Mewaspadai Komunisme Tanpa Dendam

Jum'at, 06 Oktober 2017 - 08:29 WIB
Mewaspadai Komunisme Tanpa Dendam
Mewaspadai Komunisme Tanpa Dendam
A A A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

ACARA
nonton bareng (nobar) film berjudul Pengkhianatan G30S/PKI semarak di sejumlah daerah. Daya tarik film garapan Arifin C Noer ini ternyata masih sangat besar.

Buktinya, masyarakat tampak begitu menikmati film dokumenter berdurasi lebih dari empat jam tersebut. Apalagi film ini sudah tidak pernah tayang di televisi sejak 1998. Padahal, pemerintah Orde Baru selalu menayangkan film tentang kekejaman PKI ini setiap malam pada 30 September di semua saluran televisi.

Bukan hanya instansi pemerintah dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menjadi penyelenggara nobar film tentang gerakan 30 September (G30S/PKI). Berbagai elemen masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan (ormas), dan lembaga pendidikan juga menyelenggarakan nobar. Penyelenggaraan nobar bertujuan untuk mengingatkan generasi bangsa pada pengkhianatan PKI. Dengan menonton film G30S/PKI, berbagai elemen berharap adanya kesadaran terhadap bahaya PKI.

Namun harus diakui, penyelenggaraan acara nobar film G30S/PKI telah menimbulkan perdebatan. Sebagian pihak memaknai acara nobar dengan perspektif politik. Di pihak lain, penyelenggara nobar menyatakan bahwa acara ini murni untuk mengingatkan generasi bangsa pada kekejaman PKI. Sebagai bangsa yang besar, seharusnya kita tidak mudah melupakan sejarah.

Karena melalui sejarah, suatu bangsa dapat belajar dari masa lalu untuk memperbaiki masa depan. Pentingnya belajar dari masa lalu telah ditegaskan filsuf Yunani yang sekaligus Bapak Sejarah dunia, Thucydides (456-396 SM). Thucydides menyatakan, sejarah merupakan filsafat yang mengajar melalui contoh-contoh (history is philosophy teaching by examples).

Itu berarti sejarah memiliki fungsi pragmatis. Melalui sejarah kita belajar menata masa depan yang lebih baik. Pada konteks inilah seharusnya kita membaca peristiwa G30S/PKI. Pembacaan secara jujur penting agar peristiwa sejarah tidak menjadi komoditas politik.

Sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) bermula dari perkumpulan Indische Social Democratische Vereniging (ISDV). ISDV berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 23 Mei 1920. Para ideolog komunisme dan ISDV kemudian beralih menjadi aktivis politik. Mereka berjuang untuk mem­besarkan PKI.

Hasilnya, dalam pemilihan umum pertama pada 1955, perolehan suara PKI mencapai 16,36 %. PKI menempati posisi empat besar di bawah PNI (22,32 %), Masyumi (20,92 %), dan NU (18,41 %).

Dengan dukungan politik yang besar, PKI mulai menanamkan pengaruh di berbagai segi. PKI juga menjanjikan kesejahteraan dan keadilan sosial yang lebih baik. Faktanya, PKI justru menghadirkan keadaan yang mengerikan. Salah satu buktinya adalah pemberontakan PKI pada 1948 yang disertai pembunuhan terhadap banyak ulama. PKI juga melakukan pemberontakan yang dikenal dengan G30S/PKI.

Pemberontakan G30S/PKI banyak memakan korban. Sejumlah jenderal TNI Angkatan Darat dibunuh secara keji. Pengalaman sejarah yang memilukan ini tidak boleh terlupakan. Pada konteks inilah pemerintah Orde Baru selalu memperingati peristiwa G30S/PKI. Pemerintah Orde Baru juga membuat film dokumenter G30S/PKI.

Pemerintah Orde Baru juga me­wajibkan semua televisi menayangkan film G30S/PKI. Itu dilakukan pemerintah Orde Baru se­bagai pengingat sekaligus pelajaran bagi generasi bangsa terhadap bahaya PKI.

Setelah memasuki era reformasi, tayangan film G30S/PKI ditiadakan. Seiring dengan marak­nya kebangkitan komunisme berwajah baru (neokomunisme), sebagian kelompok dan institusi pemerintah menyerukan pentingnya mewaspadai PKI. Sebagai institusi dari partai politik PKI memang telah dibubarkan. Namun sebagai ideologi, komunisme akan terus bertumbuh dan berkembang. Kesadaran ini penting karena memberangus ideologi bukan pekerjaan mudah.

Semua gerakan pasti memiliki ideologi. Ideologi merupakan seperangkat nilai yang dijadikan pedoman suatu gerakan. Ideologi juga menjadi landasan merumuskan perjuangan, kepentingan, komitmen sosial, dan politik (Ball dan Dagger, 1995).

Karena berkaitan dengan nilai-nilai yang dipedomani, ideologi pasti bersifat laten. Jika kondisi memungkinkan, ideologi akan bermanifes dalam bentuk gerakan. Bahaya laten ideologi komunis inilah yang harus diwaspadai semua komponen bangsa.

Sebagian komponen bangsa memang meragukan kebangkitan neokomunisme. Menurut kelompok ini, di negara kelahirannya, komunisme telah runtuh. Karena itu, tidak mungkin komunisme bangkit kembali.

Namun, realitas menunjukkan adanya semangat anak-anak keturunan PKI bangkit. Mereka menuntut hak dan perlakuan yang sama. Apalagi realitas kesenjangan sosial ekonomi semakin terjadi di negeri tercinta. Kondisi ini berpotensi menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya ideologi komunisme.

Era reformasi juga menjadi angin surga bagi penganut ideologi komunisme. Kebebasan berserikat dan berpendapat yang dijamin undang-undang memberikan semangat tersendiri. Karena itu, tidak mengherankan jika ada tuntutan pencabutan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/ 1966 yang menjadi dasar pelarangan kegiatan komunisme.

Eks tahanan politik juga pernah menggugat presiden melalui Pengadilan Negeri Jakarta pada Agustus 2005. Mereka mengklaim ada 20 juta anggota PKI menjadi korban tragedi G 30S/PKI. Dengan berani mereka menuntut ganti rugi.

Yang menghebohkan adalah keberanian Doktor Ribka Tjiptaning Proletariati (anggota DPR dari PDI Perjuangan). Dia menulis buku memoar berjudul Aku Bangga Jadi Anak PKI (2002). Ribka Tjiptaning sekadar contoh salah satu anak keturunan PKI yang sukses menduduki jabatan publik.

Dalam suatu wawancara dengan televisi swasta, Ribka Tjiptaning juga mengatakan kini ada sekitar 20 juta anak keturunan PKI. Mereka bekerja di berbagai instansi pemerintah dan swasta.

Pertanyaannya, bagaimana menyikapi kebangkitan neokomunisme? Juga bagaimana bangsa ini harus memperlakukan anak-anak keturunan PKI? Pertanyaan ini penting dijawab dengan jernih.

Sebagai bangsa yang besar, penting bagi kita membedakan anak-anak keturunan PKI dengan orang tuanya. Terasa tidak adil jika menimpakan kesalahan orang tua kepada anak-anaknya. Jika itu dilakukan, pasti akan memicu dendam sejarah.

Anak-anak keturunan PKI harus diperlakukan sebagai sesama anak bangsa sepanjang menunjukkan kesetiaan pada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rasanya semua elemen bangsa menyadari bahaya komunisme.

Apalagi jika komunisme bermanifes menjadi kekuatan politik. Jika itu terjadi, sejarah kekejaman PKI dapat terulang kembali. Karena itu, semua elemen bangsa harus meminimalkan faktor-faktor yang memicu bangkitnya komunisme.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4503 seconds (0.1#10.140)