Mengusik Jiwa yang Tenang

Sabtu, 09 September 2017 - 08:01 WIB
Mengusik Jiwa yang Tenang
Mengusik Jiwa yang Tenang
A A A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia untuk Advokasi, Media, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkeh buat Kesehatan

DI semua hotel ada peringatan ”Don’t Disturb”, Maksudnya kita dilarang mengganggu ketenangan. Peringatan itu dipasang di pintu suatu kamar, tanda penghuni kamar tersebut tak mau diganggu, terutama oleh petugas kebersihan.

Petugas boleh masuk ke kamar itu dan merapikan ini dan itu nanti kalau penghuni tadi sudah berkenan. Kapan dia berkenan, itu sepenuhnya urusan penghuni kamar tersebut. Privacy merupakan hak yang harus dihormati. Dan kita tahu bagaimana harus berperilaku.

Di depan sebuah ruangan, mungkin kantor, mungkin hotel atau tempat lain, kita jumpai tulisan: sedang ada meeting. Ini bukan iklan supaya kita tertarik pada ‘meeting’ tersebut, melainkan juga peringatan agar kita tidak berisik dan tak mengganggu ketenangan. ”Sedang ada meeting”, berita yang begitu datar itu ternyata peringatan—boleh ditambah keras—agar kita tak mengusik kegiatan orang-orang yang ada di dalam kamar tersebut.

Judul ”mengusik jiwa yang tenang” untuk esai ini pun bukan kalimat yang sudah selesai. Dia akan menjadi kalimat lengkap dan selesai tuntas kalau susunannya menjadi: jangan mengusik jiwa yang tenang. Atau, mengapa orang itu tiba-tiba saja mengusik jiwa orang yang sudah begitu tenang? Jiwa yang tenang tak mengancam siapa-siapa dan bukan ancaman bagi siapa pun. Mengapa diusiknya juga?

Dan jiwa itu jiwa Gus Dur, seorang intelektual, aktivis, kiai, politisi, pemikir, mantan presiden, dan kita tahu sejak lama tokoh ini memperoleh gelar wali dan sesudah wafatnya, kewalian itu dikukuhkan. Gus Dur seorang wali. Sebutan lengkapnya ”waliulllah”.

Di dalam dunia modern seperti ini orang yang tak mengerti ujung pangkalnya wali dan kewalian boleh saja tak percaya bahwa Gus Dur itu wali. Pada mulanya Dawam Rahardjo, orang Muhammadiyah yang tak terlalu menaruh perhatian akan fungsi wali dalam kehidupan ini, menentang kewalian Gus Dur.

Tapi kabarnya, sesudah Gus Dur wafat, Dawam Rahardjo berubah pendirian: dia mengakui dengan takzim bahwa benar Gus Dur itu wali. Ada pihak lain lagi yang sinis terhadap kewalian Gus Dur, dan menolak dengan ungkapan: jangan menambah-nambah rukun iman. Maksudnya kita wajib percaya pada rukun iman, tapi sebaiknya tak usah percaya pada kewalian Gus Dur.

Ini penolakan. Tapi sejumlah teman seperjuangan Gus Dur yang tak mau mengikuti pendirian kaum nahdliyin tentang wali dan kewalian—wabilkhusus tentang kewalian Gus Dur—akhirnya pada terpesona, dan tak punya kata-kata lagi ketika Gus Dur, di saat wafatnya, dinaikkan ke maqam yang tinggi, menjadi wali yang begitu menakjubkan.

Sebagian kaum muslim bersikap hening tiap saat kita berbicara tentang wali, misalnya tentang Kanjeng Sunan Kalijaga. Beliau memiliki murid-murid yang tak terhitung jumlahnya. Hingga hari ini para murid—orang-orang yang meneruskan kearifan dan ilmu-ilmu Kanjeng Sunan, atau aliran Sunan Kalijaga—tampaknya merupakan pengikut fanatik yang tak mau mendengar orang lain meremehkan beliau.

Cobalah—kalau mau mencari penyakit—iseng-iseng ejek atau hina Kanjeng Sunan Kalijaga, niscaya orang itu bakal berhadapan dengan kekuatan dahsyat tak terhingga. Jadi sebaiknya—kalau mau hidup aman dan tenteram—janganlah mencoba berbuat begitu.

Adapun orang yang berani menghina Gus Dur, tanpa ba tanpa bu, tiba-tiba menghina dan melecehkan beliau begitu saja, apakah kira-kira persoalan kejiwaan yang dideritanya? Ini urusan politik dan yang bersangkutan siap menghadapi kemarahan politik? Atau persoalan organisasi keagamaan, NU? Apa masalahnya? Dan mengapa Gus Dur yang dijadikan pancingan untuk menanti reaksi kaum nahdliyin?

Gus Dur itu ”pepunden” orang banyak. Maksudnya sangat dihormati umat. Adakah kesengajaan yang memang diperhitungkan baik-baik? Di muka bumi ini ada yang namanya Gus Durian, komunitas kaum muda NU yang dengan khusyuk merawat pemikiran Gus Dur dalam wilayah yang begitu luas: agama, politik, kebudayaan, kesenian, feminisme, warisan Gus Dur yang harus dipelihara dengan baik.

Kita bisa bicara mengenai perkara ini dengan rasa bangga: dari NU untuk Indonesia. Di antara mereka ini umumnya pemikir rasional, muda, mendalam, dan punya masa depan gemilang. Mereka mengagumi tapi dengan sikap kritis terhadap pemikiran Gus Dur dan siap menyampaikan pemikiran alternatif. Namun, mereka tak begitu berbahagia mendengar Gus Dur diperlakukan buruk oleh pihak lain. Kalau mereka tersinggung, apa yang bakal terjadi, sulit diduga.

Di lingkungan Banser banyak kaum muda yang menaruh rasa hormat kepada Gus Dur. Sebagian mereka merupakan pendukung fanatik yang lebih cepat bereaksi—tanpa perlu berpikir ruwet—jika ada orang lain melecehkan Gus Dur. Mungkin baik juga diingat, ketika Gus Dur bersitegang dengan kekuatan politik lain, ada barisan berani mati yang siap sedia membela Gus Dur.

Mereka diredam dan didinginkan oleh Gus Dur sendiri, dan padamlah seketika api kemarahan mereka. Tapi jangan lupa mereka ini masih ada. Kecuali itu ada Pagar Nusa, kekuatan NU yang mengasah keterampilan fisik dengan pencak silat dilengkapi tenaga dalam dan kemampuan lain di bidang spiritual yang sangat andal menghadapi siapa pun.

Mereka pun sangat loyal dan siap membela Gus Dur. Mungkin tak boleh dilupakan pula bahwa di belakang Gus Dur ada kiai-kiai kho1s, dan sebagian kiai tarekat yang ilmunya tak terukur. Mereka pun loyal dan sayang pada Gus Dur. Dengan kata lain, pagar Gus Dur luar biasa kokoh, rapat, fisik dan mental, lahir dan batin, politik dan agama, maupun segenap permainan kasar dan halus.

Pendek kata, pagar Gus Dur meliputi berbagai kekuatan dan mengapa orang sampai tak tahu-menahu akan hal ini dan berani-beranian berspekulasi menghina beliau? Kekuatan kaum muda yang terampil bermain IT sudah pernah terbukti mampu menangkap semua pihak yang melecehkan Kiai Mustofa Bisri. Mereka tertangkap dan dihadapkan dengan beliau untuk diberi nasihat tentang hidup dengan tata karma dan sopan santun. Dengan kekuatan kaum muda ini persoalan mudah diatasi. Mungkin persoalan orang yang menghina Gus Dur itu pun akan begitu jadinya.

Sejak beberapa hari ini media sosial dibuat sibuk oleh penghinaan itu dan pelan-pelan rasa tersinggung meluas. Ini menjadi persoalan nasional karena jumlah warga NU yang begitu besar. Kalau kaum muda yang ahli IT bergerak, urusan bakal segera dibikin beres. Kalau ini urusan politik harus diselesaikan secara politik. Kalau urusan hukum, biarkanlah di negara hukum ini mekanisme hukum yang mengatur dengan baik.

Sisanya, kalau ada yang terasa tidak adil, kaum nahdliyin tak akan tinggal diam. Hingga hari ini kaum nahdliyin sudah menunjukkan rasa kecewa secara adil, tersinggung secara adil dan mungkin kemarahan secara adil pula. Mungkin Banser akan memantau persoalan ini dari jauh maupun dari dekat agar tak kehilangan sudut pandang keadilan yang sewajarnya. Tidak boleh ada yang tidak adil.

Mengusik jiwa yang tenang, yang sudah ”rest in peace”—apa lagi menyangkut Gus Dur yang memiliki barisan pendukung yang besar—bisa mengakibatkan banyak risiko. Urusannya bisa panjang. Mungkin bahkan panjang sekali.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0726 seconds (0.1#10.140)