Dua Lembaga Pemerhati Pemilu Gugat Presidential Threshold ke MK
A
A
A
JAKARTA - Dua lembaga pemerhati pemilu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, mengajukan gugatan salah satu pasal dalam Undang-Undang (UU) 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka menguggat Pasal 222 tentang ambang batas presiden dan wakil presiden (presidential threshold), karena dianggap bertentangan dengan pelaksanaan Pemilu 2019 yang berlangsung serentak.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menjelaskan, latar belakang digugatnya Pasal 222 UU 7/2017 itu, karena menganggap aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 6A Ayat 2.
"Jadi kami anggap keberadaannya inkonstitusional," kata Titi usai mendaftarkan gugatan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (6/9/2017).
Titi mengatakan, sepatutnya dalam setiap pelaksanaan pemilu aturan yang dibuat harus mengedepankan aspek adil, jujur dan konstitusional. Namun yang terjadi ketiga syarat ini tidak dimiliki oleh pasal 222 sehingga wajib untuk digugat.
"Kita berharap MK dapat meluruskan pasal ini sehingga betul-betul kita punya aturan main kepemiluan yang sesuai," ucap Titi.
Titi tidak mempersoalkan telah banyaknya pihak yang terlebih dahulu menguggat pasal tersebut ke MK. Justru dia semakin yakin dengan banyaknya pihak yang menggugat membuktikan ada yang tidak beres dari pembuat UU saat merumus dan mengesahkan aturan tersebut.
"Kalau banyak pihak yang menganggap UU pemilu bertentangan dengan konstitusi maka sebetulnya upaya untuk mendapatkan pemilu terlegitimasi semakin sulit," tuturnya.
Mereka menguggat Pasal 222 tentang ambang batas presiden dan wakil presiden (presidential threshold), karena dianggap bertentangan dengan pelaksanaan Pemilu 2019 yang berlangsung serentak.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menjelaskan, latar belakang digugatnya Pasal 222 UU 7/2017 itu, karena menganggap aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 6A Ayat 2.
"Jadi kami anggap keberadaannya inkonstitusional," kata Titi usai mendaftarkan gugatan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (6/9/2017).
Titi mengatakan, sepatutnya dalam setiap pelaksanaan pemilu aturan yang dibuat harus mengedepankan aspek adil, jujur dan konstitusional. Namun yang terjadi ketiga syarat ini tidak dimiliki oleh pasal 222 sehingga wajib untuk digugat.
"Kita berharap MK dapat meluruskan pasal ini sehingga betul-betul kita punya aturan main kepemiluan yang sesuai," ucap Titi.
Titi tidak mempersoalkan telah banyaknya pihak yang terlebih dahulu menguggat pasal tersebut ke MK. Justru dia semakin yakin dengan banyaknya pihak yang menggugat membuktikan ada yang tidak beres dari pembuat UU saat merumus dan mengesahkan aturan tersebut.
"Kalau banyak pihak yang menganggap UU pemilu bertentangan dengan konstitusi maka sebetulnya upaya untuk mendapatkan pemilu terlegitimasi semakin sulit," tuturnya.
(maf)