Berkurban untuk Kemanusiaan
A
A
A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
Idul Kurban atau Idul Adha itu bukan sekadar ritual seremonial, tetapi merupakan aksi sosial kemanusiaan yang otentik dan menarik. Karena sejarah kurban itu sejatinya sudah setua usia peradaban manusia.
Tragedi kemanusiaan pertama, pembunuhan Habil putra Adam AS oleh saudara kembarnya, Kabil, adalah akibat kecemburuan dan iri hati setelah masing-masing mempersembahkan kurban. Kurban yang dipersembahkan Habil diterima oleh Allah SWT, sedangkan kurban Kabil ditolak.
Pengorbanan manusia dalam bentuk pembunuhan, perbudakan, penjajahan, perlakuan diskriminasi, tindak kekerasan, teror, perang, dan sebagainya ternyata masih terjadi hingga saat ini.
Tradisi "pengorbanan manusia" yang memilukan ini kerap kali dilakukan penguasa zalim dan otoriter. Oleh karena itu, secara sosiologis, tradisi pengorbanan masih akan terus terjadi jika sistem sosial dihegemoni kekuasaan otoriter, kolonialisme, dan imperialisme.
Dalam sejarah kemanusiaan, tradisi pengorbanan manusia ternyata tidak mudah dihapuskan. Karena setiap orang memiliki hawa nafsu, egoisme, dan sifat-sifat kebinatangan yang cenderung destruktif.
Nabi Ibrahim AS hidup di era Raja Namrud yang diktator dan otoriter, sekitar 38 abad silam. Selain menentang dan menyekutukan Allah, berkomplot dengan para pejabat korup dan pengusaha hitam, Namrud juga memperbudak, menindas, dan mengorbankan rakyatnya yang melawannya dengan vonis dan eksekusi hukuman mati.
Kritik teologis dan seruan bertauhid yang ditujukan kepada para penguasa saat itu membuat mereka "murka", lalu mengkriminalisasi dan memvonis hukum mati Ibrahim dengan cara dibakar hidup-hidup di muka umum.
Namun demikian, penguasa gagal "menghabisi" dan menjadikan Ibrahim sebagai korban kekuasaan biadab. "Api penguasa" tidak berhasil membakar tubuh Ibrahim yang berakidah tauhid, berpikir logis dan kritis, serta berjiwa sosial kemanusiaan” (QS al-’Anbiya’[21]:69).
Di tengah hegemoni kekuasaan otoriter inilah, Ibrahim tampil dengan gagah berani berjuang untuk menghapuskan tradisi pengorbanan manusia dengan ritualitas simbolik berupa pengorbanan "Ismail" yang paling dicintainya.
Mengapa "Ismail" yang dikurbankan? Karena "Ismail" adalah simbol cinta dan cita-cita masa depan keluarga Ibrahim. Ismail adalah kekayaan yang paling dicintai dan diharapkan menjadi penerus cita-cita orang tuanya.
Penguasa, pengusaha, dan manusia pada umumnya, paling khawatir kehilangan kekuasaan dan kekayaannya sehingga kerap kali menghalalkan segala cara dengan "menghabisi" siapa pun yang menjadi penghalangnya.
Perintah Allah untuk mengurbankan "Ismail" yang diterima Ibrahim melalui mimpi merupakan ujian iman sekaligus ujian cinta. Ibrahim merespons dan menindaklanjuti ujian imannya itu dengan mengembangkan budaya dialog penuh kasih sayang dengan anak tercintanya, Ismail.
Ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, Ibrahim berkata, "Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Karena itu, pikirkanlah bagaimana pendapatmu!" Ismail menjawab, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar." (QS as-Saffat [37]:102).
Dialog terbuka dan penuh kasih sayang ini membuktikan Ibrahim dan Ismail sukses melewati ujian iman. Dengan penuh ketaatan, keikhlasan, dan kesabaran, keduanya bersedia melaksanakan perintah Allah.
Jadi, perintah berkurban harus disikapi sebagai ujian iman dan direspons dengan totalitas ketaatan, ketulusan, dan kesabaran.
Sebagai ujian cinta, Ibrahim sukses mempersembahkan "kekayaan" paling dicintainya, Ismail. Cinta Ibrahim kepada Allah mengalahkan segala macam cinta: harta, tahta, wanita, dan anak tercinta. Ibrahim memilih panggilan cinta Allah yang kekal abadi daripada cinta dunia yang sementara.
Cinta Allah yang otentik dan ikhlas membuat Ibrahim memiliki totalitas penghambaan, kepasrahan, ketaatan, dan ketakwaan kepadaNya. Berkurban itu merupakan aktualisasi cinta Ilahi untuk menyelamatkan cita-cita kemanusiaan di masa depan.
Oleh karena itu, Allah mengganti "Ismail" dengan hewan sembelihan. Ismail tidak jadi disembelih. Manusia seperti Ismail tidak patut dikorbankan atas nama apa pun. Manusia harus mencintai kemanusiaan dengan "menyembelih" sifat-sifat kebinatangan.
Sesama manusia harus saling menyayangi sebagai manifestasi sifat kasih sayang Tuhan. Sebaliknya, sifat dan tabiat buruk binatang, seperti egoistis, tamak, kemaruk, serakah, iri hati, dendam, oportunis, dan naluri membunuh sesamanya harus "disembelih" dan dienyahkan.
Tradisi mengorbankan manusia dan kemanusiaan harus diakhiri karena melanggar hak-hak asasi manusia dan bertentangan dengan hak prerogatif Tuhan Yang Maha Hidup, Maha Menghidupkan, dan Maha Mematikan.
Berkurban dengan menyembelih hewan dan mendistribusikan dagingnya kepada yang berhak menerimanya sangat sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Menyembelih hewan dengan menyebut nama Allah dan bertakbir meneguhkan spirit tauhid cinta Ilahi.
Mengalirkan darah hewan kurban dengan pisau tajam agar tidak menyakitinya mengajarkan sikap kasih sayang terhadap binatang. Mendistribusikan daging kurban kepada mustahik itu manifestasi dari etos berbagi dan aksi simpati, empati, menyantuni, meningkatkan gizi, dan protein hewani.
Sebagai tanda cinta dan takwa, berkurban itu merupakan bentuk peneladanan sifat kasih sayang Allah terhadap manusia sekaligus eliminasi sifat-sifat kebinatangan destruktif.
Dengan berkurban, pekurban belajar membiasakan (habituasi) karakter memberi dan menyayangi. Sedangkan penerima daging kurban belajar menunjukkan apresiasi dan bersyukur kepada Allah.
Keduanya melatih diri menjadi orang bertakwa sejati, memiliki etos juang yang tinggi, dan berkurban sepenuh hati dalam menggapai cinta Ilahi dan cinta kemanusiaan sejati. Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu (QS al-Hajj [22]:37).
Dengan demikian, berkurban untuk kemanusiaan merupakan pesan universal yang selalu relevan dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan. Penghentian tradisi pengorbanan anak manusia oleh Ibrahim AS tidak hanya patut diteladani, tetapi juga harus diaktualisasikan dengan perjuangan dan perang melawan musuh-musuh kemanusiaan sampai benar-benar mati "disembelih", seperti korupsi, terorisme, neokolonialisme, silent invation (invasi senyap), penyalahgunaan kekuasaan, narkoba, dan pelanggaran HAM.
Berkurban untuk kemanusiaan meniscayakan spirit pemuliaan manusia menuju aktualisasi multikesalehan (personal, intelektual, sosial, moral, kultural, dan manajerial) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jika Ibrahim sukses menjadi teladan kemanusiaan dalam mempersembahkan kurban yang paling dicintainya demi meraih cinta Ilahi dan cinta kemanusiaan paling sejati, maka umat Islam, khusus pemimpin Muslim, harus mampu menjadi teladan dalam berjuang dengan rela berkorban untuk memerangi musuh-musuh kemanusiaan yang telah memiskinkan, menyengsarakan, dan menyandera masa depan umat manusia.
Berkurban untuk kemanusiaan dan keindonesiaan itu berjiwa nasionalis sejati, beretos memberi, berkontribusi, merawat, dan membela kedaulatan NKRI, bukan menggerogoti, melakukan korupsi, dan berkolusi untuk mengeruk kekayaan negeri dengan membiarkan pihak asing dan aseng menjajah negeri kembali.
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
Idul Kurban atau Idul Adha itu bukan sekadar ritual seremonial, tetapi merupakan aksi sosial kemanusiaan yang otentik dan menarik. Karena sejarah kurban itu sejatinya sudah setua usia peradaban manusia.
Tragedi kemanusiaan pertama, pembunuhan Habil putra Adam AS oleh saudara kembarnya, Kabil, adalah akibat kecemburuan dan iri hati setelah masing-masing mempersembahkan kurban. Kurban yang dipersembahkan Habil diterima oleh Allah SWT, sedangkan kurban Kabil ditolak.
Pengorbanan manusia dalam bentuk pembunuhan, perbudakan, penjajahan, perlakuan diskriminasi, tindak kekerasan, teror, perang, dan sebagainya ternyata masih terjadi hingga saat ini.
Tradisi "pengorbanan manusia" yang memilukan ini kerap kali dilakukan penguasa zalim dan otoriter. Oleh karena itu, secara sosiologis, tradisi pengorbanan masih akan terus terjadi jika sistem sosial dihegemoni kekuasaan otoriter, kolonialisme, dan imperialisme.
Dalam sejarah kemanusiaan, tradisi pengorbanan manusia ternyata tidak mudah dihapuskan. Karena setiap orang memiliki hawa nafsu, egoisme, dan sifat-sifat kebinatangan yang cenderung destruktif.
Nabi Ibrahim AS hidup di era Raja Namrud yang diktator dan otoriter, sekitar 38 abad silam. Selain menentang dan menyekutukan Allah, berkomplot dengan para pejabat korup dan pengusaha hitam, Namrud juga memperbudak, menindas, dan mengorbankan rakyatnya yang melawannya dengan vonis dan eksekusi hukuman mati.
Kritik teologis dan seruan bertauhid yang ditujukan kepada para penguasa saat itu membuat mereka "murka", lalu mengkriminalisasi dan memvonis hukum mati Ibrahim dengan cara dibakar hidup-hidup di muka umum.
Namun demikian, penguasa gagal "menghabisi" dan menjadikan Ibrahim sebagai korban kekuasaan biadab. "Api penguasa" tidak berhasil membakar tubuh Ibrahim yang berakidah tauhid, berpikir logis dan kritis, serta berjiwa sosial kemanusiaan” (QS al-’Anbiya’[21]:69).
Di tengah hegemoni kekuasaan otoriter inilah, Ibrahim tampil dengan gagah berani berjuang untuk menghapuskan tradisi pengorbanan manusia dengan ritualitas simbolik berupa pengorbanan "Ismail" yang paling dicintainya.
Mengapa "Ismail" yang dikurbankan? Karena "Ismail" adalah simbol cinta dan cita-cita masa depan keluarga Ibrahim. Ismail adalah kekayaan yang paling dicintai dan diharapkan menjadi penerus cita-cita orang tuanya.
Penguasa, pengusaha, dan manusia pada umumnya, paling khawatir kehilangan kekuasaan dan kekayaannya sehingga kerap kali menghalalkan segala cara dengan "menghabisi" siapa pun yang menjadi penghalangnya.
Perintah Allah untuk mengurbankan "Ismail" yang diterima Ibrahim melalui mimpi merupakan ujian iman sekaligus ujian cinta. Ibrahim merespons dan menindaklanjuti ujian imannya itu dengan mengembangkan budaya dialog penuh kasih sayang dengan anak tercintanya, Ismail.
Ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, Ibrahim berkata, "Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Karena itu, pikirkanlah bagaimana pendapatmu!" Ismail menjawab, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar." (QS as-Saffat [37]:102).
Dialog terbuka dan penuh kasih sayang ini membuktikan Ibrahim dan Ismail sukses melewati ujian iman. Dengan penuh ketaatan, keikhlasan, dan kesabaran, keduanya bersedia melaksanakan perintah Allah.
Jadi, perintah berkurban harus disikapi sebagai ujian iman dan direspons dengan totalitas ketaatan, ketulusan, dan kesabaran.
Sebagai ujian cinta, Ibrahim sukses mempersembahkan "kekayaan" paling dicintainya, Ismail. Cinta Ibrahim kepada Allah mengalahkan segala macam cinta: harta, tahta, wanita, dan anak tercinta. Ibrahim memilih panggilan cinta Allah yang kekal abadi daripada cinta dunia yang sementara.
Cinta Allah yang otentik dan ikhlas membuat Ibrahim memiliki totalitas penghambaan, kepasrahan, ketaatan, dan ketakwaan kepadaNya. Berkurban itu merupakan aktualisasi cinta Ilahi untuk menyelamatkan cita-cita kemanusiaan di masa depan.
Oleh karena itu, Allah mengganti "Ismail" dengan hewan sembelihan. Ismail tidak jadi disembelih. Manusia seperti Ismail tidak patut dikorbankan atas nama apa pun. Manusia harus mencintai kemanusiaan dengan "menyembelih" sifat-sifat kebinatangan.
Sesama manusia harus saling menyayangi sebagai manifestasi sifat kasih sayang Tuhan. Sebaliknya, sifat dan tabiat buruk binatang, seperti egoistis, tamak, kemaruk, serakah, iri hati, dendam, oportunis, dan naluri membunuh sesamanya harus "disembelih" dan dienyahkan.
Tradisi mengorbankan manusia dan kemanusiaan harus diakhiri karena melanggar hak-hak asasi manusia dan bertentangan dengan hak prerogatif Tuhan Yang Maha Hidup, Maha Menghidupkan, dan Maha Mematikan.
Berkurban dengan menyembelih hewan dan mendistribusikan dagingnya kepada yang berhak menerimanya sangat sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Menyembelih hewan dengan menyebut nama Allah dan bertakbir meneguhkan spirit tauhid cinta Ilahi.
Mengalirkan darah hewan kurban dengan pisau tajam agar tidak menyakitinya mengajarkan sikap kasih sayang terhadap binatang. Mendistribusikan daging kurban kepada mustahik itu manifestasi dari etos berbagi dan aksi simpati, empati, menyantuni, meningkatkan gizi, dan protein hewani.
Sebagai tanda cinta dan takwa, berkurban itu merupakan bentuk peneladanan sifat kasih sayang Allah terhadap manusia sekaligus eliminasi sifat-sifat kebinatangan destruktif.
Dengan berkurban, pekurban belajar membiasakan (habituasi) karakter memberi dan menyayangi. Sedangkan penerima daging kurban belajar menunjukkan apresiasi dan bersyukur kepada Allah.
Keduanya melatih diri menjadi orang bertakwa sejati, memiliki etos juang yang tinggi, dan berkurban sepenuh hati dalam menggapai cinta Ilahi dan cinta kemanusiaan sejati. Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu (QS al-Hajj [22]:37).
Dengan demikian, berkurban untuk kemanusiaan merupakan pesan universal yang selalu relevan dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan. Penghentian tradisi pengorbanan anak manusia oleh Ibrahim AS tidak hanya patut diteladani, tetapi juga harus diaktualisasikan dengan perjuangan dan perang melawan musuh-musuh kemanusiaan sampai benar-benar mati "disembelih", seperti korupsi, terorisme, neokolonialisme, silent invation (invasi senyap), penyalahgunaan kekuasaan, narkoba, dan pelanggaran HAM.
Berkurban untuk kemanusiaan meniscayakan spirit pemuliaan manusia menuju aktualisasi multikesalehan (personal, intelektual, sosial, moral, kultural, dan manajerial) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jika Ibrahim sukses menjadi teladan kemanusiaan dalam mempersembahkan kurban yang paling dicintainya demi meraih cinta Ilahi dan cinta kemanusiaan paling sejati, maka umat Islam, khusus pemimpin Muslim, harus mampu menjadi teladan dalam berjuang dengan rela berkorban untuk memerangi musuh-musuh kemanusiaan yang telah memiskinkan, menyengsarakan, dan menyandera masa depan umat manusia.
Berkurban untuk kemanusiaan dan keindonesiaan itu berjiwa nasionalis sejati, beretos memberi, berkontribusi, merawat, dan membela kedaulatan NKRI, bukan menggerogoti, melakukan korupsi, dan berkolusi untuk mengeruk kekayaan negeri dengan membiarkan pihak asing dan aseng menjajah negeri kembali.
(nag)