Aksi Keprihatinan Rohingya

Kamis, 07 September 2017 - 07:53 WIB
Aksi Keprihatinan Rohingya
Aksi Keprihatinan Rohingya
A A A
Siang kemarin ribuan massa yang tergabung sebagai peserta Aksi Solidaritas Rohingya memadati Bundaran HI hingga Kedutaan Besar Myanmar di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat. Sepanjang aksi demonstrasi ribuan massa yang datang dari berbagai sudut ibu kota meneriakkan yel-yel cukup keras, seperti mengusir Myanmar dari Indonesia hingga pemutusan kerja sama Indonesia-Myanmar. Aksi yang diikuti berbagai lapisan organisasi ini menyita perhatian publik, mengingat aksi dilakukan pada hari kerja dan dengan jumlah massa yang besar. Tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di negara bagian Rakhine menjadi isu terpanas kedua setelah kemerdekaan Palestina yang disikapi oleh berbagai kelompok ormas di Tanah Air.

Memang hampir sepekan terakhir pengusiran etnis Rohingya dari wilayah Rakhine terus berlanjut hingga hari ini. Puluhan ribu orang Rohingya mengungsi ke berbagai negara di kawasan ASEAN, terutama ke negara tetangga terdekat, yaitu Bangladesh dan Thailand. Ribuan pengungsi yang telah berada di perbatasan Shamlapur rela menanti berhari-hari di penampungan itu hanya berbekal makanan dan minuman seadanya. Meski perbatasan ini menjadi pintu masuk Bangladesh, tapi pemerintah setempat baru akan memberikan bantuan makanan dan obat-obatan kepada para pengungsi bila mereka telah masuk ke wilayahnya. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi pengungsi di penampungan dengan segala bentuk keterbatasannya.

Tragedi kemanusiaan tersebut memang sangat memprihatinkan di tengah upaya Myanmar bertransformasi menjadi negara demokrasi. Etnis Rohingya yang mayoritas adalah muslim ikut menjadikan isu ini lebih diartikan sebagai konflik agama dan menutupi konflik sesungguhnya, yaitu perebutan lahan. Seperti diketahui, Rakhine merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar.

Keberadaan etnis Rohingya di atas tanah yang bernilai ekonomi tinggi itu menjadikan negara eks otoritarian ini menurunkan militer dalam membantu proses penyelesaiannya. Apa yang dilakukan militer Myanmar dalam perebutan lahan dilakukan bukan hanya terhadap etnis Rohingya saja, tetapi juga dilakukan terhadap kelompok minoritas lainnya. Seperti yang terjadi pada tahun 2012 lalu, latar belakang serangan militer terhadap etnis Rohingya adalah untuk menguasai lahan yang diambil alih proyek pemerintah. Masalah lain yang terjadi di Rakhine adalah hadirnya kelompok militan Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) sebagai kelompok penentang militer Myanmar. Kelompok inilah yang beberapa waktu lalu menyerang pos-pos polisi dan pangkalan militer di Rakhine.

Menyikapi konflik cukup pelik di Myanmar, khususnya yang dihadapi etnis Rohingya, membutuhkan kelincahan dalam berdiplomasi. Meski jutaan orang Indonesia melakukan aksi demonstrasi mengecam Myanmar, tapi melakukan tekanan yang keras hingga berujung sulitnya diplomasi dalam menyalurkan bantuan justru akan memperburuk keadaan. Posisi Pemerintah Indonesia dalam melakukan diplomasi dari hulu Myanmar hingga ke hilir di Bangladesh, harus mendapatkan dukungan masyarakat, mengingat segala bentuk bantuan hanya dapat disalurkan melalui kerja sama yang baik antarnegara. Patut diapresiasi pula langkah Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang berhasil menawarkan solusi konflik disebut Formula 4+1 kepada Konselor Myanmar Aung San Suu Kyi dan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jendral U Ming Aung Hlaing pada Selasa (5/9) lalu. Pertemuan Menlu Retno dengan kedua pejabat Myanmar tersebut sekaligus menjadikan Indonesia sebagai jembatan negara-negara ASEAN untuk penyelesaian konflik.

Kini hampir seluruh elemen masyarakat Indonesia bersama-sama mengulurkan tangan dan memberikan bantuan dalam bentuk apa pun untuk meringankan beban para pengungsi Rohingya. Aksi solidaritas yang digalang mulai dari tingkat sekolah hingga organisasi kemasyarakatan ini menjadi bukti solidaritas masyarakat Indonesia sangat tinggi terhadap kaum yang tertindas oleh kekuasaan militer Myanmar. Aksi demonstrasi massa dan aksi penggalangan dana masyarakat menjadi pelengkap kekuatan diplomasi Indonesia untuk mendorong proses demokrasi yang baik di Myanmar, terutama di Rakhine. Semoga saja berbagai bentuk aksi keprihatinan ini bisa mengubah Aung San Suu Kyi yang pernah menerima Nobel Perdamaian segera mengakhiri sikap diamnya terhadap pembantaian etnis di wilayahnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5514 seconds (0.1#10.140)