Bekukan KPK atau Pansus?

Selasa, 12 September 2017 - 08:14 WIB
Bekukan KPK atau Pansus?
Bekukan KPK atau Pansus?
A A A
Feri Amsari
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas; Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar HTN-HAN

SUNGGUH saya bertanya-tanya, apakah yang menjadi fokus utama Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK? Sebab dalam Pasal 199 ayat (2) huruf a dan b UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ditentukan bahwa materi dan alasan hak angket telah ditentukan sebelumnya. Artinya, Pansus Angket dibatasi menyelidiki hal tertentu yang dicurigai melanggar pelaksanaan undang-undang. Tidak boleh melebar apalagi mencari-cari kesalahan.

Hak angket harus memfokuskan penyelidikan pada perkara-perkara tertentu. Seandainya DPR sedang menyelidiki Kementerian A terhadap kesalahan X, maka apabila terdapat laporan publik bahwa Kementerian A juga bermasalah dalam hal Y, Pansus Angket tidak bisa menggabungkan kesalahan X dan Y sekaligus. Apabila ingin mempermasalahkan hal Y, maka perlu diajukan usul angket yang baru. Demikian kehendak undang-undang yang dibuat DPR sendiri.

Dalam konteks angket terhadap KPK, pansus berupaya menyelidiki seluruh kealpaan KPK dari segala sumber yang patut diduga memang tidak senang dengan kinerja KPK selama ini. Padahal selain tidak bisa dibekukan, KPK juga tidak bisa diselidiki oleh lembaga politik seperti DPR. Jaminan independensi KPK diatur dalam Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 dan UU Nomor 30/2002 tentang KPK.

Mencari-cari Kesalahan

Meskipun bukan kewenangan DPR, lembaga politik itu bergeming seluruh kehendak po­litik dikerahkan untuk menjatuhkan KPK. Jika kehendak politik untuk merusak citra KPK dikerahkan, perkara-perkara kealpaan yang bersifat manusiawi pun bisa diperbesar sebagai kesalahan organisasi. Apalagi jika ”goreng” untuk mencapai tujuan akhir untuk membekukan atau memperlemah KPK.

Lawan KPK kali ini cukup cerdik. Kuat dugaan seluruh pihak yang tidak menyukai KPK ditarik untuk berperan merusak citra lembaga anti-rasuah itu. Keterlibatan kepolisian, kejaksaan, hakim, dan lainnya juga memperlihatkan bahwa KPK sedang sendirian. Padahal jika kita jujur bercermin diri, masih banyak lembaga negara lain yang lebih buruk dari KPK. Lalu, pernahkah lembaga itu diangket DPR? Apa sebabnya harus KPK?

Bahkan, jika teliti mengamati, DPR pun kerap pula menyalahi undang-undang yang mereka buat sendiri. Contoh menarik, dalam kasus pelantikan Sekretaris Jenderal DPR Achmad Djuned oleh Ketua DPR Setya Novanto yang tidak sesuai prosedur seleksi terbuka berdasarkan ketentuan UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebagai bagian dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), pelantikan Sekjen DPR itu mengabaikan pelaksanaan undang-undang. Bukankah Kementerian PAN-RB jelas bagian dari eksekutif, lalu apa sebabnya proses tersebut tidak pernah diangket DPR?

Lalu, kenapa hanya KPK yang diangket DPR? Bukan tidak mungkin kebencian terhadap KPK menjadikan alasan logis dan ketentuan undang-undang tidak diperlukan bagi Pansus Angket. Banyak fakta penting yang diabaikan DPR. Misalnya, Pansus Angket seperti sengaja mengabaikan kehadiran Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman yang tidak ber­dasarkan prosedur semestinya.

Bukankah dalam hukum ketidaktaatan terhadap prosedur membuat sebuah tindakan bisa dinyatakan batal demi hukum. Seluruh keterangan Dirdik KPK itu tidak ada nilainya di mata hukum. Bukankah pansus hendak menertibkan pelaksanaan hukum dan prosedur di KPK, tetapi kenapa dengan cara tidak menaati prosedur hukum.

Saya dan tentu juga publik merasakan betapa KPK memang sedang diobok-obok dari segala lini oleh berbagai pihak. Jika terhadap pihak-pihak yang menyerang KPK itu dibukakan pula posko pengaduannya terhadap penyimpangan kinerja mereka, bukan tidak mungkin laporan terhadap mereka akan membludak.

Beranikah DPR membuka posko pengaduan terhadap lembaga-lembaga negara lainnya itu, terutama aparat penegak hukumnya agar dengan demikian hak angket terhadap mereka bisa dilakukan. Jika DPR tidak sudi, rakyat bisa membentuk panitia khusus untuk melakukan angket terhadap kinerja DPR pula.

Tentu Pansus Rakyat meng­angket DPR ini tidak ada undang-undangnya, tapi sebagai pemilik kedaulatan berdasarkan UUD 1945, tidak ada salahnya sekali-kali publik yang mengangket kinerja DPR. Jika bermasalah rakyat dapat meminta agar DPR dibekukan alias ditarik mandat oleh rakyat. Apalagi tugas utama DPR membuat undang-undang tidak pernah maksimal.

Salah dari Awal

Pansus Angket sudah dibentuk dengan salah dari awal. Pasal 79 ayat (3) UU MD3 tidak memberi wewenang kepada DPR untuk menyelidiki lembaga independen. Ada pakar memang yang menyebutkan bahwa cabang kekuasaan negara hanya ada tiga, yaitu ekse­kutif, legislatif, dan yudikatif. Bagi mereka, KPK adalah cabang kekuasaan eksekutif.

Padahal teori yang hanya membagi cabang kekuasaan negara menjadi hanya tiga adalah teori ”kuno” Montesquieu pada 1748 dalam bukunya De l’Esprit des loix (The Spirit of Law). Teori itu merupakan antitesis dari teori cabang kekuasaan tunggal di tangan raja. Teori Montesquieu yang dikenal sebagai sepation of powers itu telah ketinggalan zaman.

Saat ini, bacaan wajib pembagian cabang-cabang kekuasaan modern telah berkembang. Salah satunya artikel Bruce Ackerman berjudul the new separation of powers (pemisahan cabang kekuasaan negara yang baru) yang diterbitkan Harvard Law Review pada 2000. Salah satu pembagian cabang kekuasaan menurut Ackerman adalah lembaga berintegritas/ independen. Dalam cabang kekuasaan inilah posisi KPK berada.

Jika masih ada pakar tata negara menggunakan teori Montesquieu untuk melihat posisi KPK, sungguh mereka menganut paham klasik yang sudah sangat jauh tertinggal. Tapi, sebagai pendapat ilmiah tentu pemahaman klasik itu tetap bisa dimengerti keber­adaannya.

Kalau DPR memaksa bahwa mereka lebih mempercayai konsep paham klasik pada tahun 1748 tersebut juga tidak apa-apa, namanya juga pendapat. Namun, tidak berarti lolos dari ketentuan Pasal 79 itu, keberadaan pansus sah. Masih terdapat kesalahan lain pembentukan pansus. Setidaknya pembentukan Pansus Angket masih menyalahi dua prosedur yang ditentukan dalam Pasal 199 ayat (3) dan Pasal 201 ayat (2) UU MD3.

Kedua pasal tersebut mengharuskan pembentukan pansus dengan cara voting dan diisi oleh seluruh fraksi partai politik yang ada. Faktanya, Pansus Angket tidak dibentuk berdasarkan voting sebagaimana layaknya (contohnya, voting UU Pemilu Nomor 7/2017) dan tidak diisi oleh seluruh perwakilan anggota fraksi. Jika tidak memenuhi dua pasal ini, Pansus Angket KPK sesungguhnya tidak perlu dianggap pernah ada.

Pembentukan pansus yang tidak taat hukum dan prosedur itu menyebabkan segala proses dilakukan pansus cenderung dipaksakan dan menyimpang dari penalaran hukum yang wajar. Misalnya, pansus memanggil pihak-pihak berstatus terpidana KPK. Tentu terpidana tersebut tidak menyukai KPK.

Langkah-langkah pansus yang berseberangan dengan prinsip-prinsip hukum itu membuka ruang pertanyaan yang luas, yaitu kenapa pula KPK yang hendak dibekukan/ dilemahkan/direvisi undang-undangnya, bukankah Pansus Angket yang lebih banyak me­langgar hukum pembentukannya? Lalu bisakah Pansus Angket dibekukan? Jawabannya ada di ”hati nurani” para hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi atau rakyat berkeinginan untuk menjalankan kehendaknya membekukan Pansus Angket tersebut.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0598 seconds (0.1#10.140)