Suu Kyi, Lincoln, dan Kekuasaan
A
A
A
AKHIRNYA memang banyak yang mempertanyakan sikap diam Konselor Negara Republik Persatuan Myanmar Aung San Suu Kyi terhadap tragedi kemanusiaan kelompok Rohingnya di Rakhine State, Myanmar.
Suu Kyi yang dulu sangat lantang menyuarakan demokrasi dan kemanusiaan atas upaya represif junta militer di Myanmar, seolah berubah pandangan tentang tragedi kemanusiaan di negaranya. Raihan Nobel Perdamaian yang pernah dia dapat pun dipertanyakan dan tidak sedikit yang meminta untuk dicopot.
Entah kenapa dan apa yang sebenarnya terjadi di balik aksi diam terhadap tragedi yang menyedot perhatian mata dunia. Namun, apa pun alasannya, pandangan masyarakat dunia terhadap Suu Kyi telah berubah.
Suu Kyi adalah sosok aktivis perempuan yang terus meneriakkan demokrasi dan anti-kekerasan. Orang tua Suu Kyi adalah tokoh kemerdekaan di Myanmar (dulu Burma) dan meninggal ketika tengah merundingkan kemerdekaan. Ibunya yang diplomat membuat Suu Kyi mengenyam pendidikan dan pengetahuan di luar negeri.
Bagi perempuan kelahiran 19 Juni 1945 ini, urusan negara harus didahulukan dibandingkan kepentingan pribadi. Suu Kyi selalu berkampanye menentang kekerasan terhadap perempuan dan aksi kekerasan terhadap militer Inggris. Karena penentangan keras terhadap junta militer, Suu Kyi menjadi tahanan rumah sejak 20 Juli 1989. Dia dilarang bertemu keluarganya, termasuk beberapa keluarga dia yang berada di London, Inggris.
Karena perlawanan yang tak kenal lelah melalui Partai National League for Democracy (NLD) yang dia pimpin, dia memenangkan 82% kursi parlemen pada 1990. Pada 1991 dia menerima Nobel Perdamaian karena menggaungkan demokrasi di negaranya tanpa kekerasan.
Setelah menapaki karier politik yang mapan, justru sosok Suu Kyi yang dulu, tak terlihat ketika harus berhadapan dengan tragedi kaum Rohingya. Ada benarnya ungkapan Presiden Amerika Serikat (AS) Abraham Lincoln untuk menilai karakter dari seorang aktivis, yaitu hampir semua orang bisa menghadapi kesengsaraan, tetapi jika Anda ingin menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan.
Jika mengacu kepada pernyataan Lincoln, karakter Suu Kyi yang sebenarnya adalah saat ini, bukan saat dia memperjuangkan demokrasi di Myanmar pada era 1990-an. Bisa jadi, ketika masih menjadi aktivis yang berseberangan dengan penguasa, itu bukan karakter Suu Kyi yang asli.
Saat ini, ketika sikap diam Suu Kyi muncul, mungkin ini sikap asli Suu Kyi yang tidak peduli dengan demokrasi dan aksi kekerasan. Memang sangat disayangkan perubahan sikap atau bahkan pikiran Suu Kyi tentang demokrasi terkait dengan tragedi Rohingya.
Sikap diam dia memang mengundang kegelisahan bahkan kemarahan semua pihak di dunia. Semestinya, sebagai aktivis demokrasi, Suu Kyi bisa bersuara atau bahkan memberikan jalan keluar bagi tragedi kemanusiaan yang melibatkan negaranya.
Apakah memang kekuasaan telah mengubah pandangan atau sikap seseorang? Apakah kekuasaan telah mengubah harimau menjadi kucing? Logika awam yang terjadi memang kekuasaan telah membungkam suara lantang Suu Kyi terkait demokrasi dan anti-kekerasan. Saat ini suara Suu Kyi soal tragedi Rohingya tengah ditunggu banyak pihak di dunia.
Kita tentu patut mengambil pelajaran dari pernyataan Lincoln dan apa yang terjadi pada Suu Kyi. Banyak aktivis, politisi, atau partai politik baru atau bahkan para oposan yang saat ini lantang mengkritik pemerintah yang sudah berkuasa.
Apakah ini memang karakter asli dari mereka? Belum tentu jika berkaca pada pernyataan Lincoln. Di Indonesia telah banyak bukti yang menunjukkan, betapa dulu seorang aktivis, politisi, atau parpol baru yang belum mendapatkan kekuasaan berubah sikap dan pandangan 180 derajat ketika memiliki kekuasaan.
Kekuasaan adalah ujian besar bagi para aktivis, politisi, dan parpol baru dalam membangun bangsa ini. Jika terbuai dengan kekuasaan yang ada, maka suara lantang yang dulu dimiliki menjadi hilang atau sirna. Banyak kasus di negeri ini dan kasus Suu Kyi adalah contoh nyata bahwa kekuasaan bisa mengubah atau menunjukkan karakter seseorang yang sebenarnya dan seutuhnya.
Suu Kyi yang dulu sangat lantang menyuarakan demokrasi dan kemanusiaan atas upaya represif junta militer di Myanmar, seolah berubah pandangan tentang tragedi kemanusiaan di negaranya. Raihan Nobel Perdamaian yang pernah dia dapat pun dipertanyakan dan tidak sedikit yang meminta untuk dicopot.
Entah kenapa dan apa yang sebenarnya terjadi di balik aksi diam terhadap tragedi yang menyedot perhatian mata dunia. Namun, apa pun alasannya, pandangan masyarakat dunia terhadap Suu Kyi telah berubah.
Suu Kyi adalah sosok aktivis perempuan yang terus meneriakkan demokrasi dan anti-kekerasan. Orang tua Suu Kyi adalah tokoh kemerdekaan di Myanmar (dulu Burma) dan meninggal ketika tengah merundingkan kemerdekaan. Ibunya yang diplomat membuat Suu Kyi mengenyam pendidikan dan pengetahuan di luar negeri.
Bagi perempuan kelahiran 19 Juni 1945 ini, urusan negara harus didahulukan dibandingkan kepentingan pribadi. Suu Kyi selalu berkampanye menentang kekerasan terhadap perempuan dan aksi kekerasan terhadap militer Inggris. Karena penentangan keras terhadap junta militer, Suu Kyi menjadi tahanan rumah sejak 20 Juli 1989. Dia dilarang bertemu keluarganya, termasuk beberapa keluarga dia yang berada di London, Inggris.
Karena perlawanan yang tak kenal lelah melalui Partai National League for Democracy (NLD) yang dia pimpin, dia memenangkan 82% kursi parlemen pada 1990. Pada 1991 dia menerima Nobel Perdamaian karena menggaungkan demokrasi di negaranya tanpa kekerasan.
Setelah menapaki karier politik yang mapan, justru sosok Suu Kyi yang dulu, tak terlihat ketika harus berhadapan dengan tragedi kaum Rohingya. Ada benarnya ungkapan Presiden Amerika Serikat (AS) Abraham Lincoln untuk menilai karakter dari seorang aktivis, yaitu hampir semua orang bisa menghadapi kesengsaraan, tetapi jika Anda ingin menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan.
Jika mengacu kepada pernyataan Lincoln, karakter Suu Kyi yang sebenarnya adalah saat ini, bukan saat dia memperjuangkan demokrasi di Myanmar pada era 1990-an. Bisa jadi, ketika masih menjadi aktivis yang berseberangan dengan penguasa, itu bukan karakter Suu Kyi yang asli.
Saat ini, ketika sikap diam Suu Kyi muncul, mungkin ini sikap asli Suu Kyi yang tidak peduli dengan demokrasi dan aksi kekerasan. Memang sangat disayangkan perubahan sikap atau bahkan pikiran Suu Kyi tentang demokrasi terkait dengan tragedi Rohingya.
Sikap diam dia memang mengundang kegelisahan bahkan kemarahan semua pihak di dunia. Semestinya, sebagai aktivis demokrasi, Suu Kyi bisa bersuara atau bahkan memberikan jalan keluar bagi tragedi kemanusiaan yang melibatkan negaranya.
Apakah memang kekuasaan telah mengubah pandangan atau sikap seseorang? Apakah kekuasaan telah mengubah harimau menjadi kucing? Logika awam yang terjadi memang kekuasaan telah membungkam suara lantang Suu Kyi terkait demokrasi dan anti-kekerasan. Saat ini suara Suu Kyi soal tragedi Rohingya tengah ditunggu banyak pihak di dunia.
Kita tentu patut mengambil pelajaran dari pernyataan Lincoln dan apa yang terjadi pada Suu Kyi. Banyak aktivis, politisi, atau partai politik baru atau bahkan para oposan yang saat ini lantang mengkritik pemerintah yang sudah berkuasa.
Apakah ini memang karakter asli dari mereka? Belum tentu jika berkaca pada pernyataan Lincoln. Di Indonesia telah banyak bukti yang menunjukkan, betapa dulu seorang aktivis, politisi, atau parpol baru yang belum mendapatkan kekuasaan berubah sikap dan pandangan 180 derajat ketika memiliki kekuasaan.
Kekuasaan adalah ujian besar bagi para aktivis, politisi, dan parpol baru dalam membangun bangsa ini. Jika terbuai dengan kekuasaan yang ada, maka suara lantang yang dulu dimiliki menjadi hilang atau sirna. Banyak kasus di negeri ini dan kasus Suu Kyi adalah contoh nyata bahwa kekuasaan bisa mengubah atau menunjukkan karakter seseorang yang sebenarnya dan seutuhnya.
(rhs)