Bersama Rakyat, TNI Kuat
A
A
A
JUDUL tajuk ini merupakan slogan yang sering dipakai Tentara Nasional Indonesia (TNI) pasca-Reformasi. Slogan tersebut menunjukkan bahwa sebagai sebuah institusi alat perang negara, militer bukan hanya membutuhkan senjatanya untuk menjalankan tugasnya, namun juga membutuhkan kebersamaan dengan rakyat agar kuat. Sebuah slogan bermakna sangat dalam.
Pada hari ini TNI sang pemilik slogan itu berulang tahun yang ke-72 tahun. Institusi militer yang sudah menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sudah melalui pasang-surut peran yang luar biasa beragam. Posisinya dalam arsitektur sosial politik di Indonesia juga tak kalah beragam. TNI sempat ada pada posisi sebagai tentara revolusioner yang ikut melahirkan NKRI, TNI sempat berada pada pusat kekuasaan politik negeri ini, dan sekarang TNI menjalankan peran sebagai tentara profesional yang fokus pada kemampuan tempur. Tentara profesional adalah model idaman bagi pemerintahan bernafaskan demokrasi. Tentara sebagai institusi yang mendapat mandat untuk menggunakan kekuatan militer secara legal diharapkan menjadi institusi yang bersifat profesional dan kalau bisa sama sekali tidak berpolitik.
Adapun yang terakhir itu sebagai hasil dari reformasi dengan kelahiran Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Beleid tersebut memperkenalkan istilah tentara profesional dan supremasi sipil—barang yang sudah mulai dikenal pada masa itu, namun masih tetap asing. Banyak yang tak yakin bahwa profesionalisasi militer dan penegakan supremasi sipil ini akan berhasil. Rupanya ketidakyakinan tersebut terpatahkan dengan komitmen baik dari sipil maupun militer.
Sekalipun belakangan ini terpaan isu politik militer kembali menghantam TNI, para punggawanya dari Panglima TNI hingga jajaran di bawahnya harus menjaga militer tetap profesional. Dengan semangat slogan ”Bersama Rakyat, TNI Kuat” pada ulang tahun yang ke-72 ini TNI harus meneguhkan posisinya sebagai tentara profesional yang dekat dan dicintai rakyat. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menjadi figur sentral dalam menjaga agar TNI tetap di jalur yang digariskan dan tetap dengan rakyat.
Terkait kedekatan TNI dengan rakyat, ada riset menarik yang baru saja diluncurkan oleh lembaga riset terkenal di Amerika Serikat, Pew Research Center, terkait posisi militer dalam kehidupan sosial di Indonesia. Dalam riset bertajuk ”Public Attitudes Toward Human Rights Organizations: The Case of India, Indonesia, Kenya, and Mexico ”, lembaga tersebut merilis hasil bahwa berdasarkan pandangan masyarakat terkait institusi-institusi yang memberikan pengaruh (influence) positif, militer menempati posisi kedua dari delapan institusi yang ada di masyarakat, di bawah pemimpin agama. Urutannya adalah pemimpin agama 93%, militer 90%, pemerintah pusat 84%, organisasi pembela hak asasi manusia (HAM) 82%, media massa 81%, korporasi 72%, polisi 63%, dan terakhir lembaga peradilan 58%.
Beberapa riset lain di dalam negeri belakangan ini juga menjelaskan hal serupa mengenai posisi TNI di masyarakat. Tentu posisi ini menjadi modal sosial (social capital) yang sangat penting bagi TNI. Dengan pandangan tersebut, bahkan ketika politik menghangat pun, TNI menjadi institusi yang dianggap bisa membawa pengaruh positif bagi kehidupan masyarakat. Hasil riset seperti ini harus membuat TNI lebih semangat lagi untuk dekat dengan rakyat agar bisa mendatangkan lebih banyak manfaat.
Selain peningkatan kemampuan tempurnya untuk operasi militer untuk perang (OMP) dan beberapa operasi militer selain perang (OMSP), TNI jelas membutuhkan kepercayaan rakyat ini. Seperti yang termaktub dalam Pasal 7 UU Nomor 34 Tahun 2004 dalam OMSP ini termasuk operasi membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan, membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang dan beberapa operasi lain.
Dengan modal sosial TNI yang besar, Panglima TNI harus mampu terus mengasah prajuritnya untuk menjadi tentara profesional dengan kemampuan tempur yang mumpuni sekaligus dipercaya oleh rakyat. Dirgahayu TNI. Bersama rakyat, TNI kuat.
Pada hari ini TNI sang pemilik slogan itu berulang tahun yang ke-72 tahun. Institusi militer yang sudah menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sudah melalui pasang-surut peran yang luar biasa beragam. Posisinya dalam arsitektur sosial politik di Indonesia juga tak kalah beragam. TNI sempat ada pada posisi sebagai tentara revolusioner yang ikut melahirkan NKRI, TNI sempat berada pada pusat kekuasaan politik negeri ini, dan sekarang TNI menjalankan peran sebagai tentara profesional yang fokus pada kemampuan tempur. Tentara profesional adalah model idaman bagi pemerintahan bernafaskan demokrasi. Tentara sebagai institusi yang mendapat mandat untuk menggunakan kekuatan militer secara legal diharapkan menjadi institusi yang bersifat profesional dan kalau bisa sama sekali tidak berpolitik.
Adapun yang terakhir itu sebagai hasil dari reformasi dengan kelahiran Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Beleid tersebut memperkenalkan istilah tentara profesional dan supremasi sipil—barang yang sudah mulai dikenal pada masa itu, namun masih tetap asing. Banyak yang tak yakin bahwa profesionalisasi militer dan penegakan supremasi sipil ini akan berhasil. Rupanya ketidakyakinan tersebut terpatahkan dengan komitmen baik dari sipil maupun militer.
Sekalipun belakangan ini terpaan isu politik militer kembali menghantam TNI, para punggawanya dari Panglima TNI hingga jajaran di bawahnya harus menjaga militer tetap profesional. Dengan semangat slogan ”Bersama Rakyat, TNI Kuat” pada ulang tahun yang ke-72 ini TNI harus meneguhkan posisinya sebagai tentara profesional yang dekat dan dicintai rakyat. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menjadi figur sentral dalam menjaga agar TNI tetap di jalur yang digariskan dan tetap dengan rakyat.
Terkait kedekatan TNI dengan rakyat, ada riset menarik yang baru saja diluncurkan oleh lembaga riset terkenal di Amerika Serikat, Pew Research Center, terkait posisi militer dalam kehidupan sosial di Indonesia. Dalam riset bertajuk ”Public Attitudes Toward Human Rights Organizations: The Case of India, Indonesia, Kenya, and Mexico ”, lembaga tersebut merilis hasil bahwa berdasarkan pandangan masyarakat terkait institusi-institusi yang memberikan pengaruh (influence) positif, militer menempati posisi kedua dari delapan institusi yang ada di masyarakat, di bawah pemimpin agama. Urutannya adalah pemimpin agama 93%, militer 90%, pemerintah pusat 84%, organisasi pembela hak asasi manusia (HAM) 82%, media massa 81%, korporasi 72%, polisi 63%, dan terakhir lembaga peradilan 58%.
Beberapa riset lain di dalam negeri belakangan ini juga menjelaskan hal serupa mengenai posisi TNI di masyarakat. Tentu posisi ini menjadi modal sosial (social capital) yang sangat penting bagi TNI. Dengan pandangan tersebut, bahkan ketika politik menghangat pun, TNI menjadi institusi yang dianggap bisa membawa pengaruh positif bagi kehidupan masyarakat. Hasil riset seperti ini harus membuat TNI lebih semangat lagi untuk dekat dengan rakyat agar bisa mendatangkan lebih banyak manfaat.
Selain peningkatan kemampuan tempurnya untuk operasi militer untuk perang (OMP) dan beberapa operasi militer selain perang (OMSP), TNI jelas membutuhkan kepercayaan rakyat ini. Seperti yang termaktub dalam Pasal 7 UU Nomor 34 Tahun 2004 dalam OMSP ini termasuk operasi membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan, membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang dan beberapa operasi lain.
Dengan modal sosial TNI yang besar, Panglima TNI harus mampu terus mengasah prajuritnya untuk menjadi tentara profesional dengan kemampuan tempur yang mumpuni sekaligus dipercaya oleh rakyat. Dirgahayu TNI. Bersama rakyat, TNI kuat.
(mhd)