Gegap Gempita Freeport
A
A
A
Konferensi pers bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta Direktur Utama Freeport McMoran Richard Adkerson pada Selasa (29/8) di Gedung Kementerian ESDM sontak membuat geger republik ini. Sebab selama ini dalam beberapa bulan terakhir kita menyaksikan betapa alotnya negosiasi tertutup antara pemerintah dan Freeport. Bahkan masing-masing berkali-kali harus mengklarifikasi ke pers tentang berbagai isu mengenai negosiasi ini.
Konferensi pers tersebut menandakan bahwa pemerintah dan Freeport sudah mencapai kesepakatan dalam beberapa poin inti negosiasi. Beberapa hal disampaikan dalam konferensi pers tersebut. Namun tiga poin utama yang menjadi perhatian adalah (1) Freeport Indonesia sepakat untuk melakukan divestasi 51% saham kepada pihak Indonesia, (2) Freeport Indonesia berkomitmen membangun smelter dalam 5 tahun sampai Januari 2022 atau 5 tahun sejak izin usaha pertambangan khusus (IUPK) keluar, (3) Freeport Indonesia sepakat menjaga besaran penerimaan negara sehingga lebih baik bila dibandingkan dengan rezim kontrak karya (KK).
Sekilas memang sepertinya kita mendapatkan kemenangan luar biasa dalam negosiasi dengan Freeport. Poin-poin penting keinginan pemerintah akhirnya disepakati Freeport. Bahkan banyak yang melakukan selebrasi luar biasa dengan mengatakan kesepakatan ini adalah kemenangan pemerintah dan menandakan Freeport bertekuk lutut kepada pemerintah.
Namun kalau melihat lebih jauh, memang sudah seharusnya Freeport tunduk pada aturan Republik Indonesia. Selama ini masalah dengan Freeport muncul karena perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di dunia ini tidak comply dengan Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Minerba. Freeport memilih untuk bersikukuh berpegang pada kontrak karya kedua daripada mengikuti aturan IUPK yang diperkenalkan pemerintah untuk memaksimalkan keuntungan negara.
Pertama, divestasi 51% memang sudah diamanatkan bahkan oleh kontrak karya 2 pada 1991. Divestasi ini sendiri menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan akan merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Berdasarkan PP tersebut, divestasi saham sebesar 51% itu akan ditawarkan dengan urutan hak untuk membeli adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, swasta nasional, sampai kalau tidak juga terpenuhi 51% yang membeli akan masuk ke bursa.
Kedua, kesepakatan mengenai pembangunan smelter ibaratnya negara ini sangat berterima kasih ketika mendapatkan haknya yang merupakan kewajiban Freeport. Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Minerba sudah menekankan bahwa hilirisasi sumber daya mineral adalah hal mutlak dan diberikan dispensasi selama lima tahun untuk para penambang melakukan hilirisasi. Hingga tahun 2014 sudah sangat banyak perusahaan penambang sumber daya mineral yang melakukan hilirisasi, baik dengan melakukan pemurnian ke perusahaan yang ada di dalam negeri maupun membangun pemurnian (smelter) sendiri. Tentu mengherankan ketika di tahun 2017, yang berarti tiga tahun tertinggal dari amanat UU Nomor 4/2009, kita bergembira karena Freeport akan menyelesaikan pembangunan smelter agar semua hasil eksplorasinya bisa dimurnikan dalam lima tahun ke depan.
Ketiga, kesepakatan untuk menjaga besaran penerimaan negara sudah sewajarnya dilakukan. Semangat UU Nomor 4/2009 tentang Minerba adalah menjaga kedaulatan negara dan memperbesar penerimaan negara. Bahkan seharusnya sejak 2014 penerimaan negara bisa naik dari Freeport jika mengikuti IUPK dan sudah melakukan hilirisasi.
Sekarang kita tinggal menunggu realisasi kesepakatan pemerintah dan Freeport. Kedua pihak harus secepatnya menyelesaikan pekerjaan rumah mengenai detail kesepakatan. Pemerintah perlu hati-hati dan publik harus mengawasi. Sudah jamak dalam suatu negosiasi bisnis justru hal-hal detail yang dibicarakanlah yang menggagalkan progres yang sudah dilakukan.
Konferensi pers tersebut menandakan bahwa pemerintah dan Freeport sudah mencapai kesepakatan dalam beberapa poin inti negosiasi. Beberapa hal disampaikan dalam konferensi pers tersebut. Namun tiga poin utama yang menjadi perhatian adalah (1) Freeport Indonesia sepakat untuk melakukan divestasi 51% saham kepada pihak Indonesia, (2) Freeport Indonesia berkomitmen membangun smelter dalam 5 tahun sampai Januari 2022 atau 5 tahun sejak izin usaha pertambangan khusus (IUPK) keluar, (3) Freeport Indonesia sepakat menjaga besaran penerimaan negara sehingga lebih baik bila dibandingkan dengan rezim kontrak karya (KK).
Sekilas memang sepertinya kita mendapatkan kemenangan luar biasa dalam negosiasi dengan Freeport. Poin-poin penting keinginan pemerintah akhirnya disepakati Freeport. Bahkan banyak yang melakukan selebrasi luar biasa dengan mengatakan kesepakatan ini adalah kemenangan pemerintah dan menandakan Freeport bertekuk lutut kepada pemerintah.
Namun kalau melihat lebih jauh, memang sudah seharusnya Freeport tunduk pada aturan Republik Indonesia. Selama ini masalah dengan Freeport muncul karena perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di dunia ini tidak comply dengan Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Minerba. Freeport memilih untuk bersikukuh berpegang pada kontrak karya kedua daripada mengikuti aturan IUPK yang diperkenalkan pemerintah untuk memaksimalkan keuntungan negara.
Pertama, divestasi 51% memang sudah diamanatkan bahkan oleh kontrak karya 2 pada 1991. Divestasi ini sendiri menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan akan merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Berdasarkan PP tersebut, divestasi saham sebesar 51% itu akan ditawarkan dengan urutan hak untuk membeli adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, swasta nasional, sampai kalau tidak juga terpenuhi 51% yang membeli akan masuk ke bursa.
Kedua, kesepakatan mengenai pembangunan smelter ibaratnya negara ini sangat berterima kasih ketika mendapatkan haknya yang merupakan kewajiban Freeport. Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Minerba sudah menekankan bahwa hilirisasi sumber daya mineral adalah hal mutlak dan diberikan dispensasi selama lima tahun untuk para penambang melakukan hilirisasi. Hingga tahun 2014 sudah sangat banyak perusahaan penambang sumber daya mineral yang melakukan hilirisasi, baik dengan melakukan pemurnian ke perusahaan yang ada di dalam negeri maupun membangun pemurnian (smelter) sendiri. Tentu mengherankan ketika di tahun 2017, yang berarti tiga tahun tertinggal dari amanat UU Nomor 4/2009, kita bergembira karena Freeport akan menyelesaikan pembangunan smelter agar semua hasil eksplorasinya bisa dimurnikan dalam lima tahun ke depan.
Ketiga, kesepakatan untuk menjaga besaran penerimaan negara sudah sewajarnya dilakukan. Semangat UU Nomor 4/2009 tentang Minerba adalah menjaga kedaulatan negara dan memperbesar penerimaan negara. Bahkan seharusnya sejak 2014 penerimaan negara bisa naik dari Freeport jika mengikuti IUPK dan sudah melakukan hilirisasi.
Sekarang kita tinggal menunggu realisasi kesepakatan pemerintah dan Freeport. Kedua pihak harus secepatnya menyelesaikan pekerjaan rumah mengenai detail kesepakatan. Pemerintah perlu hati-hati dan publik harus mengawasi. Sudah jamak dalam suatu negosiasi bisnis justru hal-hal detail yang dibicarakanlah yang menggagalkan progres yang sudah dilakukan.
(mhd)