Tolak Mahar Politik, Sikap Perindo Diapresiasi
A
A
A
YOGYAKARTA - Komitmen Partai Perindo menolak praktik mahar politik dalam pencalonan kepala daerah diapresiasi.
Sikap tersebut dinilai penting di tengah banyaknya pejabat yang tertangkap tangan melakukan dugaan korupsi.
“Saya apresiasi dengan sikap Partai Perindo yang tidak akan menerapkan mahar politik bagi calon pejabat dan calon wakil rakyatnya,” ujar pakar hukum pidana Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY) Dr Muh Khambali kepada SINDOnews.com, Minggu (17/9/2017). (Baca juga: Putus Mata Rantai Korupsi, Perindo Tak Tarik Mahar Politik )
Dia mengatakan, banyaknya pejabat yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) membuktikan saat ini sumpah jabatan dianggap bukan sebagai sesuatu yang sakral.
Pakta integritas juga dinilainya belum menjadi sebuah fakta integritas. “Sangat memprihatinkan, sangat memalukan. Perlu dicari solusi, bagaimana ke depan para pemangku jabatan dan rekanannya tidak tergiur iming-iming syur suap, gratifikasi, korupsi, dan prostitusi terselubung,” tuturnya.
Menurut Khambali, hingga kini pejabat di berbagai daerah terus terjaring OTT KPK. Terakhir, penangkapan anggota DPRD Banjarmasin disusul kemudian Wali Kota Batu, Malang.
“Ternyata menandatangani pakta integritas belum selalu menjadi fakta integritas. Pakta vs fakta integritas, ternyata fakta integritas sering keok, kalah,” ucapnya.
Khambali juga mengkritisi sikap DPR yang mempertanyakan kewenangan KPK melakukan penyadapan. Hal itu terlihat dengan upaya DPR mempercepat pembahasan Rancangan Undang Undang tentang Penyadapan.
Menurut dia, DPR sepertinya sangat bernafsu untuk mengatur penyadapan yang selama ini menjadi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, dan Komisi Yudisial.
”Jika nafsu mengatur penyadapan dengan maksud agar langkah penegak hukum terbatas, itu jelas niatan busuk,” ucap pengacara senior ini.
Menurut dia, semua sepakat bahwa negeri ini dalam keadaan darurat korupsi. Meski demikian, korupsi tidak mudah terungkap jika tidak dengan OTT.
“Korupsi selalu saja dilakukan secara bergerombol, dilakukan oleh penguasa, dan relatif berpendidikan tinggi, punya massa, dan punya duit. Jadi sulit menangkap mereka jika tidak dengan OTT. Sedangkan OTT akan efektif terlaksana jika ada kewenangan menyadap karena sebelum OTT pasti ada komunikasi antara pelaku tipikor,” tutur dokor hukum pidana ini.
Sikap tersebut dinilai penting di tengah banyaknya pejabat yang tertangkap tangan melakukan dugaan korupsi.
“Saya apresiasi dengan sikap Partai Perindo yang tidak akan menerapkan mahar politik bagi calon pejabat dan calon wakil rakyatnya,” ujar pakar hukum pidana Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY) Dr Muh Khambali kepada SINDOnews.com, Minggu (17/9/2017). (Baca juga: Putus Mata Rantai Korupsi, Perindo Tak Tarik Mahar Politik )
Dia mengatakan, banyaknya pejabat yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) membuktikan saat ini sumpah jabatan dianggap bukan sebagai sesuatu yang sakral.
Pakta integritas juga dinilainya belum menjadi sebuah fakta integritas. “Sangat memprihatinkan, sangat memalukan. Perlu dicari solusi, bagaimana ke depan para pemangku jabatan dan rekanannya tidak tergiur iming-iming syur suap, gratifikasi, korupsi, dan prostitusi terselubung,” tuturnya.
Menurut Khambali, hingga kini pejabat di berbagai daerah terus terjaring OTT KPK. Terakhir, penangkapan anggota DPRD Banjarmasin disusul kemudian Wali Kota Batu, Malang.
“Ternyata menandatangani pakta integritas belum selalu menjadi fakta integritas. Pakta vs fakta integritas, ternyata fakta integritas sering keok, kalah,” ucapnya.
Khambali juga mengkritisi sikap DPR yang mempertanyakan kewenangan KPK melakukan penyadapan. Hal itu terlihat dengan upaya DPR mempercepat pembahasan Rancangan Undang Undang tentang Penyadapan.
Menurut dia, DPR sepertinya sangat bernafsu untuk mengatur penyadapan yang selama ini menjadi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, dan Komisi Yudisial.
”Jika nafsu mengatur penyadapan dengan maksud agar langkah penegak hukum terbatas, itu jelas niatan busuk,” ucap pengacara senior ini.
Menurut dia, semua sepakat bahwa negeri ini dalam keadaan darurat korupsi. Meski demikian, korupsi tidak mudah terungkap jika tidak dengan OTT.
“Korupsi selalu saja dilakukan secara bergerombol, dilakukan oleh penguasa, dan relatif berpendidikan tinggi, punya massa, dan punya duit. Jadi sulit menangkap mereka jika tidak dengan OTT. Sedangkan OTT akan efektif terlaksana jika ada kewenangan menyadap karena sebelum OTT pasti ada komunikasi antara pelaku tipikor,” tutur dokor hukum pidana ini.
(dam)