Menggugat Politik Gincu
A
A
A
Rm Benny Susetyo
Budayawan
Sudah demikian lama kita berharap banyak pada partai politik (parpol). Tidak semata sebagai wadah untuk meraih kekuasaan tentu saja, tetapi juga untuk bisa memerankan fungsi strategisnya, yakni mendorong tegak-kukuhnya demokrasi ideal di negeri ini. Tetapi, rasanya seperti menunggu Godot. Seperti menunggu tenggelamnya perahu gabus dan terapungnya batu hitam. Yang terjadi, peran itu justru semakin memudar. Hari ini parpol lebih senang memoles diri. Rajin mendorong popularitas untuk meraup elektabilitas, tapi miskin substansi dan kaderisasi. Tak mengherankan jika kemudian muncul istilah "partai gincu" di mana politik acapkali bergulir tanpa argumentasi, tanpa gagasan.
Demi wajah demokrasi ke depan, kita perlu berkaca pada situasi politik 1955, ketika pendidikan humanistis para politisi-negarawan begitu menghiasi kehidupan Demokrasi Pancasila. Kala itu menjadi politisi berarti sekaligus menjadi seorang filsuf. Karena itu, perdebatan berlangsung sangat menarik dan argumentasi pun selalu mengacu pada logika. Mereka bicara substansi dan kaya dengan gagasan.
Seperti Gincu
Pusaran kepentingan politik dan ekonomi hari ini telah menyeret sekelompok politisi dan parpol dalam arus pertarungan yang tidak fair. Integritas menjadi barang langka dan tergeser praksis politik gincu yang penuh kepalsuan. Praksis yang kaya warna, tapi miskin substansi. Yang berubah-ubah seturut tren, tetapi tanpa dasar pijakan yang jelas. Seperti yang bisa kita lihat sekarang ini, ketika trennya agama, maka agama itu yang dijual. Jika trennya suku tertentu, berarti suku itu yang dijual. Sungguh praksis politik yang menjauhkan kita dari nilai-nilai pengamalan Pancasila.
Dalam teori komunikasi, gejala-gejala itu menunjukkan telah terjadi fenomena komodifikasi. Dan di abad yang didominasi budaya teknologi (Theodor Ardobo), komodifikasi itu b erisiko semakin liar membakar masyarakat hin gga terjadilah, seperti apa yang pernah dikatakan Jurgen Habermas, bagaimana teknologi itu bisa mengasingkan kita dari realitas.
Fenomena komodifikasi semakin mengkhawatirkan ketika ternyata masyarakat kita suka yang instan- instan dan tidak kritis karena memang tidak ada pendidikan kritis. Akhirnya, isu yang sebenarnya hanya gincu tadi lalu dikapitalisasi, seolah-olah terjadi sesuatu yang mengancam. Melalui komodifikasi, SARA menjadi alat politik. SARA seolah punya nilai ekonomi untuk menjatuhkan lawan politik.
Jika dulunya penguasa adalah mereka yang memiliki gelar bangsawan, kemudian beralih menjadi orang yang memiliki gelar pendidikan, saat ini penguasa telah beralih pada mereka yang memiliki uang. Karena itu, di balik fenomena modifikasi ini, cukongnya adalah mereka yang terganggu posisi ekonomi dan politiknya. Tangan-tangan kapitalisme yang tergusur karena tidak mendapatkan manfaat atau proyek lagi.
Tentu politik gincu ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Gincu itu harus dikikis. Kita harus kembali pada politik tanpa gincu, yakni dengan mendasarkannya kembali pada Pancasila. Ringkasnya, politik tanpa gincu di sini adalah politik yang berdasar pada Pancasila. Sederhananya, Pancasila itu adalah gotong-royong, kosa kata yang tidak ada di kamus mana pun selain Indonesia. Gotong-royong untuk apa, untuk memberi kesejahteraan, melahirkan solusi atas kemiskinan, solusi pada ketidakadilan, begitu juga pada struktur yang menindas. Pancasila adalah tindakan, itulah habitus. Kalau Pancasila sudah menjadi habitus, ia hadir dalam batin dan pengamalan.
Saatnya Membumikan Kembali Pancasila
Becermin pada kondisi demokrasi 1955, sangat jelas bagaimana politik tidak menjadi komoditas ekonomi dan bisnis. Politik justru menjadi keutamaan, seperti yang dikatakan Plato, juga Socrates, bahwa keutamaan dalam politik adalah integritas di atas segala-galanya. Karena itu, ketika politisinya gagal, mereka mundur. Mereka juga pantang menggunakan fasilitas negara di luar pekerjaannya. Mereka tidak mau menggunakan agama sebagai isu karena mereka kaya akan gagasan lain. Bagi mereka, agama harus menjadi inspirasi dan bukan hanya aspirasi sehingga politik pun tertuju pada kesejahteraan rakyat, dan bukan untuk memperkaya perorangan atau kelompok. Penting untuk dicatat, mereka mampu melakukan itu semua karena masifnya pendidikan humanistis kala itu. Ketika mereka berpolitik, sekaligus mereka menjadi seorang filsuf, tidak seperti sekarang yang dominan diisi pedagang dan prajurit.
Apa yang terjadi hari ini adalah tantangan kita bersama, terutama generasi milenial yang menjadi tumpuan politik nasional kita. Menjawab kemungkinan bahwa mereka tidak akan bicara historisitas Pancasila, atau mungkin saja mereka memang ahistoris, Pancasila harus dibahas dan digali melalui budaya milenial dan harus populer. Karena generasi milenial suka pada public figure, orang yang berprestasi, dan orang yang punya kemampuan lebih di bidangnya, orang-orang seperti inilah yang menjadi acuan dan keteladanan mereka. Dalam konteks ini, kiranya sudah tepat jika Unit Kerja Presiden (UKP)-Pancasila menampilkan 72 ikon berprestasi dalam bahasa generasi milenial. Ikon inilah yang menjadi corong untuk membumikan kembali Pancasila.
Pancasila harus dipahami sebagai ideologi dan hadir sebagai habitus langgam politik, yang artinya dibatinkan dalam perilaku dan perbuatan. Sesuatu yang konkret, yang sekaligus bisa dicontoh dan dapat diteladani. Kita juga harus bersama-sama mendorong Pancasila menjadi kebijakan. Partai politik dan pemerintah harus berani merumuskan ini sehingga nanti semua menjadi jelas misalnya program ekonomi yang berdasarkan Pancasila atau ekonomi Pancasila itu seperti apa, politikus yang Pancasilais seperti apa, dan seterusnya.
Kita tentu tidak boleh pesimistis. Bersama-sama mari kita tempuh jalan untuk membangun keadaban politik kita. Jalan yang sama untuk menghapus politik gincu dari wajah demokrasi kita. Adalah kerinduan bersama untuk memiliki parpol-parpol yang benar-benar jelas ideologinya, begitu juga dengan visi dan misinya, serta yang mampu melakukan rekrutmen yang bagus dan kaderisasi yang jelas. Keadaban politik seperti itu hanya bisa dibenahi dengan membangun sistem dan ini harusnya menjadi tanggung jawab bersama. Untuk mencapai itu, proses penyadaran publik lewat pendidikan politik sangatlah penting, demikian juga untuk pemahaman tentang bagaimana politik itu harus menjalankan etika Pancasila.
Budayawan
Sudah demikian lama kita berharap banyak pada partai politik (parpol). Tidak semata sebagai wadah untuk meraih kekuasaan tentu saja, tetapi juga untuk bisa memerankan fungsi strategisnya, yakni mendorong tegak-kukuhnya demokrasi ideal di negeri ini. Tetapi, rasanya seperti menunggu Godot. Seperti menunggu tenggelamnya perahu gabus dan terapungnya batu hitam. Yang terjadi, peran itu justru semakin memudar. Hari ini parpol lebih senang memoles diri. Rajin mendorong popularitas untuk meraup elektabilitas, tapi miskin substansi dan kaderisasi. Tak mengherankan jika kemudian muncul istilah "partai gincu" di mana politik acapkali bergulir tanpa argumentasi, tanpa gagasan.
Demi wajah demokrasi ke depan, kita perlu berkaca pada situasi politik 1955, ketika pendidikan humanistis para politisi-negarawan begitu menghiasi kehidupan Demokrasi Pancasila. Kala itu menjadi politisi berarti sekaligus menjadi seorang filsuf. Karena itu, perdebatan berlangsung sangat menarik dan argumentasi pun selalu mengacu pada logika. Mereka bicara substansi dan kaya dengan gagasan.
Seperti Gincu
Pusaran kepentingan politik dan ekonomi hari ini telah menyeret sekelompok politisi dan parpol dalam arus pertarungan yang tidak fair. Integritas menjadi barang langka dan tergeser praksis politik gincu yang penuh kepalsuan. Praksis yang kaya warna, tapi miskin substansi. Yang berubah-ubah seturut tren, tetapi tanpa dasar pijakan yang jelas. Seperti yang bisa kita lihat sekarang ini, ketika trennya agama, maka agama itu yang dijual. Jika trennya suku tertentu, berarti suku itu yang dijual. Sungguh praksis politik yang menjauhkan kita dari nilai-nilai pengamalan Pancasila.
Dalam teori komunikasi, gejala-gejala itu menunjukkan telah terjadi fenomena komodifikasi. Dan di abad yang didominasi budaya teknologi (Theodor Ardobo), komodifikasi itu b erisiko semakin liar membakar masyarakat hin gga terjadilah, seperti apa yang pernah dikatakan Jurgen Habermas, bagaimana teknologi itu bisa mengasingkan kita dari realitas.
Fenomena komodifikasi semakin mengkhawatirkan ketika ternyata masyarakat kita suka yang instan- instan dan tidak kritis karena memang tidak ada pendidikan kritis. Akhirnya, isu yang sebenarnya hanya gincu tadi lalu dikapitalisasi, seolah-olah terjadi sesuatu yang mengancam. Melalui komodifikasi, SARA menjadi alat politik. SARA seolah punya nilai ekonomi untuk menjatuhkan lawan politik.
Jika dulunya penguasa adalah mereka yang memiliki gelar bangsawan, kemudian beralih menjadi orang yang memiliki gelar pendidikan, saat ini penguasa telah beralih pada mereka yang memiliki uang. Karena itu, di balik fenomena modifikasi ini, cukongnya adalah mereka yang terganggu posisi ekonomi dan politiknya. Tangan-tangan kapitalisme yang tergusur karena tidak mendapatkan manfaat atau proyek lagi.
Tentu politik gincu ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Gincu itu harus dikikis. Kita harus kembali pada politik tanpa gincu, yakni dengan mendasarkannya kembali pada Pancasila. Ringkasnya, politik tanpa gincu di sini adalah politik yang berdasar pada Pancasila. Sederhananya, Pancasila itu adalah gotong-royong, kosa kata yang tidak ada di kamus mana pun selain Indonesia. Gotong-royong untuk apa, untuk memberi kesejahteraan, melahirkan solusi atas kemiskinan, solusi pada ketidakadilan, begitu juga pada struktur yang menindas. Pancasila adalah tindakan, itulah habitus. Kalau Pancasila sudah menjadi habitus, ia hadir dalam batin dan pengamalan.
Saatnya Membumikan Kembali Pancasila
Becermin pada kondisi demokrasi 1955, sangat jelas bagaimana politik tidak menjadi komoditas ekonomi dan bisnis. Politik justru menjadi keutamaan, seperti yang dikatakan Plato, juga Socrates, bahwa keutamaan dalam politik adalah integritas di atas segala-galanya. Karena itu, ketika politisinya gagal, mereka mundur. Mereka juga pantang menggunakan fasilitas negara di luar pekerjaannya. Mereka tidak mau menggunakan agama sebagai isu karena mereka kaya akan gagasan lain. Bagi mereka, agama harus menjadi inspirasi dan bukan hanya aspirasi sehingga politik pun tertuju pada kesejahteraan rakyat, dan bukan untuk memperkaya perorangan atau kelompok. Penting untuk dicatat, mereka mampu melakukan itu semua karena masifnya pendidikan humanistis kala itu. Ketika mereka berpolitik, sekaligus mereka menjadi seorang filsuf, tidak seperti sekarang yang dominan diisi pedagang dan prajurit.
Apa yang terjadi hari ini adalah tantangan kita bersama, terutama generasi milenial yang menjadi tumpuan politik nasional kita. Menjawab kemungkinan bahwa mereka tidak akan bicara historisitas Pancasila, atau mungkin saja mereka memang ahistoris, Pancasila harus dibahas dan digali melalui budaya milenial dan harus populer. Karena generasi milenial suka pada public figure, orang yang berprestasi, dan orang yang punya kemampuan lebih di bidangnya, orang-orang seperti inilah yang menjadi acuan dan keteladanan mereka. Dalam konteks ini, kiranya sudah tepat jika Unit Kerja Presiden (UKP)-Pancasila menampilkan 72 ikon berprestasi dalam bahasa generasi milenial. Ikon inilah yang menjadi corong untuk membumikan kembali Pancasila.
Pancasila harus dipahami sebagai ideologi dan hadir sebagai habitus langgam politik, yang artinya dibatinkan dalam perilaku dan perbuatan. Sesuatu yang konkret, yang sekaligus bisa dicontoh dan dapat diteladani. Kita juga harus bersama-sama mendorong Pancasila menjadi kebijakan. Partai politik dan pemerintah harus berani merumuskan ini sehingga nanti semua menjadi jelas misalnya program ekonomi yang berdasarkan Pancasila atau ekonomi Pancasila itu seperti apa, politikus yang Pancasilais seperti apa, dan seterusnya.
Kita tentu tidak boleh pesimistis. Bersama-sama mari kita tempuh jalan untuk membangun keadaban politik kita. Jalan yang sama untuk menghapus politik gincu dari wajah demokrasi kita. Adalah kerinduan bersama untuk memiliki parpol-parpol yang benar-benar jelas ideologinya, begitu juga dengan visi dan misinya, serta yang mampu melakukan rekrutmen yang bagus dan kaderisasi yang jelas. Keadaban politik seperti itu hanya bisa dibenahi dengan membangun sistem dan ini harusnya menjadi tanggung jawab bersama. Untuk mencapai itu, proses penyadaran publik lewat pendidikan politik sangatlah penting, demikian juga untuk pemahaman tentang bagaimana politik itu harus menjalankan etika Pancasila.
(zik)