Memacu Pertumbuhan Ekonomi Berkeadilan
A
A
A
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri, MS
Ketua DPP PDI-Perjuangan Bidang Kemaritiman
KITA bersyukur sejak merdeka 72 tahun lalu, bangsa Indonesia secara umum mengalami perbaikan di berbagai bidang kehidupan. Namun hingga kini Indonesia masih sebagai negara berkembang berpendapatan menengah bawah dengan PDB per kapita USD3.540 (Bank Dunia 2016) dan kapasitas ilmu pengetahuan serta teknologinya (iptek) hanya kelas 3 (UNESCO, 2016). Padahal suatu negara bisa dinobatkan sebagai negara maju dan makmur bila kapasitas ipteknya ber¬a-da di kelas 1 dan PDB per kapitanya di atas USD11.750.
Sementara itu, atas dasar garis kemiskinan BPS (pengeluaran sekitar Rp 365.000/ orang/ bulan), jumlah penduduk miskin per Februari tahun ini masih cukup besar 27,77 juta orang (10,64% total penduduk). Jumlah pengangguran terbuka sebanyak 6,5 juta orang (5,33% total angkatan kerja). Yang lebih menyesakkan dada, Indonesia juga merupakan negara dengan ketimpangan ekonomi terburuk keempat di dunia (setelah Rusia, India, dan Thailand) yang 1% orang terkayanya menguasai sekitar 49,3% total kekayaan negara (Credit Suisse, 2016) dengan koefisien gini sebesar 0,393.
Pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial tersebut diyakini sebagai penyebab utama dari semakin membuncahnya kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat, maraknya radikalisme, perkelahian antarkelompok, perampokan, narkoba, depresi, fenomena bunuh diri, dan penyakit sosial lainnya. Lebih dari, bila kita tidak segera mengatasi ketiga musuh bang-sa itu, dikhawatirkan Indonesia bakal terperangkap dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) alias tidak bisa menjadi bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat sesuai dengan cita-cita kemerdekaan RI.
Sejatinya masalah pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial itu merupakan pekerjaan rumah yang belum terpecahkan sejak masa Orde Baru hingga pemerintahan Presiden SBY. Bahkan Presiden SBY menyisakan pengangguran terbuka sebesar 5,94% total angkatan kerja, 28,28 juta rakyat miskin (10,96% total penduduk), dan jurang kaya vs miskin yang sangat lebar dengan koefisien gini sebesar 0,42.
Pengalaman Negara Maju
Teori dan pengalaman empiris negara-negara maju dan makmur, khususnya Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, telah memberikan pelajaran berharga bagi kita bangsa Indonesia. Bahwa agar sebuah negara berpendapatan menengah-bawah bisa naik kelas menjadi negara maju dan makmur diperlukan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 7% per tahun selama 15 tahun berturut-turut. Selain itu kontribusi sektor investasi dan ekspor bagi pertumbuhan ekonomi (PDB) pun harus lebih besar ketimbang sektor konsumsi dan impor.
Beranjak dari kondisi di atas, arah kebijakan ekonomi Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wapres JK sebenarnya sudah tepat dengan menargetkan pertumbuhan ekonomi 2015-2019 rata-rata 7% per tahun (RPJMN 2014-2019). Sayangnya pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,88% pada 2015, naik sedikit menjadi 5,02% tahun lalu, dan tahun ini diharapkan mencapai sekitar 5,1%. Sifat pertumbuhan ekonominya pun kurang berkualitas (inklusif), yaitu setiap 1% pertumbuhan hanya mampu menghasilkan 250.000-300.000 orang tenaga kerja (Kemenkeu, 2017). Padahal, di era tahun 1970-an hingga sebelum krisis keuangan Asia (1997/1998) dan antara tahun 2001-2004, setiap 1% pertumbuhan ekonomi dapat menyediakan sekitar 500.000-600.000 orang tenaga kerja.
Dalam RAPBN 2018 yang disampaikan Presiden Jokowi pada Sidang Paripurna DPR-RI 16 Agustus lalu, pertumbuhan ekonomi pada 2018 ditargetkan sebesar 5,4%. Kalau rata-rata pertumbuhan ekonomi 2015-2019 hanya 5%/tahun dengan kemampuan menciptakan lapangan kerja sekitar 300.000 orang setiap 1% pertumbuhan, berarti hanya bisa menghasilkan sekitar 1,5 juta tenaga kerja.
Padahal jumlah angkatan kerja baru setiap tahun bertambah 3 juta orang (Kemenaker 2017). Rendahnya penyerapan tenaga kerja sejak 2005 disebabkan sebagian besar pertumbuhan ekonomi berasal dari sektor finansial dan sektor non-tradable yang sebagian besar terkonsentrasi di daerah perkotaan dan Pulau Jawa.
Investasi Sektor Tradable
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi kita selain me¬macu pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 7 persen/ tahun), berkualitas (dapat menyerap banyak tenaga kerja dan menyejahterakan seluruh rakyat secara adil), ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable). Kuncinya, kita mesti lebih kreatif, inovatif, dan out of the box di dalam upaya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkeadilan secara berkelanjutan. Jangan terlalu dominan mengandalkan dana APBN untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Pasalnya, di seluruh dunia besaran APBN (state budget) itu tidak lebih dari 20% besaran ekonomi (PDB) suatu negara. Contohnya, anggaran belanja negara Indonesia untuk 2018 itu hanya Rp 2.204 triliun atau hanya sekitar 15% dari PDB tahun ini. Dengan perkataan lain, perekonomian suatu negara itu sebagian besar (lebih dari 80%) digerakkan oleh sektor swasta dan rakyat (masyarakat madani).
Mulai sekarang kita harus memacu investasi dan perdagangan di sektor riil tradable. Misalnya kemaritiman, perikanan, pertanian, kehutanan, ESDM, industri manufaktur (pengolahan), teknologi informasi dan komunikasi (TIK), in-dustri nano-bioteknologi, ekonomi kreatif, dan pariwisata.
Mengingat disparitas pembangunan antarwilayah yang sangat timpang, yaitu Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas wilayah Indonesia menyumbangkan sekitar 60% PDB, maka pembangunan dan investasi pun harus diprioritaskan ke luar Jawa, terutama wilayah tengah dan timur NKRI. Di sinilah kebijakan menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) dengan pembangunan tol lautnya mendapatkan relevansinya.
Untuk itu, pertama, yang harus dilakukan adalah memperbaiki iklim investasi dan kemudahan berbisnis yang saat ini hanya menduduki peringkat keenam di ASEAN. Para menteri, kepala daerah, anggota DPR, dan pejabat tinggi negara yang selama ini menghambat investasi dan bisnis, karena dalih konservasi, penegakan kedaulatan atau kepentingan pribadi harus lebih pro-investasi dan bisnis. Tentu, tidak harus merusak lingkungan dan menggadaikan kedaulatan. Jangan semua pengusaha dianggap penjahat (maling). Kalaupun ada yang ”nakal”, itu menjadi tugas para pejabat negara untuk memperbaikinya.
Kedua, berikan insentif dan penghargaan kepada para entrepreneur (pengusaha) baik yang mau berinvestasi di sektor tradable maupun di luar Jawa. Ketiga, terus merevitalisasi dan mengembangkan infrastruktur (seperti jaringan jalan, listrik, irigasi, telkom, konektivitas digital, pelabuhan, dan bandara), khususnya di luar Jawa, dalam kerangka PMD. Dalam hal ini urusan pembebasan lahan mesti segera diatasi pemerintah dan skema public private partnership (PPP) mesti terus didorong untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Keempat, suku bunga dan persyaratan perbankan mesti lebih rendah dan lebih lunak seperti yang berlaku di negara-negara maju dan emerging economies lainnya.
Kelima, alokasi belanja APBN (kebijakan fiskal) harus dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkeadilan berbasis sektor tradable dan inovasi. Keenam, tuntaskan reformasi birokrasi dan revolusi mental supaya birokrasi lebih kondusif bagi iklim investasi, kemudahan berbisnis, peningkatan produktivitas dan daya saing bangsa. Akhirnya politik dan hukum mesti ditegakkan secara tegas, adil, dan berwibawa. Jangan ada lagi lembaga penegak hukum yang dijadikan alat untuk kepentingan pribadi, pencitraan, atau membunuh lawan-lawan politiknya sehingga membuat para entrepreneur dan investor nasional maupun global ragu-ragu berinvestasi dan berbisnis di Tanah Air tercinta ini.
Ketua DPP PDI-Perjuangan Bidang Kemaritiman
KITA bersyukur sejak merdeka 72 tahun lalu, bangsa Indonesia secara umum mengalami perbaikan di berbagai bidang kehidupan. Namun hingga kini Indonesia masih sebagai negara berkembang berpendapatan menengah bawah dengan PDB per kapita USD3.540 (Bank Dunia 2016) dan kapasitas ilmu pengetahuan serta teknologinya (iptek) hanya kelas 3 (UNESCO, 2016). Padahal suatu negara bisa dinobatkan sebagai negara maju dan makmur bila kapasitas ipteknya ber¬a-da di kelas 1 dan PDB per kapitanya di atas USD11.750.
Sementara itu, atas dasar garis kemiskinan BPS (pengeluaran sekitar Rp 365.000/ orang/ bulan), jumlah penduduk miskin per Februari tahun ini masih cukup besar 27,77 juta orang (10,64% total penduduk). Jumlah pengangguran terbuka sebanyak 6,5 juta orang (5,33% total angkatan kerja). Yang lebih menyesakkan dada, Indonesia juga merupakan negara dengan ketimpangan ekonomi terburuk keempat di dunia (setelah Rusia, India, dan Thailand) yang 1% orang terkayanya menguasai sekitar 49,3% total kekayaan negara (Credit Suisse, 2016) dengan koefisien gini sebesar 0,393.
Pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial tersebut diyakini sebagai penyebab utama dari semakin membuncahnya kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat, maraknya radikalisme, perkelahian antarkelompok, perampokan, narkoba, depresi, fenomena bunuh diri, dan penyakit sosial lainnya. Lebih dari, bila kita tidak segera mengatasi ketiga musuh bang-sa itu, dikhawatirkan Indonesia bakal terperangkap dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) alias tidak bisa menjadi bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat sesuai dengan cita-cita kemerdekaan RI.
Sejatinya masalah pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial itu merupakan pekerjaan rumah yang belum terpecahkan sejak masa Orde Baru hingga pemerintahan Presiden SBY. Bahkan Presiden SBY menyisakan pengangguran terbuka sebesar 5,94% total angkatan kerja, 28,28 juta rakyat miskin (10,96% total penduduk), dan jurang kaya vs miskin yang sangat lebar dengan koefisien gini sebesar 0,42.
Pengalaman Negara Maju
Teori dan pengalaman empiris negara-negara maju dan makmur, khususnya Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, telah memberikan pelajaran berharga bagi kita bangsa Indonesia. Bahwa agar sebuah negara berpendapatan menengah-bawah bisa naik kelas menjadi negara maju dan makmur diperlukan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 7% per tahun selama 15 tahun berturut-turut. Selain itu kontribusi sektor investasi dan ekspor bagi pertumbuhan ekonomi (PDB) pun harus lebih besar ketimbang sektor konsumsi dan impor.
Beranjak dari kondisi di atas, arah kebijakan ekonomi Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wapres JK sebenarnya sudah tepat dengan menargetkan pertumbuhan ekonomi 2015-2019 rata-rata 7% per tahun (RPJMN 2014-2019). Sayangnya pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,88% pada 2015, naik sedikit menjadi 5,02% tahun lalu, dan tahun ini diharapkan mencapai sekitar 5,1%. Sifat pertumbuhan ekonominya pun kurang berkualitas (inklusif), yaitu setiap 1% pertumbuhan hanya mampu menghasilkan 250.000-300.000 orang tenaga kerja (Kemenkeu, 2017). Padahal, di era tahun 1970-an hingga sebelum krisis keuangan Asia (1997/1998) dan antara tahun 2001-2004, setiap 1% pertumbuhan ekonomi dapat menyediakan sekitar 500.000-600.000 orang tenaga kerja.
Dalam RAPBN 2018 yang disampaikan Presiden Jokowi pada Sidang Paripurna DPR-RI 16 Agustus lalu, pertumbuhan ekonomi pada 2018 ditargetkan sebesar 5,4%. Kalau rata-rata pertumbuhan ekonomi 2015-2019 hanya 5%/tahun dengan kemampuan menciptakan lapangan kerja sekitar 300.000 orang setiap 1% pertumbuhan, berarti hanya bisa menghasilkan sekitar 1,5 juta tenaga kerja.
Padahal jumlah angkatan kerja baru setiap tahun bertambah 3 juta orang (Kemenaker 2017). Rendahnya penyerapan tenaga kerja sejak 2005 disebabkan sebagian besar pertumbuhan ekonomi berasal dari sektor finansial dan sektor non-tradable yang sebagian besar terkonsentrasi di daerah perkotaan dan Pulau Jawa.
Investasi Sektor Tradable
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi kita selain me¬macu pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 7 persen/ tahun), berkualitas (dapat menyerap banyak tenaga kerja dan menyejahterakan seluruh rakyat secara adil), ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable). Kuncinya, kita mesti lebih kreatif, inovatif, dan out of the box di dalam upaya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkeadilan secara berkelanjutan. Jangan terlalu dominan mengandalkan dana APBN untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Pasalnya, di seluruh dunia besaran APBN (state budget) itu tidak lebih dari 20% besaran ekonomi (PDB) suatu negara. Contohnya, anggaran belanja negara Indonesia untuk 2018 itu hanya Rp 2.204 triliun atau hanya sekitar 15% dari PDB tahun ini. Dengan perkataan lain, perekonomian suatu negara itu sebagian besar (lebih dari 80%) digerakkan oleh sektor swasta dan rakyat (masyarakat madani).
Mulai sekarang kita harus memacu investasi dan perdagangan di sektor riil tradable. Misalnya kemaritiman, perikanan, pertanian, kehutanan, ESDM, industri manufaktur (pengolahan), teknologi informasi dan komunikasi (TIK), in-dustri nano-bioteknologi, ekonomi kreatif, dan pariwisata.
Mengingat disparitas pembangunan antarwilayah yang sangat timpang, yaitu Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas wilayah Indonesia menyumbangkan sekitar 60% PDB, maka pembangunan dan investasi pun harus diprioritaskan ke luar Jawa, terutama wilayah tengah dan timur NKRI. Di sinilah kebijakan menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) dengan pembangunan tol lautnya mendapatkan relevansinya.
Untuk itu, pertama, yang harus dilakukan adalah memperbaiki iklim investasi dan kemudahan berbisnis yang saat ini hanya menduduki peringkat keenam di ASEAN. Para menteri, kepala daerah, anggota DPR, dan pejabat tinggi negara yang selama ini menghambat investasi dan bisnis, karena dalih konservasi, penegakan kedaulatan atau kepentingan pribadi harus lebih pro-investasi dan bisnis. Tentu, tidak harus merusak lingkungan dan menggadaikan kedaulatan. Jangan semua pengusaha dianggap penjahat (maling). Kalaupun ada yang ”nakal”, itu menjadi tugas para pejabat negara untuk memperbaikinya.
Kedua, berikan insentif dan penghargaan kepada para entrepreneur (pengusaha) baik yang mau berinvestasi di sektor tradable maupun di luar Jawa. Ketiga, terus merevitalisasi dan mengembangkan infrastruktur (seperti jaringan jalan, listrik, irigasi, telkom, konektivitas digital, pelabuhan, dan bandara), khususnya di luar Jawa, dalam kerangka PMD. Dalam hal ini urusan pembebasan lahan mesti segera diatasi pemerintah dan skema public private partnership (PPP) mesti terus didorong untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Keempat, suku bunga dan persyaratan perbankan mesti lebih rendah dan lebih lunak seperti yang berlaku di negara-negara maju dan emerging economies lainnya.
Kelima, alokasi belanja APBN (kebijakan fiskal) harus dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkeadilan berbasis sektor tradable dan inovasi. Keenam, tuntaskan reformasi birokrasi dan revolusi mental supaya birokrasi lebih kondusif bagi iklim investasi, kemudahan berbisnis, peningkatan produktivitas dan daya saing bangsa. Akhirnya politik dan hukum mesti ditegakkan secara tegas, adil, dan berwibawa. Jangan ada lagi lembaga penegak hukum yang dijadikan alat untuk kepentingan pribadi, pencitraan, atau membunuh lawan-lawan politiknya sehingga membuat para entrepreneur dan investor nasional maupun global ragu-ragu berinvestasi dan berbisnis di Tanah Air tercinta ini.
(rhs)