah ke wilayah lain.
Kemerataan tidak hanya antardaerah, tetapi juga antara mereka yang berpendapatan tinggi dan rendah. Rasa solidaritas yang tinggi antara sesama warga terutama perasaan memiliki republik yang bernama Indonesia juga harus berinovasi sesuai dengan perkembangan zaman. Partisipasi penduduk dalam politik dan ekonomi juga harus dijamin dan tidak ada diskriminasi di antara sesama penduduk.
(poe)