50 Tahun Konsensus ASEAN

Rabu, 09 Agustus 2017 - 08:02 WIB
50 Tahun Konsensus ASEAN
50 Tahun Konsensus ASEAN
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder; Director, Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu

TAHUN ini genap 50 tahun usia ASEAN sejak pertama kali dibentuk pada 1967. Organisasi yang awalnya bertujuan memfasilitasi pertemuan-pertemuan informal antarpimpinan demi menjaga kestabilan kawasan di Asia Tenggara dari tarik-menarik kepentingan dalam Perang Dingin, saat ini telah berubah menjadi organisasi yang formal dengan ribuan pertemuan setiap tahun yang membahas masalah mulai kesehatan hingga masalah-masalah di luar kawasan seperti percobaan nuklir di Korea Utara dan masalah laut China Selatan.

Ada beberapa pertemuan yang memiliki dampak positif dan ada juga yang diam di tempat, namun semuanya tergantung konteks dan dari sudut mana kita melihat dan mengevaluasinya. Terlepas dari itu semua, ada satu variabel yang selalu dipertanyakan efektivitas dan efisiensinya, yaitu mekanisme konsultasi (musyawarah) dan konsensus (mufakat).

Apakah ASEAN akan terus menjalankan dua norma tersebut, atau memodifikasi, menjalankan sebagian bahkan meninggalkan sepenuhnya dan diganti dengan mekanisme voting seperti yang banyak dilakukan oleh beberapa organisasi regional lain di dunia.

Saya sendiri berpendapat bahwa norma tersebut perlu tetap dipegang namun untuk beberapa bidang atau sektor harus lebih fleksibel dan ASEAN perlu mulai mengeksplorasi pilihan-pilihan nonkonsensus untuk memutuskan sebuah perkara yang bila dibiarkan berlarut-larut akan terlalu banyak merugikan negara-negara di kawasan.

Ada beberapa perubahan internal dan eksternal yang mungkin perlu menjadi pertimbangan bersama. Perubahan internal menyangkut jumlah negara anggota ASEAN dan struktur demografi masing-masing anggota yang jauh berbeda dibandingkan dengan 50 tahun yang lalu.

ASEAN berdiri dengan dimotori oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Kelima negara ini menandatangani sebuah deklarasi yang dikenal sebagai Deklarasi Bangkok pada 1967. Berturut-turut sejumlah negara lain kemudian bergabung seperti Brunei Darussalam (1987), Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997), dan Kamboja (1999).

Penambahan jumlah anggota artinya penambahan kekuatan, khususnya karena mereka yang berpotensi memperkuat atau memperlemah kawasan telah menjadi bagian internal ASEAN, tetapi juga sekaligus membawa kelemahan tertentu.

Dari sisi ekonomi, ASEAN membentuk potensi pasar tunggal dan basis produksi yang ditandai dengan peningkatan arus barang, layanan, investasi, serta aliran modal dan keterampilan yang lebih bebas. ASEAN melalui AEC (ASEAN Economic Community) memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan sepenuhnya potensi kawasan ini sebagai tujuan investasi terpadu dan tunggal.

Beragam kerja sama ekonomi dengan mitra “plus” ASEAN juga terbukti menambah dinamisnya perekonomian di kawasan ini. Melalui AEC, investor dapat meningkatkan jangkauan pasar mereka menjadi total 600 juta, dibandingkan dengan sekian juta bila hanya berinvestasi di satu negara saja.

Kelemahan dari keanggotaan yang semakin besar adalah rentannya kesatuan negara-negara ASEAN karena perbedaan yang di antara masing-masing anggota seperti perbedaan ekonomi, keyakinan dan agama, penduduk, persaingan perdagangan, masalah perbatasan. Singapura memiliki nilai kemakmuran 23 kali lebih besar dari Kamboja bila dilihat dari pendapatan per kapita.

Dari sisi agama, masalah Rohingya menimbulkan ketegangan negara dengan mayoritas muslim (Malaysia, Indonesia, Brunei) berhadapan dengan negara dengan mayoritas Buddha (Myanmar, Thailand, Laos). Sistem politik dan ideologi pun bervariasi dari sistem politik monarki konstitusional di Brunei hingga sistem satu partai sosialis di Vietnam atau Laos.

Heteregonitas negara-negara anggota tersebut tak dapat dipungkiri memengaruhi proses pengambilan keputusan untuk dapat diambil secara rasional. Sebuah negara anggota dapat menolak untuk konsensus, bahkan membatalkan satu konsensus, karena memiliki persepsi yang sangat bertolak belakang tentang implikasi dari suatu konsensus.

Dalam kasus menghentikan pelanggaran HAM, misalnya terkait tudingan dan penjatuhan hukuman tanpa peradilan yang transparan, bisa diartikan sebagai halangan menyediakan kesan pemerintahan yang kuat sehingga negara yang bersangkutan menolak pembahasan sama sekali.

Dan, ada juga negara lain yang memilih untuk memfasilitasi pemberian “maklum” dengan alasan demi menjaga kerja sama dengan negara yang ingin ditegur. Akibatnya satu isu bisa berlarut-larut pembahasannya dengan ujung penolakan meskipun sudah berpuluh bahkan beratus kali berdialog.

Kegagalan suatu pembahasan mencapai konsensus tidak bisa sekadar diberi solusi dengan memperluas isu atau menambah jumlah pertemuan, karena satu saja kegagalan mencapai konsensus dapat terus menjadi amunisi untuk menolak konsensus di bidang-bidang lainnya.

Perlu ada perhitungan khusus untuk menimbang dengan lebih realistis mana saja isu-isu yang bisa dikerjasamakan lewat mekanisme konsensus; atau akibatnya tenaga dan perhatian kita tersandera padahal prospek hasilnya minus.

Perubahan politik dan ekonomi di sekeliling ASEAN juga bisa menjadi dasar bagi kita untuk mempertimbangkan sejauh mana musyawarah dan mufakat dapat dikesampingkan. Kita perlu mengakui bahwa ASEAN lahir dalam suasana ketegangan Perang Dingin serta kompetisi politik dalam negeri di masing-masing negara anggota. Beberapa rezim pemerintahan negara seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand masih harus berhadapan dengan kekuatan oposisi di dalam negeri yang sering kali berujung dengan terjadinya pelanggaran HAM.

Situasi tersebut semakin rumit ketika banyak tekanan baru lahir dari negara-negara Barat melalui isu HAM dan demokrasi sebagai antisipasi untuk mengurangi laju pengaruh sosialis dari Tiongkok atau Uni Soviet atas negara di Asia Tenggara.

Kompleksitas politik dan ekonomi masa itu yang mendorong pemimpin negara Asia Tenggara untuk sepakat menjalankan politik nonintervensi agar tidak menambah lagi kerumitan di kawasan regional sehingga dapat fokus pada program ekonomi.

Ketegangan dunia pada masa lalu itu sudah mencair selepas runtuhnya blok komunis di satu sisi dan semakin menguatnya demokrasi di masing-masing negara anggota di sisi lain. Ekonomi pasar telah menyatukan kepentingan masing-masing negara dan tidak memberikan pilihan lain selain untuk saling bekerja sama.

Kerja sama tidak hanya untuk memanfaatkan ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga dalam menanggulangi dampak negatif yang timbul seperti masalah human trafficking, penyelundupan barang, korupsi. Tiongkok yang dulu anti terhadap pasar, saat ini justru menjadi pelopor yang terus mendorong liberalisasi sementara AS yang dulu sebagai pelopor liberalisasi justru mendorong kebijakan yang protektif.

Perkembangan ini mengharuskan kita untuk mulai bicara dan mungkin mendefinisikan kembali makna kedaulatan (sovereignty) yang dulu menjadi nilai utama atau garis bawah yang tidak dapat ditawar-tawar. Kedaulatan secara fisik seperti garis batas antarnegara memang masih sangat penting karena beberapa negara masih memiliki sejumlah masalah, baik yang sudah diselesaikan maupun masih berlangsung seperti konflik Kuil Preah Vihear (Thailand-Kamboja), Pulau Batu Putih (Singapura-Malaysia), Zona Ekonomi Eksklusif (Brunei-Malaysia), atau masalah perbatasan Laut China Selatan.

Meski demikian, ada masalah lain yang semestinya tidak lagi berlindung di balik kesucian makna kata kedaulatan seperti kejahatan lintas batas (narkoba, human trafficking, penyelundupan narkoba), masalah lingkungan hidup atau terorisme dan migrasi manusia. Masalah-masalah tersebut memerlukan keterbukaan masing-masing negara karena pelaku atau penyebabnya dan korbannya tidak mengenal batas negara.

Mereka justru “tersandera” oleh kelemahan masing-masing negara yang ironisnya memilih untuk terus mempertahankan kelemahannya dengan bekerja sendiri-sendiri dan menghindari implementasi kerja sama lintas batas.

Terkait dengan masalah-masalah seperti itu, mekanisme konsensus perlu dipertimbangkan serius untuk ditinggalkan. Hal ini bukan masalah yang tabu karena dalam masalah ekonomi mekanisme mayoritas suara terbanyak sudah dilakukan dengan pendekatan ASEAN (N)-X. Yang sudah siap bisa berjalan lebih dulu. Seiring dengan peningkatan globalisasi, pemimpin negara ASEAN telah menyadari bahwa kerja sama ekonomi tidak dapat selamanya berdasarkan asas konsensus.

Keberanian tersebut harus juga mulai diaplikasikan dalam konteks isu-isu strategis ASEAN seperti penegakan HAM. Negara-negara anggota ASEAN perlu melihat isu HAM dari sudut berbeda, bukan dalam arti mengganggu stabilitas negara tetapi dalam arti memberikan solusi yang lebih permanen dalam pelanggaran-pelanggaran yang sulit ditangani sendirian.

Tanpa bicara tentang prinsip-prinsip HAM, para pelaku kejahatan akan terus berlindung pada kelemahan negara yang selalu gagal meminta negara lain untuk bertindak, meskipun korbannya banyak dan meningkat. Tanpa perhatian pada isu-isu strategis dan penanganannya secara bersama-sama, ASEAN dan mekanisme konsensusnya menjadi jauh dari relevansi di zamannya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0503 seconds (0.1#10.140)