Kesejahteraan Petani Tebu dan Ketahanan Pangan

Selasa, 29 Agustus 2017 - 09:01 WIB
Kesejahteraan Petani Tebu dan Ketahanan Pangan
Kesejahteraan Petani Tebu dan Ketahanan Pangan
A A A
Dave Akbarshah Fikarno Laksono
Anggota Komisi I DPR RI
Dapil Cirebon dan Indramayu

SAAT ini sedang terjadi aksi protes besar yang dilakukan para petani di Kabupaten Cirebon terkait dengan kebijakan gula yang berdampak pada petani tebu. Petani tebu di Cirebon meringis. Nasibnya kini tak semanis gula. Kondisi tersebut lantaran hasil panen mereka tak laku di pasaran.

Kondisi makin sulit setelah puluhan ribu ton gula yang menumpuk di gudang PG Rajawali II Sindang Laut Kabupaten Cirebon disegel pihak Direk­torat Pengawasan Barang Ber­edar dan Jasa Kementerian Per­dagangan (Kemendag) RI. Setidaknya ada 7.077 ton gula di PG Sindang Laut dan sekitar 10.000 ton gula di PG Tersana Baru yang disegel Kemendag.

Persoalan gula di Cirebon makin runyam ketika ribuan ton gula yang dinilai tidak layak konsumsi milik petani tebu akan dibeli Bulog dengan harga di bawah pasar. Harga yang di­patok Bulog hanya Rp9.700/kg dari harga eceran tertinggi (HET) Rp12.500/kg. Penyegelan ribu­an ton gula dan rencana pem­belian gula oleh Bulog dengan harga yang ”tidak memuaskan” tersebut melahirkan aksi protes dan kemarahan yang luar biasa dari para petani tebu.

Sewaktu melakukan dialog dengan petani tebu beberapa waktu lalu di Cirebon, saya dapat memahami mengapa petani tebu di Cirebon begitu marah dan kecewa terhadap kebijakan Kementerian Perdagangan dan Bulog. Pasalnya, pemerintah tidak memberikan perlindung­an kepada petani tebu; justru yang terjadi adalah hasil produksi mereka dinilai tidak berkualitas, di bawah standar SNI tanpa pernah dilakukan uji laboratorium, dan rencana untuk dibeli dengan harga yang murah.

Apa yang terjadi dengan petani tebu di Cirebon menegaskan satu hal bahwa politik gula belum berorientasi pada pemenuhan kesejahteraan petani. Politik gula yang tidak berpihak pada kesejahteraan petani dapat memberikan dampak yang lebih luas, mengurangi jumlah petani tebu. Para petani tebu dapat beralih profesi ke bidang pertanian lainnya sehingga dapat mengurangi jumlah lahan pertanian tebu. Akibatnya, kita akan semakin kekurangan pasokan gula dalam negeri yang dihasilkan para petani, padahal kebutuhan gula nasional semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Berdasarkan catatan Kementerian BUMN, kebutuhan gula nasional mencapai 5,7 juta ton, dengan rincian 2,8 juta ton untuk kebutuhan konsumsi dan 2,9 juta ton untuk kebutuhan industri. Namun dari sisi produksi, produksi gula dalam negeri diperkirakan hanya sekitar 2,2 juta ton sehingga kebijakan yang diambil pemerintah untuk memenuhi kekurangan pasokan gula dalam negeri adalah dengan melakukan impor.

Kemendag telah mengimpor gula konsumsi sekitar 1,3 juta ton dan gula untuk memenuhi kebutuhan industri sebanyak 3,5 juta ton pada 2017. Namun, kebijakan impor seperti dua mata pisau. Di satu sisi, impor gula merupakan kebijakan yang dapat mengantisi­pasi kekurangan gula untuk kebutuhan industri makanan dan minuman dan kebutuhan rumah tangga. Pada sisi lain, impor gula dapat berdampak buruk bagi petani tebu.

Kesejahteraan Petani Tebu
Dalam politik gula nasional, posisi petani tebu sangat menentukan karena petani tebu merupakan penghasil bahan baku bagi pabrik gula berbasis tebu. Namun, sampai sekarang petani tebu khususnya petani tebu skala kecil atau petani gurem belum sepenuhnya menikmati kesejahteraan, salah satunya dapat dilihat dari nilai tukar petani (NTP) yang masih tergolong rendah.

Permasalahan yang di­hadapi petani tebu terutama menyangkut penguasaan lahan tebu yang terbatas. Penguasaan lahan yang sempit menyebabkan petani tidak mampu mencapai margin keuntungan yang memadai. Hal ini bertolak belakang dengan elite petani tebu. Hal ini menyebabkan jumlah petani tebu (gurem) semakin menyusut, digantikan oleh pengusaha tebu atau para elite petani tebu.

Persoalan lain yang dihadapi petani tebu menyangkut rendemen yang karena penentuan rendemen dianggap tidak transparan. Rendemen akan memengaruhi pendapat­an yang diterima petani tebu. Dalam praktiknya, petani tebu skala kecil umumnya tidak memiliki akses secara langsung ke pabrik gula, tetapi melalui penebang (pemborong).

Keterlibatan penebang dalam perdagangan tebu berdampak terhadap kenaikan ongkos produksi yang ditanggung petani tebu. Untuk mengurangi resistensi dari hubungan ini, penting ada sistem beli putus antara petani dan pabrik gula. Sistem ini akan memberikan keuntungan bagi petani maupun pabrik gula.

Bagi petani tebu, melalui sistem ini mereka dapat menjual tebu secara langsung ke pabrik gula yang dapat mem­berikan harga jual yang tinggi. Hasil penjualan tebu dapat di­terima langsung tanpa menung­gu hasil lelang gula. Sementara bagi pabrik gula, mereka akan menikmati keuntungan dari hasil penjualan gula karena keuntungan dari hasil lelang gula sepenuhnya menjadi kewenangan pabrik gula.

Kebergantungan petani pada struktur pasar yang oligo­polistis menyebabkan harga gula petani ditentukan pasar. Para pemain utama (distributor) inilah yang menentukan harga gula di pasar. Dalam praktiknya, para distributor ini membentuk kartel dan kartel inilah yang akan menciptakan mafia-mafia ekonomi.

Kartel ini dapat mempermainkan harga gula sehingga ketika harga gula di pasar tinggi maka keuntungan itu akan dinikmati mereka dan bukan oleh petani tebu.Dengan kata lain, meskipun permintaan gula di pasar tinggi, sementara pasokan ber­kurang, petani tidak akan mendapatkan keuntungan sehingga berdampak terhadap kesejahteraan petani tebu.

Ketahanan Pangan
Kekisruhan gula di Cirebon mensinyalir bahwa politik gula belum dijalankan dengan baik dalam rangka menciptakan ke­tahanan pangan dalam negeri. Padahal berdasarkan UU Nomor 18/2012 tentang Pangan, pemenuhan konsumsi pangan harus mengutamakan produksi dalam negeri dengan memanfaatkan sumber daya dan kearifan lokal secara optimal.

Hal demikian juga diatur dalam UU Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan bahwa tujuan yang harus dicapai dalam politik pertanian di Indonesia adalah melindungi dan menjamin kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan untuk masa depan Indonesia.

Namun, apa yang terjadi dengan politik gula di Indonesia belakangan ini adalah bertentangan dengan tujuan ketahanan pangan yang hendak dicapai. Politik gula justru tidak berpihak pada kesejahteraan petani tebu, tidak mengutamakan produksi dalam negeri, dan tidak memberikan perlindungan kepada petani tebu. Ketahanan pangan masih sebatas jargon.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3496 seconds (0.1#10.140)