Viralisasi Uang demi Harmonisasi Daya Beli
A
A
A
Harryadin Mahardika
Kepala Program Magister Manajemen FEB-IU
VICKY Prasetyo mungkin punya obat untuk lesunya perekonomian kita akhir-akhir ini. Tidak percaya? Saya juga awalnya tidak. Tapi begitu saya tenggelam mencermati angka-angka indikator perekonomian dan struktur APBN, barulah saya ”ngeh” bahwa Vicky mungkin punya jawabannya.
Problem utama ekonomi kita saat ini adalah uang yang tidak berputar. Istilahnya ”viralisasi uang” dalam terminologi Vicky (yang akan kita gunakan seterusnya sebagai istilah baru). Viralisasi uang tidak berhasil diciptakan oleh pemerintahan saat ini.
Perputaran uang tertahan di mana-mana sehingga imbasnya konsumsi masyarakat menurun di berbagai sektor. Padahal Vicky telah menunjukkan kepada kita bahwa kunci sukses di era ini adalah menjadikan segala sesuatu viral dan berputar, seperti yang ia lakukan saat menciptakan bahasa ”kelas tinggi” yang digunakan di mana-mana. Viralisasi uang akan menciptakan multiplier effects yang luar biasa besar, termasuk pada pertumbuhan ekonomi.
Indikasi belum optimalnya viralisasi uang ditunjukkan oleh turunnya kinerja beberapa sektor perekonomian. Sebagai contoh, penjualan di sektor ritel pakaian pada Lebaran lalu turun 15% dibanding Lebaran tahun sebelumnya. Kinerja dua peritel besar, Indomaret dan Alfamart, berturut-turut turun 71,03% dan 16,38% pada Semester I ini dibanding tahun lalu. Sementara di sektor properti terjadi penurunan suplai sebesar 9,6% pada kuartal II-2017.
Ironisnya, jumlah tabungan masyarakat dalam bentuk dana pihak ketiga (DPK) di perbankan nasional mencapai kenaikan sebesar 11,18%, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya naik 9,87%. Ini menunjukkan bahwa masyarakat banyak menahan uangnya di bank. Padahal kita memerlukan ”viralisasi uang” agar perekonomian negara tetap tumbuh dengan sehat di atas angka psikologis 5% per tahun. Lalu, mengapa putaran uang ini tertahan? Dan di mana tertahannya?
Viralisasi Uang
Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas, marilah kita sejenak membayangkan sosok SBY dan Jokowi yang menjadi arsitek kebijakan ekonomi bangsa ini 15 tahun terakhir. Mereka berdua punya gaya masing-masing, dan kebetulan gaya keduanya dalam urusan kebijakan ekonomi agak berbeda.
SBY kita kenal cenderung menggunakan pendekatan pembangunan ekonomi yang seimbang antara pendekatan jangka pendek dan jangka panjang. Di masa kepemimpinannya, SBY punya senjata andalan bernama Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai Rp100.000 per bulan yang disalurkan kepada 19,2 juta keluarga miskin di seluruh Indonesia.
Strategi ini dilakukannya selama 10 tahun masa jabatannya dengan beberapa modifikasi. Kebijakan jangka pendek ini diimbangi dengan kebijakan jangka panjang, di mana SBY secara bertahap memulai percepatan pembangunan infrastruktur strategis melalui program MP3EI, sebagai bentuk komitmen pembangunan ekonomi jangka panjang.
Adapun Jokowi lebih condong kepada pendekatan pembangunan ekonomi jangka panjang. Ia memperbesar alokasi untuk dana pembangunan infrastruktur di APBN, jumlahnya hampir 1000 triliun untuk jangka waktu lima tahun. Meski demikian, Jokowi juga tetap mencoba menyeimbangkan sisi kebijakan jangka pendeknya dengan program bantuan langsung nontunai, seperti Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang sampai saat ini telah disalurkan ke 1,25 juta keluarga.
Tentu saja tidak ada yang salah atau yang benar di antara keduanya. Hanya, masing-masing memberikan konsekuensi yang berbeda terhadap pertumbuhan ekonomi. SBY meyakini betul teori keep buying strategy, di mana ”viralisasi uang” akan terjadi selama masyarakat lapisan terbawah memiliki daya beli.
Karenanya, ia memberi prioritas BLT kepada keluarga miskin di APBN. Mengapa? Karena keluarga miskin akan langsung membelanjakan uang bantuan tersebut seluruhnya. Sangat kecil kemungkinan mereka menaruh uang tersebut dalam tabungan. Artinya, uang dari pemerintah tersebut seluruhnya segera mengalir kepada para produsen dan kemudian menggerakkan sektor perekonomian lain yang terkait. Perputaran yang cepat ini kemudian menciptakan ”viralisasi uang.”
Ceritanya akan berbeda jika yang mendapat stimulus adalah keluarga kelas menengah. Mereka punya baseline penghasilan yang lebih dari cukup untuk konsumsi, sehingga setiap tambahan penghasilan kemungkinan besar akan mereka taruh di tabungan atau bentuk investasi lainnya, tidak dihabiskan seluruhnya.
Akibatnya, uang stimulus dari pemerintah jika ditargetkan kepada kelas menengah akan sulit menciptakan efek viralisasi. Sayangnya, inilah kira-kira yang tengah dihadapi oleh Jokowi. Anggaran infrastrukturnya yang demikian besar lebih banyak dinikmati keuntungannya oleh korporasi di industri terkait.
Keuntungan itu kemudian tersalurkan sebagian kepada vendor, supplier, pengusaha, eksekutif dan karyawan di korporasi-korporasi tersebut. karena baseline pendapatan mereka sudah tinggi, kemungkinan besar tambahan penghasilan tersebut akan ditahan oleh mereka dalam tabungan dan investasi. Kecenderungan kelas menengah untuk menahan konsumsi ini juga makin didorong oleh suasana kebatinan ekonomi politik yang muram. Karena mereka umumnya terpelajar, informasi tentang perlambatan ekonomi dan ketidakpastian politik segera mereka tangkap.
Sebagai orang pintar, mereka tentu membuat rencana antisipasi jika terjadi suatu hal yang buruk (misal krisis). Antisipasi yang paling klasik tentu saja dengan cara menabung sebanyak-banyaknya. Jadilah makin sedikit uang yang berputar di luar perbankan.
Harmonisasi Daya Beli
Mandeknya viralisasi uang ini harus segera dicarikan solusi. Tim ekonomi Jokowi harus berani membujuk Pak Presiden untuk melakukan harmonisasi kebijakan agar ekonomi kembali bergairah. Salah satu yang rupanya agak tinggi urgensinya adalah menghidupkan kembali program bantuan langsung kepada puluhan juta keluarga miskin. Merekalah yang nanti akan menjadi mesin penggerak konsumsi.
Untuk melakukannya tentu saja Jokowi perlu uang. Kebetulan kali ini uangnya sedang tidak ada, sehingga tim ekonominya memang harus memeras otak mencari terobosan. Utang bisa saja menjadi jawaban, tapi saya menyarankan agar jangan menempuh jalur itu. Jika yang diperlukan masih di bawah Rp50 triliun, Jokowi masih bisa menunda sejenak beberapa proyek infrastruktur yang nonprioritas. Proyek-proyek itu bisa diteruskan nanti di periode kedua jika ia terpilih.
Kepala Program Magister Manajemen FEB-IU
VICKY Prasetyo mungkin punya obat untuk lesunya perekonomian kita akhir-akhir ini. Tidak percaya? Saya juga awalnya tidak. Tapi begitu saya tenggelam mencermati angka-angka indikator perekonomian dan struktur APBN, barulah saya ”ngeh” bahwa Vicky mungkin punya jawabannya.
Problem utama ekonomi kita saat ini adalah uang yang tidak berputar. Istilahnya ”viralisasi uang” dalam terminologi Vicky (yang akan kita gunakan seterusnya sebagai istilah baru). Viralisasi uang tidak berhasil diciptakan oleh pemerintahan saat ini.
Perputaran uang tertahan di mana-mana sehingga imbasnya konsumsi masyarakat menurun di berbagai sektor. Padahal Vicky telah menunjukkan kepada kita bahwa kunci sukses di era ini adalah menjadikan segala sesuatu viral dan berputar, seperti yang ia lakukan saat menciptakan bahasa ”kelas tinggi” yang digunakan di mana-mana. Viralisasi uang akan menciptakan multiplier effects yang luar biasa besar, termasuk pada pertumbuhan ekonomi.
Indikasi belum optimalnya viralisasi uang ditunjukkan oleh turunnya kinerja beberapa sektor perekonomian. Sebagai contoh, penjualan di sektor ritel pakaian pada Lebaran lalu turun 15% dibanding Lebaran tahun sebelumnya. Kinerja dua peritel besar, Indomaret dan Alfamart, berturut-turut turun 71,03% dan 16,38% pada Semester I ini dibanding tahun lalu. Sementara di sektor properti terjadi penurunan suplai sebesar 9,6% pada kuartal II-2017.
Ironisnya, jumlah tabungan masyarakat dalam bentuk dana pihak ketiga (DPK) di perbankan nasional mencapai kenaikan sebesar 11,18%, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya naik 9,87%. Ini menunjukkan bahwa masyarakat banyak menahan uangnya di bank. Padahal kita memerlukan ”viralisasi uang” agar perekonomian negara tetap tumbuh dengan sehat di atas angka psikologis 5% per tahun. Lalu, mengapa putaran uang ini tertahan? Dan di mana tertahannya?
Viralisasi Uang
Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas, marilah kita sejenak membayangkan sosok SBY dan Jokowi yang menjadi arsitek kebijakan ekonomi bangsa ini 15 tahun terakhir. Mereka berdua punya gaya masing-masing, dan kebetulan gaya keduanya dalam urusan kebijakan ekonomi agak berbeda.
SBY kita kenal cenderung menggunakan pendekatan pembangunan ekonomi yang seimbang antara pendekatan jangka pendek dan jangka panjang. Di masa kepemimpinannya, SBY punya senjata andalan bernama Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai Rp100.000 per bulan yang disalurkan kepada 19,2 juta keluarga miskin di seluruh Indonesia.
Strategi ini dilakukannya selama 10 tahun masa jabatannya dengan beberapa modifikasi. Kebijakan jangka pendek ini diimbangi dengan kebijakan jangka panjang, di mana SBY secara bertahap memulai percepatan pembangunan infrastruktur strategis melalui program MP3EI, sebagai bentuk komitmen pembangunan ekonomi jangka panjang.
Adapun Jokowi lebih condong kepada pendekatan pembangunan ekonomi jangka panjang. Ia memperbesar alokasi untuk dana pembangunan infrastruktur di APBN, jumlahnya hampir 1000 triliun untuk jangka waktu lima tahun. Meski demikian, Jokowi juga tetap mencoba menyeimbangkan sisi kebijakan jangka pendeknya dengan program bantuan langsung nontunai, seperti Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang sampai saat ini telah disalurkan ke 1,25 juta keluarga.
Tentu saja tidak ada yang salah atau yang benar di antara keduanya. Hanya, masing-masing memberikan konsekuensi yang berbeda terhadap pertumbuhan ekonomi. SBY meyakini betul teori keep buying strategy, di mana ”viralisasi uang” akan terjadi selama masyarakat lapisan terbawah memiliki daya beli.
Karenanya, ia memberi prioritas BLT kepada keluarga miskin di APBN. Mengapa? Karena keluarga miskin akan langsung membelanjakan uang bantuan tersebut seluruhnya. Sangat kecil kemungkinan mereka menaruh uang tersebut dalam tabungan. Artinya, uang dari pemerintah tersebut seluruhnya segera mengalir kepada para produsen dan kemudian menggerakkan sektor perekonomian lain yang terkait. Perputaran yang cepat ini kemudian menciptakan ”viralisasi uang.”
Ceritanya akan berbeda jika yang mendapat stimulus adalah keluarga kelas menengah. Mereka punya baseline penghasilan yang lebih dari cukup untuk konsumsi, sehingga setiap tambahan penghasilan kemungkinan besar akan mereka taruh di tabungan atau bentuk investasi lainnya, tidak dihabiskan seluruhnya.
Akibatnya, uang stimulus dari pemerintah jika ditargetkan kepada kelas menengah akan sulit menciptakan efek viralisasi. Sayangnya, inilah kira-kira yang tengah dihadapi oleh Jokowi. Anggaran infrastrukturnya yang demikian besar lebih banyak dinikmati keuntungannya oleh korporasi di industri terkait.
Keuntungan itu kemudian tersalurkan sebagian kepada vendor, supplier, pengusaha, eksekutif dan karyawan di korporasi-korporasi tersebut. karena baseline pendapatan mereka sudah tinggi, kemungkinan besar tambahan penghasilan tersebut akan ditahan oleh mereka dalam tabungan dan investasi. Kecenderungan kelas menengah untuk menahan konsumsi ini juga makin didorong oleh suasana kebatinan ekonomi politik yang muram. Karena mereka umumnya terpelajar, informasi tentang perlambatan ekonomi dan ketidakpastian politik segera mereka tangkap.
Sebagai orang pintar, mereka tentu membuat rencana antisipasi jika terjadi suatu hal yang buruk (misal krisis). Antisipasi yang paling klasik tentu saja dengan cara menabung sebanyak-banyaknya. Jadilah makin sedikit uang yang berputar di luar perbankan.
Harmonisasi Daya Beli
Mandeknya viralisasi uang ini harus segera dicarikan solusi. Tim ekonomi Jokowi harus berani membujuk Pak Presiden untuk melakukan harmonisasi kebijakan agar ekonomi kembali bergairah. Salah satu yang rupanya agak tinggi urgensinya adalah menghidupkan kembali program bantuan langsung kepada puluhan juta keluarga miskin. Merekalah yang nanti akan menjadi mesin penggerak konsumsi.
Untuk melakukannya tentu saja Jokowi perlu uang. Kebetulan kali ini uangnya sedang tidak ada, sehingga tim ekonominya memang harus memeras otak mencari terobosan. Utang bisa saja menjadi jawaban, tapi saya menyarankan agar jangan menempuh jalur itu. Jika yang diperlukan masih di bawah Rp50 triliun, Jokowi masih bisa menunda sejenak beberapa proyek infrastruktur yang nonprioritas. Proyek-proyek itu bisa diteruskan nanti di periode kedua jika ia terpilih.
(thm)