Rohingya Momen Reformasi ASEAN

Sabtu, 07 Oktober 2017 - 09:30 WIB
Rohingya Momen Reformasi ASEAN
Rohingya Momen Reformasi ASEAN
A A A
Dr Fadli Zon MSc

Wakil Ketua DPR RI Bidang Korpolkam,
Ketua Delegasi Indonesia dalam Sidang Umum AIPA Ke-38, Manila, 16 - 20 September 2017

BEBERAPA waktu lalu, dari tengah-tengah Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ke-72 di New York, kita membaca penolakan delegasi Malaysia atas "Pernyataan ASEAN" mengenai krisis kemanusiaan di Myanmar. Penolakan itu lahir karena pernyataan tersebut tidak tegas menyebut etnik Rohingya di dalamnya. Dalam pernyataan yang dibacakan di New York tadi, ASEAN memang hanya menyatakan bahwa situasi di Rakhine adalah isu antarmasyarakat yang kompleks dan berakar pada sejarah. Untuk itu ASEAN mengimbau semua pihak untuk menahan diri dan menjadi solusi dari konflik yang tengah terjadi. Pernyataan yang sangat normatif itu memang gagal menggambarkan realitas yang tengah dialami etnik Rohingya di Myanmar.

Sesudah berbagai penjuru dunia melontarkan kecaman, termasuk juga lembaga-lembaga internasional, kenyataan bahwa ASEAN masih saja bermain-main dengan kata-kata normatif dalam menyikapi krisis Rohingya memang sangat mengecewakan. Pernyataan itu seperti kian menegaskan bahwa ASEAN sebagai organisasi kawasan memang benar-benar kesulitan untuk mendefinisikan perannya dalam menyelesaikan konflik dan krisis kemanusiaan yang sedang terjadi di halaman sendiri.

Isu Rohingya di Sidang AIPA

Sebenarnya bukan hanya ASEAN yang mengalami kesulitan mendefinisikan perannya. ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) yang merupakan organisasi parlemen negara-negara ASEAN juga terjebak dalam situasi serupa. Dalam Sidang Umum AIPA Ke-38 yang berlangsung di Manila, 16-20 September 2017 lalu, AIPA juga gagal menelurkan resolusi mengenai krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar.

Dalam sidang tersebut, delegasi parlemen Indonesia sebenarnya telah mengajukan sebuah draf resolusi atas krisis kemanusiaan di Myanmar. Sayangnya resolusi yang segera ditolak mentah-mentah oleh parlemen Myanmar itu hanya mendapat dukungan tegas dan terbuka dari delegasi parlemen Malaysia.

Untuk mendorong serta membujuk parlemen Myanmar agar menyetujui resolusi yang diajukan, di sela-sela Sidang AIPA delegasi parlemen Indonesia dan Malaysia sempat bersama-sama merevisi resolusi kemanusiaan yang draf awalnya disusun di Jakarta itu. Bagaimanapun krisis kemanusiaan yang tengah menimpa etnik Rohingya dan etnik-etnik minoritas lainnya memang akan sulit dipecahkan jika tak bisa merangkul pemerintah dan parlemen Myanmar, sama seperti halnya krisis itu juga akan mustahil diselesaikan tanpa desakan dari negara-negara tetangga sekawasan.

Ada tujuh poin resolusi baru yang kemudian diajukan Indonesia dengan sponsor Malaysia dalam Sidang AIPA itu. Pada intinya parlemen Indonesia dan Malaysia menginginkan agar parlemen negara-negara ASEAN yang tergabung di dalam AIPA memainkan peran signifikan dalam menyelesaikan krisis kemanusiaan yang sedang terjadi di Myanmar. Krisis tersebut tak bisa lagi diklaim hanya merupakan urusan domestik Pemerintah Myanmar mengingat persoalan itu telah berdampak terhadap negara-negara ASEAN lainnya, bahkan juga ke kawasan lain, terutama terkait arus pengungsi yang jumlahnya tidak kecil.

Itu sebabnya, dengan tetap menjunjung tinggi semangat solidaritas ASEAN, parlemen Indonesia dan Malaysia mendesak agar Pemerintah Myanmar melaksanakan rekomendasi Komisi Penasihat PBB untuk Rakhine dan segera mengomunikasikan hasil-hasilnya secara terbuka kepada ASEAN. Myanmar juga diminta untuk membuka semua akses bagi bantuan kemanusiaan serta menjaga dan melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak.

Namun meski telah disusun sedemikian rupa, termasuk menggunakan bahasa yang sangat terjaga agar tidak menyinggung harga diri tetangga, dengan dalih bahwa apa yang dilakukan Pemerintah Myanmar di Rakhine adalah sebuah kegiatan pengamanan untuk memberantas terorisme, proposal kemanusiaan yang diajukan Indonesia dengan co-sponsor Malaysia itu tetap saja ditolak oleh delegasi parlemen Myanmar. Karena sistem pengambilan keputusan dalam AIPA sama dengan ASEAN, yaitu menggunakan sistem konsensus, tanpa persetujuan Myanmar akhirnya AIPA gagal melahirkan konsensus atas krisis kemanusiaan yang terjadi di Rakhine. Sebagai bentuk protes, delegasi Indonesia akhirnya meminta agar Sidang AIPA Ke-38 tidak membicarakan isu politik kecuali jika menyertakan pembahasan soal Rohingya.

Ujian bagi ASEAN

Krisis Rohingya memang benar-benar ujian serius bagi ASEAN, juga AIPA. Ketika ratusan ribu pengungsi Rohingya berbondong-bondong eksodus ke sejumlah negara, setidaknya dalam tiga tahun terakhir, tampak jelas jika tindakan mengecam serta permintaan untuk menghentikan kekerasan tidak lagi memadai. Diplomasi basa-basi terbukti tak sanggup menghentikan tindakan persekusi yang terjadi di Myanmar.

Pemerintah Indonesia, misalnya, telah melakukan sejumlah langkah, mulai dari mengirimkan nota keprihatinan, menggalang bantuan kemanusiaan hingga mengirim Menteri Luar Negeri untuk bertemu dengan sejumlah pemimpin Myanmar. Namun semua tindakan diplomatik itu tetap tak bisa menghentikan jatuhnya korban jiwa secara signifikan.

Sikap tegas dalam diplomasi ini bukan hanya diperlukan saat menyangkut isu-isu bilateral saja, tetapi juga ketika menyangkut isu multilateral, regional, dan internasional. Terutama jika isunya genting dan prinsipil seperti isu kemanusiaan. Persoalannya adalah maukah ASEAN mereformasi diri dan mengubah perannya tak sekadar menjadi organisasi arisan para tetangga sekawasan?
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6548 seconds (0.1#10.140)
pixels