Full Day School: Kenapa Masygul?

Rabu, 09 Agustus 2017 - 07:53 WIB
Full Day School: Kenapa Masygul?
Full Day School: Kenapa Masygul?
A A A
Seto Mulyadi
Dosen Psikologi Universitas Gunadarma
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia

"Berkepribadian dalam lapangan kebudayaan" (Bung Karno).

SEBAGAI
sebuah terobosan yang dilatari iktikad baik demi penguatan karakter siswa, program Mendikbud patut menjadi telaah semua pihak.

Kita tentu bersepakat bahwa manner do matter ; alhasil, pembangunan karakter anak-anak Indonesia sudah seharusnya dilakukan sebagai agenda tanpa henti perbaikan kehidupan bangsa.

Penyelenggaraan full-day school (FDS) sepintas lalu dirisaukan sejumlah kalangan akan menihilkan peran keluarga dan orang tua sebagai elemen mutlak keberhasilan pendidikan siswa.

Itulah salah satu alasan fundamental di balik penolakan terhadap gagasan Mendikbud, yang disertai dengan rasa waswas massal. Keluarga dan orang tua memang merupakan unsur yang tertolakkan sama sekali, bahkan merupakan "guru" utama, dalam proses pendidikan anak.

Namun pada kenyataannya, juga tak terbantahkan bahwa sebagai konsekuensi kesibukan orang tua, banyak anak-anak yang masih diikutkan ke sekian banyak kursus sepulang jam sekolah mereka.

Inisiatif orang tua untuk mengursuskan anak, terlepas dari positif-negatifnya, besar kemungkinan hanya bisa dilakukan oleh keluarga yang memiliki kekuatan finansial. Sebaliknya, bagi keluarga dengan kemampuan keuangan yang sederhana, memberikan anak les/ kursus ini-itu masih merupakan barang mahal.

Terhadap kesenjangan itulah, gagasan tentang full-day school berpeluang menjadi solusi, bahwa semua anak dari semua lapisan keluarga nantinya berkesempatan setara untuk mengasah diri dengan serbaneka keterampilan baru melalui FDS.

Demikian pula kerisauan masyarakat bahwa jam sekolah yang diperpanjang akan berefek kontraproduktif bagi proses tumbuh kembang anak. Riset menemukan bahwa penambahan setiap jam pelajaran memang akan menurunkan kemampuan anak dalam memecahkan persoalan hingga 0,9%.

Namun, pemberian jeda selama 20 hingga 30 menit bisa menaikkan kemampuan itu hingga 1,7%. Lagi pula, sebagai sebuah pendekatan dengan titik penekanan pada aspek karakter, desain ideal FDS nantinya tentu akan lebih mendorong siswa untuk to learn ketimbang to study.

Dengan demikian, jam sekolah yang panjang tidak perlu telalu dicemaskan, sepanjang pemerintah bisa menjamin bahwa teknis penyelenggaraan FDS akan disesuaikan dengan ritme psikobiologis kesiapan siswa.

Senyampang FDS baru seumur jagung dan masih memungkinkan untuk dilakukan kajian, sejumlah sumbang saran dapat diberikan. Pertama, muatan FDS sepatutnya tidak memberikan beban kognitif tambahan yang akan memperletih siswa, baik secara fisik maupun psikis.

FDS bukan penguatan akademis, melainkan wadah bagi siswa untuk menjadi insan-insan unggul paripurna. Penilaian berbentuk pemeringkatan antarsiswa harus dihindari.

Kedua, FDS tidak memunculkan beban pembiayaan ekstra bagi siswa. Itu artinya, jika pemerintah menjadikan FDS sebagai program wajib, pemerintah harus memastikan kesiapan anggaran untuk itu.

Ketiga, alih-alih memberikan pekerjaan rumah kepada siswa, FDS perlu memberikan penugasan kepada orang tua siswa. Penugasan itulah yang akan mengondisikan orang tua untuk tetap mengoptimalkan peran pengasuhan pada setiap kesempatan (sesempit apa pun!) mereka berinteraksi dengan anak-anak.
Ini sekaligus merupakan jawaban atas kerisauan sebagian kalangan akan ternihilkannya peran orang tua akibat FDS.

Keempat, FDS difungsikan sebagai wadah ekstra bagi terpenuhinya hak-hak anak secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya, penyediaan menu sehat, pemeriksaan kesehatan dan kelengkapan imunisasi, pengadaan sarana istirahat (tidur siang), program peningkatan iman dan takwa, serta penyelenggaraan hiburan ramah anak.

Untuk merealisasikannya, Kemendikbud perlu melibatkan kementerian dan lembaga terkait serta elemen-elemen masyarakat pada masing-masing wilayah dalam proses penyusunan kurikulumnya. Pada poin itu pula, patut diajukan harapan bahwa FDS akan menjadi katalisator bagi pengadaan serta penyempurnaan sarana dan prasarana sekolah.

Selanjutnya, FDS memberikan ruang keterlibatan seluas mungkin bagi masyarakat, utamanya untuk memastikan masuknya nilai kearifan lokal dalam materi pendidikannya.

Konsekuensinya, kurikulum FDS akan menjadi template yang sangat mungkin untuk disesuaikan (customizable) dengan kondisi lokal. Demikian pula terkait pemantauan dan evaluasi, forum-forum masyarakat pendidikan berbasis sekolah-orang tua-warga perlu digiatkan.

Pada akhirnya, berhasil ataupun gagalnya FDS membangun karakter siswa tidak bisa diukur hanya dalam satu dua tahun. Penyelenggaraannya bisa dievaluasi kapan saja, sedangkan impact nya baru tertakar belasan, bahkan mungkin puluhan tahun dari sekarang, yaitu setelah anak-anak yang menjalani FDS tumbuh dewasa dan menunjukkan keberadaan mereka di tengah masyarakat.

Karena itu, butuh kepercayaan diri pemerintah untuk menyatakan FDS sebagai cetak biru pendidikan nasional yang akan berlaku terus betapa pun Mendikbud datang dan pergi serta pemerintahan bergonta-ganti.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4678 seconds (0.1#10.140)