KPK Selalu Dicari Salahnya
A
A
A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
SAAT melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan bukti hanya seratus juta atau puluhan juta rupiah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sering diejek hanya memburu korupsi yang ecek-ecek dan tidak berani menangani korupsi besar. Tetapi ketika berusaha membongkar korupsi besar yang bernilai triliunan atau ratusan miliar rupiah, KPK malah dikeroyok beramai-ramai dan mau dihabisi. Itulah situasi yang dihadapi oleh KPK belakangan ini.
Saat melakukan OTT di DPRD Mojokerto, DPRD Jatim, dan Kota Malang sambil menyita uang di bawah Rp100 juta, KPK diejek beramai-ramai dengan tudingan KPK hanya menangkap korupsi kelas teri. Tetapi ketika mulai menangani korupsi besar seperti kasus KTP elektronik (KTP-el) dan berbagai kasus korupsi besar lainnya, KPK diteror habis-habisan.
Meskipun selalu dibantah, tetapi di tengah-tengah masyarakat tetaplah muncul kesan kuat bahwa Panitia Khusus Angket tentang KPK, misalnya, dimulai dari penanganan kasus KTP-el ketika sesi persidangan di Pengadilan Tipikor memeriksa saksi Miriam S Haryani. Perjalanan pansus yang kemudian materinya bertambah-tambah di tengah jalan menyebabkan panitia angket bergeser menjadi seperti (mobil) angkot.
Ibarat mobil angkutan umum, seharusnya panitia angket seperti mobil taksi Blue Bird yang membawa penumpang khusus ke satu tujuan khusus. Tetapi ternyata panitia angket berjalan seperti mobil angkot, menaikkan penumpang di banyak tempat, terkadang ngetem menunggu penumpang dan terkadang distop penumpang di tengah jalan, dengan tujuan masing-masing penumpang yang beragam. Oleh sebab itu, perjalanan ketatanegaraan kita menjadi tontonan yang seperti mau melucu tetapi sama sekali tidak lucu.
Situasi dilematis yang seperti itulah yang saat-saat ini dihadapi oleh KPK. Untungnya, masyarakat luas, media sosial, dan media mainstream, kecuali dalam kasus tertentu masih berpihak kepada KPK. Berbagai jajak pendapat, nasional maupun internasional, selalu menempatkan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang paling dipercaya di Indonesia.
Kalau mau menilai langkah KPK secara jujur, maka kita harus berani menilai secara obyektif bahwa yang dilakukan oleh KPK sudah cukup proporsional sesuai dengan wewenang dan kapasitas kelembagaan yang dimiliki. Yang dilakukan oleh KPK sesuai dengan wewenang dan kapasitasnya itu sudah realistis, melakukan yang bisa dilakukan semaksimal mungkin sambil mencari celah untuk menghindari dan melawan keroyokan yang beringas.
Sebenarnya berdasar fakta, ketika melakukan OTT, KPK tidak hanya selalu menyasar bukti uang recehan dengan nilai puluhan juta rupiah, tetapi banyak yang sampai puluhan miliar rupiah. Kasus Kepala BP Migas atau Sekjen Kementerian ESDM dan Dirjen Hubungan Laut di Kementerian Perhubungan contohnya, sangat telanjang menunjukkan penyitaan uang miliaran rupiah yang sampai tercecer-cecer saking banyaknya.
Lebih dari itu, harus diingat, dalam melakukan OTT yang kebetulan menyita uang hanya puluhan juta rupiah itu, sebenarnya KPK telah menyelamatkan puluhan bahkan ratusan miliar rupiah dari satu kasus.
Penjelasan Komisioner KPK La Ode M Syarief di DPR awal pekan ini sangat logis. Mereka yang di-OTT hanya dengan bukti, misalnya, Rp50 juta sebenarnya sedang merencanakan korupsi puluhan miliar rupiah. Contohnya sederhana. Ada rencana proyek senilai 200 miliar, kemudian berdasar hasil penyadapan diketahui ada kolusi dengan kesepakatan si pejabat mendapat kick back sebesar 10%.
Itu berarti kesepakatan korupsinya dalam bentuk kick back adalah Rp20 miliar atau 10% dari Rp 200 miliar. Ketika kesepakatan korupsi Rp20 miliar itu sedang dibayarkan sebagian sebagai uang muka (misalnya sebesar Rp50 juta) dilakukanlah OTT oleh KPK. Berarti, KPK telah menyelamatkan uang negara senilai Rp20 miliar.
Dalam kasus penyuapan impor gula yang melibatkan petinggi penting untuk merekomendasikan impor gula kepada pengusaha tertentu, misalnya, konon pola itulah yang terjadi. OTT dilakukan saat ada penyerahan uang Rp100 juta, tetapi KPK sudah menyadap pembicaraan lebih dulu bahwa setiap 1 kg impor gula sang pejabat mendapat fee Rp2.000.
Coba hitung, berapa uang suap yang akan mengalir ke kantong sang pejabat jika impor gula yang direkomendasikan itu mencapai 1000 ton saja? Begitulah cara memahami OTT yang dituding ecek-ecek itu. Jadi, jangan hanya dilihat alat bukti yang disita saat ditangkap tangan.
Memimpin atau menjadi komisioner KPK kerap dihadapkan pada situasi serba salah. Berbuat begini dibilang salah, melakukan begitu dituding miring; bereaksi disalahkan, tidak bereaksi dibilang pengecut.
KPK selalu dihadapkan pada dilema atau selalu dicari salahnya. Oleh sebab itu, menjadi komisioner KPK memang harus berbesar hati dan bermental baja. Mereka harus tetap teguh membabat korupsi dan bibit-bibitnya sebagai bentuk kecintaan terhadap Indonesia.
Melalui rubrik ini saya pernah mengatakan bahwa basis nasionalisme kita ke depan adalah “penegakan hukum dan keadilan”. Berbeda dengan satu dasawarsa pada awal kemerdekaan yang ekspresi nasionalisme kita lakukan, antara lain dengan perang fisik melawan musuh dengan senjata seadanya. Namun, saat ini nasionalisme kita harus dibangun dengan basis penegakan hukum dan keadilan.
Suatu negara akan hancur seperti rumah pasir jika korupsi pejabatnya merajalela dan tanpa penegakan hukum dan keadilan oleh negara. Bila KPK mempunyai kelemahan dan harus diperbaiki adalah niscaya dan pasti.
Tetapi tentu sangat mudah dibedakan antara usaha memperbaiki dan membinasakan atau antara upaya menguatkan dan melemahkan. Orang tak harus belajar terlalu tinggi untuk tahu perbedaan itu.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
SAAT melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan bukti hanya seratus juta atau puluhan juta rupiah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sering diejek hanya memburu korupsi yang ecek-ecek dan tidak berani menangani korupsi besar. Tetapi ketika berusaha membongkar korupsi besar yang bernilai triliunan atau ratusan miliar rupiah, KPK malah dikeroyok beramai-ramai dan mau dihabisi. Itulah situasi yang dihadapi oleh KPK belakangan ini.
Saat melakukan OTT di DPRD Mojokerto, DPRD Jatim, dan Kota Malang sambil menyita uang di bawah Rp100 juta, KPK diejek beramai-ramai dengan tudingan KPK hanya menangkap korupsi kelas teri. Tetapi ketika mulai menangani korupsi besar seperti kasus KTP elektronik (KTP-el) dan berbagai kasus korupsi besar lainnya, KPK diteror habis-habisan.
Meskipun selalu dibantah, tetapi di tengah-tengah masyarakat tetaplah muncul kesan kuat bahwa Panitia Khusus Angket tentang KPK, misalnya, dimulai dari penanganan kasus KTP-el ketika sesi persidangan di Pengadilan Tipikor memeriksa saksi Miriam S Haryani. Perjalanan pansus yang kemudian materinya bertambah-tambah di tengah jalan menyebabkan panitia angket bergeser menjadi seperti (mobil) angkot.
Ibarat mobil angkutan umum, seharusnya panitia angket seperti mobil taksi Blue Bird yang membawa penumpang khusus ke satu tujuan khusus. Tetapi ternyata panitia angket berjalan seperti mobil angkot, menaikkan penumpang di banyak tempat, terkadang ngetem menunggu penumpang dan terkadang distop penumpang di tengah jalan, dengan tujuan masing-masing penumpang yang beragam. Oleh sebab itu, perjalanan ketatanegaraan kita menjadi tontonan yang seperti mau melucu tetapi sama sekali tidak lucu.
Situasi dilematis yang seperti itulah yang saat-saat ini dihadapi oleh KPK. Untungnya, masyarakat luas, media sosial, dan media mainstream, kecuali dalam kasus tertentu masih berpihak kepada KPK. Berbagai jajak pendapat, nasional maupun internasional, selalu menempatkan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang paling dipercaya di Indonesia.
Kalau mau menilai langkah KPK secara jujur, maka kita harus berani menilai secara obyektif bahwa yang dilakukan oleh KPK sudah cukup proporsional sesuai dengan wewenang dan kapasitas kelembagaan yang dimiliki. Yang dilakukan oleh KPK sesuai dengan wewenang dan kapasitasnya itu sudah realistis, melakukan yang bisa dilakukan semaksimal mungkin sambil mencari celah untuk menghindari dan melawan keroyokan yang beringas.
Sebenarnya berdasar fakta, ketika melakukan OTT, KPK tidak hanya selalu menyasar bukti uang recehan dengan nilai puluhan juta rupiah, tetapi banyak yang sampai puluhan miliar rupiah. Kasus Kepala BP Migas atau Sekjen Kementerian ESDM dan Dirjen Hubungan Laut di Kementerian Perhubungan contohnya, sangat telanjang menunjukkan penyitaan uang miliaran rupiah yang sampai tercecer-cecer saking banyaknya.
Lebih dari itu, harus diingat, dalam melakukan OTT yang kebetulan menyita uang hanya puluhan juta rupiah itu, sebenarnya KPK telah menyelamatkan puluhan bahkan ratusan miliar rupiah dari satu kasus.
Penjelasan Komisioner KPK La Ode M Syarief di DPR awal pekan ini sangat logis. Mereka yang di-OTT hanya dengan bukti, misalnya, Rp50 juta sebenarnya sedang merencanakan korupsi puluhan miliar rupiah. Contohnya sederhana. Ada rencana proyek senilai 200 miliar, kemudian berdasar hasil penyadapan diketahui ada kolusi dengan kesepakatan si pejabat mendapat kick back sebesar 10%.
Itu berarti kesepakatan korupsinya dalam bentuk kick back adalah Rp20 miliar atau 10% dari Rp 200 miliar. Ketika kesepakatan korupsi Rp20 miliar itu sedang dibayarkan sebagian sebagai uang muka (misalnya sebesar Rp50 juta) dilakukanlah OTT oleh KPK. Berarti, KPK telah menyelamatkan uang negara senilai Rp20 miliar.
Dalam kasus penyuapan impor gula yang melibatkan petinggi penting untuk merekomendasikan impor gula kepada pengusaha tertentu, misalnya, konon pola itulah yang terjadi. OTT dilakukan saat ada penyerahan uang Rp100 juta, tetapi KPK sudah menyadap pembicaraan lebih dulu bahwa setiap 1 kg impor gula sang pejabat mendapat fee Rp2.000.
Coba hitung, berapa uang suap yang akan mengalir ke kantong sang pejabat jika impor gula yang direkomendasikan itu mencapai 1000 ton saja? Begitulah cara memahami OTT yang dituding ecek-ecek itu. Jadi, jangan hanya dilihat alat bukti yang disita saat ditangkap tangan.
Memimpin atau menjadi komisioner KPK kerap dihadapkan pada situasi serba salah. Berbuat begini dibilang salah, melakukan begitu dituding miring; bereaksi disalahkan, tidak bereaksi dibilang pengecut.
KPK selalu dihadapkan pada dilema atau selalu dicari salahnya. Oleh sebab itu, menjadi komisioner KPK memang harus berbesar hati dan bermental baja. Mereka harus tetap teguh membabat korupsi dan bibit-bibitnya sebagai bentuk kecintaan terhadap Indonesia.
Melalui rubrik ini saya pernah mengatakan bahwa basis nasionalisme kita ke depan adalah “penegakan hukum dan keadilan”. Berbeda dengan satu dasawarsa pada awal kemerdekaan yang ekspresi nasionalisme kita lakukan, antara lain dengan perang fisik melawan musuh dengan senjata seadanya. Namun, saat ini nasionalisme kita harus dibangun dengan basis penegakan hukum dan keadilan.
Suatu negara akan hancur seperti rumah pasir jika korupsi pejabatnya merajalela dan tanpa penegakan hukum dan keadilan oleh negara. Bila KPK mempunyai kelemahan dan harus diperbaiki adalah niscaya dan pasti.
Tetapi tentu sangat mudah dibedakan antara usaha memperbaiki dan membinasakan atau antara upaya menguatkan dan melemahkan. Orang tak harus belajar terlalu tinggi untuk tahu perbedaan itu.
(poe)