Menagih Peran ASEAN Dalam Kasus Rohingya
A
A
A
Reza Zaki
Dosen Hukum Universitas Bina Nusantara
DI usia ASEAN yang sudah memasuki usia emasnya, yakni 50 tahun jatuh pada 8 Agustus 2017 silam, ternyata masih menyisakan persoalan serius terutama pada pilar politik dan keamanan dari total tiga pilar yang dimiliki ASEAN. ASEAN Way yang berbasis pada orientasi kepada rakyat (people oriented) ternyata belum sepenuhnya terealisasi karena ada beberapa ketegangan domestik di negara-negara ASEAN yang masih berlangsung, salah satunya kasus Rohingya, Myanmar.
Bermula ketika surat kabar The New Light of Myanmar edisi 4 Juni 2012 melaporkan satu berita mengenai pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis oleh tiga orang pemuda. Para pemuda ini dikaitkan dengan kelompok muslim Rohingya yang berpenduduk satu juta orang.
Namun, benarkah motif kemanusiaan di Rohingya murni agama? Menurut South Asia Democratic Forum (2016), kasus di Rohingya ini justru melekat pada persoalan politis dan ekonomis. Dari sisi geografis, penduduk Rohingya adalah sekelompok penganut muslim yang jumlahnya sekitar satu juta orang dan tinggal di negara bagian Rakhine. Wilayah Rakhine juga ditempati oleh masyarakat yang mayoritas memeluk agama Budha.
Rakhine dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Tetapi hal itu menjadi timpang ketika pada kenyataannya tingkat kemiskinan di sana ternyata tinggi. Mayoritas warga Rakhine menilai Rohingya sebagai saingan dalam hal mencari pekerjaan maupun kesempatan untuk berwirausaha.
Dari permasalahan politik, warga Rakhine merasa jika kaum Rohingya telah mengkhianati mereka karena tidak memberikan suara bagi partai politik mayoritas penduduk setempat. Hal ini diperburuk oleh sikap Pemerintah Myanmar yang bukannya mendorong rekonsiliasi, tetapi malah mendukung kelompok fundamentalis Budha.
Umat Budha di dunia mengutuk kekerasan yang dilakukan kelompok garis keras di Myanmar. Tahun 2014 lalu, Dalai Lama meminta umat Budha menghentikan kekerasan di Myanmar dan Sri Lanka. Bahkan, pada akhir tahun 2017 nanti, untuk pertama kalinya Paus Fransiskus pemimpin Vatikan dan 1,2 miliar umat Katolik ini akan bertandang ke Myanmar karena merasa peduli terhadap krisis kemanusiaan di negeri tersebut.
Ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kehilangan kendali untuk bisa terlibat dalam melakukan rekonsiliasi pada kasus Rohingya, kemudian justru gerakan komunitas internasional yang dipelopori para pemuka agama mulai bergerak secara autopilot. Kini kita menagih peran ASEAN sebagai komunitas formal negara-negara sekawasan untuk bisa mengambil peran taktis menyudahi konflik domestik di Myanmar.
Sudah sangat jelas bahwa kasus Rohingya ini melanggar Pasal 6 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional yang mengatur mengenai Genosida. Pada Pasal 6 ini dijelaskan bahwa Genosida berarti "Setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan".
Bahkan pada Pasal 4 Konvensi Tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida juga dijelaskan bahwa "Orang-orang yang melakukan genosida atau setiap dari perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3 harus dihukum, apakah mereka adalah para penguasa yang bertanggung jawab secara konstitusional, para pejabat negara, atau individu-individu biasa ".
Dari kedua pasal tersebut sangat jelas bahwa krisis kemanusiaan di Myanmar masuk ke dalam kategori genosida. Krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar tidak hanya melibatkan warga sipil setempat, tapi juga kekuatan militer negara. Sikap permisif Au San Suu Kyi menegaskan Pemerintah Myanmar ikut terlibat dalam penindasan kelompok minoritas Rohingya.
Menurut teori pertanggungjawaban negara ada unsur yang terpenuhi berdasarkan hukum internasional, yakni ada perbuatan atau kelalaian (act or omission) yang bisa dipertautkan (imputable) kepada suatu negara. Seperti halnya dalam Pasal 24 Konvensi Eropa tentang Hak-hak Asasi Manusia menyatakan bahwa "Setiap negara peserta diperbolehkan mengajukan keberatan terhadap negara peserta lain tanpa mengharuskan negara yang mengajukan keberatan itu sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara yang dituduh melakukan pelanggaran tersebut ".
ASEAN semestinya memiliki peran lebih jauh dalam merekonsiliasi krisis kemanusiaan di Myanmar yang sudah berjalan hingga lima tahun ini. Sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada pertemuan ulang tahun ASEAN ke-50 tahun di Laos beberapa waktu lalu bahwa "ASEAN wajib menjaga perdamaian di rumah masing-masing".
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga menuturkan; "Untuk itu, kita memerlukan arsitektur keamanan kawasan yang kokoh, yang komprehensif, yang memajukan sentralitas ASEAN, dan berkontribusi lebih efektif bagi keamanan dan stabilitas kawasan."
Prinsip nonintervensi ASEAN tidak berlaku pada kasus krisis kemanusiaan seperti ini. Posisi kelompok negara ASEAN harus menunjukkan sikap atas tewasnya lebih dari 1.000 warga muslim Rohingya dan hampir 500.000 warga eksodus ke Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Bangladesh.
Pemerintah Malaysia dan Indonesia sejak tahun 2012 sudah melayangkan protes keras terhadap pemerintahan Au San Suu Kyi. Namun, orang nomor satu di Myanmar itu terus berdalih bahwa tidak terjadi krisis kemanusiaan sebagaimana yang diperbincangkan dunia internasional. Sering kali bantuan luar negeri di embargo oleh Pemerintah Myanmar, akibatnya solusi tidak tercapai.
Peristiwa eksodusnya warga Rohingya ke beberapa negara tetangga di ASEAN juga bisa menimbulkan persoalan baru di masa depan seperti penyelundupan manusia dan kamuflase teroris. Pada akhirnya, ASEAN harus berani menggalang konsensus negara anggota untuk memberikan sanksi terhadap Myanmar, seperti larangan ekspor produk barang dan jasa mereka ke negara-negara ASEAN, penghentian hubungan diplomatik sementara dengan menarik para Duta Besar dari Myanmar, dan membuat pos-pos pengungsian sementara bagi warga Rohingya yang melakukan eksodus ke negara ASEAN.
Hal ini tentu akan mampu mengubah peta kebijakan Pemerintah Myanmar, karena ASEAN mampu membangun konsolidasi internal untuk menentang pelanggaran HAM di kawasan Asia Tenggara ini.
Dosen Hukum Universitas Bina Nusantara
DI usia ASEAN yang sudah memasuki usia emasnya, yakni 50 tahun jatuh pada 8 Agustus 2017 silam, ternyata masih menyisakan persoalan serius terutama pada pilar politik dan keamanan dari total tiga pilar yang dimiliki ASEAN. ASEAN Way yang berbasis pada orientasi kepada rakyat (people oriented) ternyata belum sepenuhnya terealisasi karena ada beberapa ketegangan domestik di negara-negara ASEAN yang masih berlangsung, salah satunya kasus Rohingya, Myanmar.
Bermula ketika surat kabar The New Light of Myanmar edisi 4 Juni 2012 melaporkan satu berita mengenai pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis oleh tiga orang pemuda. Para pemuda ini dikaitkan dengan kelompok muslim Rohingya yang berpenduduk satu juta orang.
Namun, benarkah motif kemanusiaan di Rohingya murni agama? Menurut South Asia Democratic Forum (2016), kasus di Rohingya ini justru melekat pada persoalan politis dan ekonomis. Dari sisi geografis, penduduk Rohingya adalah sekelompok penganut muslim yang jumlahnya sekitar satu juta orang dan tinggal di negara bagian Rakhine. Wilayah Rakhine juga ditempati oleh masyarakat yang mayoritas memeluk agama Budha.
Rakhine dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Tetapi hal itu menjadi timpang ketika pada kenyataannya tingkat kemiskinan di sana ternyata tinggi. Mayoritas warga Rakhine menilai Rohingya sebagai saingan dalam hal mencari pekerjaan maupun kesempatan untuk berwirausaha.
Dari permasalahan politik, warga Rakhine merasa jika kaum Rohingya telah mengkhianati mereka karena tidak memberikan suara bagi partai politik mayoritas penduduk setempat. Hal ini diperburuk oleh sikap Pemerintah Myanmar yang bukannya mendorong rekonsiliasi, tetapi malah mendukung kelompok fundamentalis Budha.
Umat Budha di dunia mengutuk kekerasan yang dilakukan kelompok garis keras di Myanmar. Tahun 2014 lalu, Dalai Lama meminta umat Budha menghentikan kekerasan di Myanmar dan Sri Lanka. Bahkan, pada akhir tahun 2017 nanti, untuk pertama kalinya Paus Fransiskus pemimpin Vatikan dan 1,2 miliar umat Katolik ini akan bertandang ke Myanmar karena merasa peduli terhadap krisis kemanusiaan di negeri tersebut.
Ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kehilangan kendali untuk bisa terlibat dalam melakukan rekonsiliasi pada kasus Rohingya, kemudian justru gerakan komunitas internasional yang dipelopori para pemuka agama mulai bergerak secara autopilot. Kini kita menagih peran ASEAN sebagai komunitas formal negara-negara sekawasan untuk bisa mengambil peran taktis menyudahi konflik domestik di Myanmar.
Sudah sangat jelas bahwa kasus Rohingya ini melanggar Pasal 6 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional yang mengatur mengenai Genosida. Pada Pasal 6 ini dijelaskan bahwa Genosida berarti "Setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan".
Bahkan pada Pasal 4 Konvensi Tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida juga dijelaskan bahwa "Orang-orang yang melakukan genosida atau setiap dari perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3 harus dihukum, apakah mereka adalah para penguasa yang bertanggung jawab secara konstitusional, para pejabat negara, atau individu-individu biasa ".
Dari kedua pasal tersebut sangat jelas bahwa krisis kemanusiaan di Myanmar masuk ke dalam kategori genosida. Krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar tidak hanya melibatkan warga sipil setempat, tapi juga kekuatan militer negara. Sikap permisif Au San Suu Kyi menegaskan Pemerintah Myanmar ikut terlibat dalam penindasan kelompok minoritas Rohingya.
Menurut teori pertanggungjawaban negara ada unsur yang terpenuhi berdasarkan hukum internasional, yakni ada perbuatan atau kelalaian (act or omission) yang bisa dipertautkan (imputable) kepada suatu negara. Seperti halnya dalam Pasal 24 Konvensi Eropa tentang Hak-hak Asasi Manusia menyatakan bahwa "Setiap negara peserta diperbolehkan mengajukan keberatan terhadap negara peserta lain tanpa mengharuskan negara yang mengajukan keberatan itu sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara yang dituduh melakukan pelanggaran tersebut ".
ASEAN semestinya memiliki peran lebih jauh dalam merekonsiliasi krisis kemanusiaan di Myanmar yang sudah berjalan hingga lima tahun ini. Sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada pertemuan ulang tahun ASEAN ke-50 tahun di Laos beberapa waktu lalu bahwa "ASEAN wajib menjaga perdamaian di rumah masing-masing".
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga menuturkan; "Untuk itu, kita memerlukan arsitektur keamanan kawasan yang kokoh, yang komprehensif, yang memajukan sentralitas ASEAN, dan berkontribusi lebih efektif bagi keamanan dan stabilitas kawasan."
Prinsip nonintervensi ASEAN tidak berlaku pada kasus krisis kemanusiaan seperti ini. Posisi kelompok negara ASEAN harus menunjukkan sikap atas tewasnya lebih dari 1.000 warga muslim Rohingya dan hampir 500.000 warga eksodus ke Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Bangladesh.
Pemerintah Malaysia dan Indonesia sejak tahun 2012 sudah melayangkan protes keras terhadap pemerintahan Au San Suu Kyi. Namun, orang nomor satu di Myanmar itu terus berdalih bahwa tidak terjadi krisis kemanusiaan sebagaimana yang diperbincangkan dunia internasional. Sering kali bantuan luar negeri di embargo oleh Pemerintah Myanmar, akibatnya solusi tidak tercapai.
Peristiwa eksodusnya warga Rohingya ke beberapa negara tetangga di ASEAN juga bisa menimbulkan persoalan baru di masa depan seperti penyelundupan manusia dan kamuflase teroris. Pada akhirnya, ASEAN harus berani menggalang konsensus negara anggota untuk memberikan sanksi terhadap Myanmar, seperti larangan ekspor produk barang dan jasa mereka ke negara-negara ASEAN, penghentian hubungan diplomatik sementara dengan menarik para Duta Besar dari Myanmar, dan membuat pos-pos pengungsian sementara bagi warga Rohingya yang melakukan eksodus ke negara ASEAN.
Hal ini tentu akan mampu mengubah peta kebijakan Pemerintah Myanmar, karena ASEAN mampu membangun konsolidasi internal untuk menentang pelanggaran HAM di kawasan Asia Tenggara ini.
(whb)