Ekonomi dan Interpolasi Kebijakan
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
AMBISI pemerintah untuk mengakselerasi proses pembangunan ekonomi kini semakin banyak menghadapi supresi (tekanan). Saat ini situasinya bisa dibilang semakin berat karena tekanan terus berdatangan dari berbagai penjuru. Sebagai negara dengan kapasitas small open economy, akan banyak dan dengan mudah efek domino muncul dari geliat perekonomian dunia terhadap kondisi ekonomi domestik di Indonesia.
Saat ini kondisi perekonomian global masih banyak diliputi ketidakpastian karena beberapa negara sedang berada pada fase peralihan. Poros perekonomian dunia yang sebelumnya dikuasai Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) perlahan dan pasti mulai dikudeta China. Pemerintah AS pun mulai bertingkah anomali.
Ketika China semakin mempertegas pola keterbukaan ekonominya dan membangun jaringan perekonomian dengan negara lain, Pemerintah AS malah sebaliknya dengan semakin memproteksi ruang perdagangan internasionalnya. Status perdagangan internasional Indonesia pun mulai bergeser mengikuti perubahan poros perdagangan dunia. Ekspor-impor perdagangan dengan China semakin menampakkan wujud dominasinya.
BPS (2017) menginformasikan bahwa China mulai menggusur Jepang, Singapura, dan AS untuk menjadi penopang utama aktivitas impor nonmigas ke Indonesia sejak 2010 silam. Setelah itu eksistensinya kian tak terbendung. Pada 2016 kemarin, lebih dari seperempat impor nonmigas Indonesia atau lebih tepatnya 26,25% berasal dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Jika dirata-rata lagi dalam kurun 2012–2016, impor nonmigas dari China mencapai 22,79% per tahun.
Persentase tersebut jauh mengungguli Jepang yang tepat membuntuti di belakangnya dengan kontribusi sebesar 12,71%. China juga menjadi negara terfavorit untuk tujuan ekspor nonmigas Indonesia. Dalam kurun waktu yang sama rata-rata hasil ekspor kita ditampung sebanyak 12,12% ke China. Tujuan favorit berikutnya ialah AS dan Jepang yang masing-masing menampung 10,79% dan 10,38% pangsa ekspor nonmigas Indonesia.
Dengan adanya pergeseran poros perdagangan tersebut, praktis ada tuntutan alamiah agar Pemerintah Indonesia melakukan renovasi “budaya” kerja sama bilateral dengan tuntas, khususnya dengan Pemerintah China selaku mitra utama perdagangan internasional. Renovasi tersebut bisa berkaitan dengan deretan policy, proses komunikasi, model negosiasi, dan strategi bilateral lainnya agar keuntungan atas kerja sama tersebut mampu dinikmati kedua pihak sehingga pemerintah perlu melakukan upaya reformis untuk menata manajemen transisi/transformasi kelembagaan.
Nah, di sinilah sistem kelembagaan kita mulai menampakkan berbagai celah struktural dan kulturalnya. Mekanisme transisi di Indonesia (bukan rahasia umum lagi) bisa dinilai kurang berjalan sukses. Akibatnya isu-isu utama yang terkait dengan pembangunan ekonomi nasional mulai ditindas dengan pergerakan isu-isu politik dan sosial yang cenderung berkonten negatif.
Mulai dari isu politik SARA, merebaknya embusan kebangkitan ideologi komunisme dan khilafah hingga gangguan sistem keamanan nasional akibat isu terorisme pada akhirnya harus diakui secara perlahan-lahan telah ikut menghambat akselerasi pembangunan ekonomi nasional.
Yang paling ironis tentu saja terkait dengan “gugatan” terhadap ideologi bernegara, entah apakah itu terkait dengan komunisme yang konon dikabarkan juga bermuatan sekularisme ataukah ideologi lain yang cenderung kontra-komunisme. Padahal isu-isu bipolar seperti ini seharusnya sudah berakhir pada 72 tahun yang lalu ketika kita secara de jure telah merdeka.
Founding fathers kita telah bersepakat bahwa Pancasila adalah ideologi bernegara di atas segala-galanya. Karena itu kita mulai dari pemerintah, para partisan politik oposisi, pelaku bisnis hingga masyarakat umum lainnya harus menjalani konsekuensi politik ini dengan sungguh-sungguh.
Kebijakan Multidimensi
Dalam beberapa dekade yang lalu, mungkin saja beban yang ditanggung pemerintah jika boleh kita bandingkan tidak seberat dengan kondisi eksisting. Banyak faktor yang mulanya memiliki core business yang terpisah dengan urusan ekonomi sekarang justru harus vis a vis karena pada akhirnya turut memengaruhi output kebijakan makroekonomi.
Dan dampaknya pada masa kini, supremasi kebijakan ekonomi tidak hanya dibebankan kepada kementerian/lembaga (K/L) yang berkepentingan secara langsung dengan pembangunan ekonomi. K/L di lingkungan sosial dan politik juga perlahan-lahan perlu mulai belajar memperhatikan dampak di setiap kebijakannya terhadap kinerja pembangunan ekonomi.
Dengan demikian mekanisme kelembagaan antar-K/L harus di-set dengan lebih cermat untuk menghindari tumpang-tindih kebijakan serta respons negatif yang lebih kencang dari kalangan pebisnis dan masyarakat. Kata kunci utamanya terletak pada upaya sinkronisasi kebijakan antarlembaga pemerintahan.
Antologi terkait sinkronisasi yang pertama mungkin bisa dikaitkan dengan topik sinkronisasi kebijakan dari sisi ekonomi, politik, dan sosial. Ketiga isu tersebut mungkin urutan dampaknya dapat dikatakan yang paling signifikan terhadap tujuan pembangunan yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Dan ketiga ranah kebijakan tersebut juga bisa dikatakan sangat terkausalitas dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu prinsip mitigasi dan kehati-hatian dalam merumuskan kebijakan seharusnya betul-betul dikuasai pemerintah. Misalnya terkait dengan isu komunisme atau ideologi berbangsa lainnya yang tidak senada dengan prinsip Pancasila, pihak pertama yang bertugas untuk mengebiri perkembangannya ialah K/L di bidang politik.
Pemerintah perlu jeli dan jujur apakah benar separatisme terhadap ideologi Pancasila betul-betul telah merebak? Namun akar pertumbuhan dan/atau cara penanggulangan isu tersebut bisa jadi tidak semata-mata hanya melalui determinan kebijakan politik.
Pemerintah bisa berinovasi misalnya dengan pendekatan dari bidang sosial. K/L yang mengurusi pendidikan dan komunikasi bisa menanggulanginya dengan kampanye anti-hoax.
Pegiat kebijakan ekonomi juga perlu mengidentifikasi siapa saja oknum yang mudah terhasut dengan isu-isu “recehan” tersebut. Biasanya penduduk yang memiliki keterbelakangan ekonomi serta akses informasi yang terbatas yang paling mudah menjadi korban.
Agar tidak lekas menjurus ke konflik sosial, pemerintah perlu fokus membangun kebijakan makroekonomi yang lebih sehat. Mulai dari kebijakan yang menyentuh tingkat kemiskinan dan ketimpangan, perluasan penyerapan tenaga kerja, inflasi dan tingkat daya beli hingga efisiensi ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat sudah seharusnya makin tampak jelas bagaimana progresivitasnya. Kalau tidak, siap-siap saja negara akan menghadapi snow ball effects yang lebih besar.
Antologi kedua dikaitkan dengan transmisi kebijakan antara otoritas fiskal dan moneter. Meskipun keduanya sama-sama memiliki core business yang setara di bidang ekonomi, dalam beberapa kali kesempatan, kerja sama kedua pihak malah sering kali mengalami jalan buntu karena kebijakan yang kurang harmonis.
Misalnya beberapa waktu yang lalu ketika pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, kalangan perbankan sempat ketar-ketir karena ada respons negatif dari masyarakat terkait dengan keamanan data nasabah. Untung saja cara penanggulangan dari otoritas moneter yang terkait, khususnya Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sangat baik sehingga dapat menghindari penarikan uang nasabah besar-besaran (rush money).
Nah tantangan berikutnya untuk saat ini berkaitan dengan kebijakan suku bunga BI yang baru-baru ini kembali mengalami perubahan. Pekan yang lalu, BI memutuskan untuk kembali menurunkan tingkat suku bunga acuan atau 7-day reverse repo rate (7-DRRR) sebanyak 25 basis poin dari 4,50 menjadi 4,25.
Muara yang diharapkan nantinya dapat memperbaiki aksesibilitas permodalan yang menunjang kenaikan tingkat investasi, produktivitas, serta daya beli masyarakat. Adapun target perantaranya, tingkat suku bunga perbankan juga dapat ditekan untuk memenuhi wacana single digit bunga kredit yang sudah lama diidam-idamkan pemerintah.
Namun apakah kemudian semuanya sudah berjalan dengan baik? Penulis rasa belum cukup meyakinkan. BI merilis data pertumbuhan kredit di Juli 2017 yang masih rendah, yaitu tercatat 8,2% (yoy), meskipun membaik dari bulan sebelumnya yang sebesar 7,8% (yoy). Pertumbuhan kredit yang tinggi hanya terjadi pada sektor konstruksi, listrik, jasa, dan pertanian, sedangkan sektor-sektor lain masih tumbuh rendah.
Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) pada Juli 2017 tercatat 9,7% (yoy) menurun bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 10,3% (yoy), terutama pada DPK valas. Penyebabnya bisa jadi karena tingkat suku bunga perbankan yang belum bersahabat dengan ekspektasi pasar alias masih relatif tinggi.
Di bulan yang sama, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) berada pada level 3,0% (gross) atau 1,4% (nett). Faktor itu pula yang memungkinkan membuat kalangan perbankan sulit menurunkan tingkat suku bunganya.
Selain itu ada tuntutan dari BI untuk menjaga rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan yang cukup tinggi pada level 23,0% dan rasio likuiditas (AL/DPK) pada level 23,3%. Kalau nantinya kondisi perkreditan katakanlah sudah semakin sehat, sementara masih ada perbankan yang kurang patuh terhadap target single digit, silakan pemerintah menjalankan skema punishment terhadap perbankan yang “nakal”.
Antologi yang ketiga, terkait dengan pranata hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Isu strategis yang saat ini tengah hot ialah kasus korupsi dari oknum-oknum pemerintah pusat dan daerah.
Penulis menganggap bahwa adanya isu korupsi telah banyak mengganggu kesehatan demokrasi dalam negeri. Yang paling kentara pada akhir-akhir ini justru korupsi yang dilakukan oknum pemerintahan daerah.
Fakta ini menjadi sebuah ironi karena transfer ke daerah sendiri sejatinya akan terus mengalami kenaikan. Kendalanya adalah karena sistem demokrasi kita masih dibayang-bayangi penerapan demokrasi transaksional.
Ada “perselingkuhan” politik antara pemerintah secara vertikal dan/atau horizontal, antara eksekutif dengan legislatif, serta antara eksekutif-legislatif dengan sektor swasta yang pada akhirnya mengebiri norma-norma demokrasi. Hasilnya sudah tampak jelas telah menyebabkan hasil-hasil kebijakan makro ekonomi di daerah dan pusat tidak mampu optimal.
Akibatnya kondisi psikologis masyarakat cenderung menjadi labil. Isu penarikan tarif top-up e-money yang sebetulnya dampaknya dapat dibilang minor saja (karena persentase konsumennya yang sangat kecil) sudah cukup untuk membuat masyarakat menjadi panik. Oleh karena itu kegaduhan-kegaduhan ini harus segera diakhiri.
Yang paling utama jangan sampai masyarakat menjadi semakin apatis karena merasa kebijakan pemerintah kurang berpihak kepada mereka. Apalagi sistem demokrasi amat mengagung-agungkan prinsip partisipasi masyarakat yang lebih luas mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi hasil pembangunan. Jika tidak, ucapkanlah selamat tinggal kepada impian pembangunan nasional yang bertonggak pada sistem demokrasi yang sehat.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
AMBISI pemerintah untuk mengakselerasi proses pembangunan ekonomi kini semakin banyak menghadapi supresi (tekanan). Saat ini situasinya bisa dibilang semakin berat karena tekanan terus berdatangan dari berbagai penjuru. Sebagai negara dengan kapasitas small open economy, akan banyak dan dengan mudah efek domino muncul dari geliat perekonomian dunia terhadap kondisi ekonomi domestik di Indonesia.
Saat ini kondisi perekonomian global masih banyak diliputi ketidakpastian karena beberapa negara sedang berada pada fase peralihan. Poros perekonomian dunia yang sebelumnya dikuasai Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) perlahan dan pasti mulai dikudeta China. Pemerintah AS pun mulai bertingkah anomali.
Ketika China semakin mempertegas pola keterbukaan ekonominya dan membangun jaringan perekonomian dengan negara lain, Pemerintah AS malah sebaliknya dengan semakin memproteksi ruang perdagangan internasionalnya. Status perdagangan internasional Indonesia pun mulai bergeser mengikuti perubahan poros perdagangan dunia. Ekspor-impor perdagangan dengan China semakin menampakkan wujud dominasinya.
BPS (2017) menginformasikan bahwa China mulai menggusur Jepang, Singapura, dan AS untuk menjadi penopang utama aktivitas impor nonmigas ke Indonesia sejak 2010 silam. Setelah itu eksistensinya kian tak terbendung. Pada 2016 kemarin, lebih dari seperempat impor nonmigas Indonesia atau lebih tepatnya 26,25% berasal dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Jika dirata-rata lagi dalam kurun 2012–2016, impor nonmigas dari China mencapai 22,79% per tahun.
Persentase tersebut jauh mengungguli Jepang yang tepat membuntuti di belakangnya dengan kontribusi sebesar 12,71%. China juga menjadi negara terfavorit untuk tujuan ekspor nonmigas Indonesia. Dalam kurun waktu yang sama rata-rata hasil ekspor kita ditampung sebanyak 12,12% ke China. Tujuan favorit berikutnya ialah AS dan Jepang yang masing-masing menampung 10,79% dan 10,38% pangsa ekspor nonmigas Indonesia.
Dengan adanya pergeseran poros perdagangan tersebut, praktis ada tuntutan alamiah agar Pemerintah Indonesia melakukan renovasi “budaya” kerja sama bilateral dengan tuntas, khususnya dengan Pemerintah China selaku mitra utama perdagangan internasional. Renovasi tersebut bisa berkaitan dengan deretan policy, proses komunikasi, model negosiasi, dan strategi bilateral lainnya agar keuntungan atas kerja sama tersebut mampu dinikmati kedua pihak sehingga pemerintah perlu melakukan upaya reformis untuk menata manajemen transisi/transformasi kelembagaan.
Nah, di sinilah sistem kelembagaan kita mulai menampakkan berbagai celah struktural dan kulturalnya. Mekanisme transisi di Indonesia (bukan rahasia umum lagi) bisa dinilai kurang berjalan sukses. Akibatnya isu-isu utama yang terkait dengan pembangunan ekonomi nasional mulai ditindas dengan pergerakan isu-isu politik dan sosial yang cenderung berkonten negatif.
Mulai dari isu politik SARA, merebaknya embusan kebangkitan ideologi komunisme dan khilafah hingga gangguan sistem keamanan nasional akibat isu terorisme pada akhirnya harus diakui secara perlahan-lahan telah ikut menghambat akselerasi pembangunan ekonomi nasional.
Yang paling ironis tentu saja terkait dengan “gugatan” terhadap ideologi bernegara, entah apakah itu terkait dengan komunisme yang konon dikabarkan juga bermuatan sekularisme ataukah ideologi lain yang cenderung kontra-komunisme. Padahal isu-isu bipolar seperti ini seharusnya sudah berakhir pada 72 tahun yang lalu ketika kita secara de jure telah merdeka.
Founding fathers kita telah bersepakat bahwa Pancasila adalah ideologi bernegara di atas segala-galanya. Karena itu kita mulai dari pemerintah, para partisan politik oposisi, pelaku bisnis hingga masyarakat umum lainnya harus menjalani konsekuensi politik ini dengan sungguh-sungguh.
Kebijakan Multidimensi
Dalam beberapa dekade yang lalu, mungkin saja beban yang ditanggung pemerintah jika boleh kita bandingkan tidak seberat dengan kondisi eksisting. Banyak faktor yang mulanya memiliki core business yang terpisah dengan urusan ekonomi sekarang justru harus vis a vis karena pada akhirnya turut memengaruhi output kebijakan makroekonomi.
Dan dampaknya pada masa kini, supremasi kebijakan ekonomi tidak hanya dibebankan kepada kementerian/lembaga (K/L) yang berkepentingan secara langsung dengan pembangunan ekonomi. K/L di lingkungan sosial dan politik juga perlahan-lahan perlu mulai belajar memperhatikan dampak di setiap kebijakannya terhadap kinerja pembangunan ekonomi.
Dengan demikian mekanisme kelembagaan antar-K/L harus di-set dengan lebih cermat untuk menghindari tumpang-tindih kebijakan serta respons negatif yang lebih kencang dari kalangan pebisnis dan masyarakat. Kata kunci utamanya terletak pada upaya sinkronisasi kebijakan antarlembaga pemerintahan.
Antologi terkait sinkronisasi yang pertama mungkin bisa dikaitkan dengan topik sinkronisasi kebijakan dari sisi ekonomi, politik, dan sosial. Ketiga isu tersebut mungkin urutan dampaknya dapat dikatakan yang paling signifikan terhadap tujuan pembangunan yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Dan ketiga ranah kebijakan tersebut juga bisa dikatakan sangat terkausalitas dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu prinsip mitigasi dan kehati-hatian dalam merumuskan kebijakan seharusnya betul-betul dikuasai pemerintah. Misalnya terkait dengan isu komunisme atau ideologi berbangsa lainnya yang tidak senada dengan prinsip Pancasila, pihak pertama yang bertugas untuk mengebiri perkembangannya ialah K/L di bidang politik.
Pemerintah perlu jeli dan jujur apakah benar separatisme terhadap ideologi Pancasila betul-betul telah merebak? Namun akar pertumbuhan dan/atau cara penanggulangan isu tersebut bisa jadi tidak semata-mata hanya melalui determinan kebijakan politik.
Pemerintah bisa berinovasi misalnya dengan pendekatan dari bidang sosial. K/L yang mengurusi pendidikan dan komunikasi bisa menanggulanginya dengan kampanye anti-hoax.
Pegiat kebijakan ekonomi juga perlu mengidentifikasi siapa saja oknum yang mudah terhasut dengan isu-isu “recehan” tersebut. Biasanya penduduk yang memiliki keterbelakangan ekonomi serta akses informasi yang terbatas yang paling mudah menjadi korban.
Agar tidak lekas menjurus ke konflik sosial, pemerintah perlu fokus membangun kebijakan makroekonomi yang lebih sehat. Mulai dari kebijakan yang menyentuh tingkat kemiskinan dan ketimpangan, perluasan penyerapan tenaga kerja, inflasi dan tingkat daya beli hingga efisiensi ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat sudah seharusnya makin tampak jelas bagaimana progresivitasnya. Kalau tidak, siap-siap saja negara akan menghadapi snow ball effects yang lebih besar.
Antologi kedua dikaitkan dengan transmisi kebijakan antara otoritas fiskal dan moneter. Meskipun keduanya sama-sama memiliki core business yang setara di bidang ekonomi, dalam beberapa kali kesempatan, kerja sama kedua pihak malah sering kali mengalami jalan buntu karena kebijakan yang kurang harmonis.
Misalnya beberapa waktu yang lalu ketika pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, kalangan perbankan sempat ketar-ketir karena ada respons negatif dari masyarakat terkait dengan keamanan data nasabah. Untung saja cara penanggulangan dari otoritas moneter yang terkait, khususnya Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sangat baik sehingga dapat menghindari penarikan uang nasabah besar-besaran (rush money).
Nah tantangan berikutnya untuk saat ini berkaitan dengan kebijakan suku bunga BI yang baru-baru ini kembali mengalami perubahan. Pekan yang lalu, BI memutuskan untuk kembali menurunkan tingkat suku bunga acuan atau 7-day reverse repo rate (7-DRRR) sebanyak 25 basis poin dari 4,50 menjadi 4,25.
Muara yang diharapkan nantinya dapat memperbaiki aksesibilitas permodalan yang menunjang kenaikan tingkat investasi, produktivitas, serta daya beli masyarakat. Adapun target perantaranya, tingkat suku bunga perbankan juga dapat ditekan untuk memenuhi wacana single digit bunga kredit yang sudah lama diidam-idamkan pemerintah.
Namun apakah kemudian semuanya sudah berjalan dengan baik? Penulis rasa belum cukup meyakinkan. BI merilis data pertumbuhan kredit di Juli 2017 yang masih rendah, yaitu tercatat 8,2% (yoy), meskipun membaik dari bulan sebelumnya yang sebesar 7,8% (yoy). Pertumbuhan kredit yang tinggi hanya terjadi pada sektor konstruksi, listrik, jasa, dan pertanian, sedangkan sektor-sektor lain masih tumbuh rendah.
Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) pada Juli 2017 tercatat 9,7% (yoy) menurun bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 10,3% (yoy), terutama pada DPK valas. Penyebabnya bisa jadi karena tingkat suku bunga perbankan yang belum bersahabat dengan ekspektasi pasar alias masih relatif tinggi.
Di bulan yang sama, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) berada pada level 3,0% (gross) atau 1,4% (nett). Faktor itu pula yang memungkinkan membuat kalangan perbankan sulit menurunkan tingkat suku bunganya.
Selain itu ada tuntutan dari BI untuk menjaga rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan yang cukup tinggi pada level 23,0% dan rasio likuiditas (AL/DPK) pada level 23,3%. Kalau nantinya kondisi perkreditan katakanlah sudah semakin sehat, sementara masih ada perbankan yang kurang patuh terhadap target single digit, silakan pemerintah menjalankan skema punishment terhadap perbankan yang “nakal”.
Antologi yang ketiga, terkait dengan pranata hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Isu strategis yang saat ini tengah hot ialah kasus korupsi dari oknum-oknum pemerintah pusat dan daerah.
Penulis menganggap bahwa adanya isu korupsi telah banyak mengganggu kesehatan demokrasi dalam negeri. Yang paling kentara pada akhir-akhir ini justru korupsi yang dilakukan oknum pemerintahan daerah.
Fakta ini menjadi sebuah ironi karena transfer ke daerah sendiri sejatinya akan terus mengalami kenaikan. Kendalanya adalah karena sistem demokrasi kita masih dibayang-bayangi penerapan demokrasi transaksional.
Ada “perselingkuhan” politik antara pemerintah secara vertikal dan/atau horizontal, antara eksekutif dengan legislatif, serta antara eksekutif-legislatif dengan sektor swasta yang pada akhirnya mengebiri norma-norma demokrasi. Hasilnya sudah tampak jelas telah menyebabkan hasil-hasil kebijakan makro ekonomi di daerah dan pusat tidak mampu optimal.
Akibatnya kondisi psikologis masyarakat cenderung menjadi labil. Isu penarikan tarif top-up e-money yang sebetulnya dampaknya dapat dibilang minor saja (karena persentase konsumennya yang sangat kecil) sudah cukup untuk membuat masyarakat menjadi panik. Oleh karena itu kegaduhan-kegaduhan ini harus segera diakhiri.
Yang paling utama jangan sampai masyarakat menjadi semakin apatis karena merasa kebijakan pemerintah kurang berpihak kepada mereka. Apalagi sistem demokrasi amat mengagung-agungkan prinsip partisipasi masyarakat yang lebih luas mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi hasil pembangunan. Jika tidak, ucapkanlah selamat tinggal kepada impian pembangunan nasional yang bertonggak pada sistem demokrasi yang sehat.
(poe)