Nasionalisme Kaum Tani
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih buat Kesehatan.
PEMIKIRAN tentang nasionalisme mulai berkembang di dalam masyarakat kita pada zaman pergerakan kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh muda bermunculan. Partai-partai pergerakan didirikan. Cita-cita mengenai Indonesia merdeka pun berkumandang di dalam jiwa para tokoh kita.
Mereka umumnya kaum muda yang kemudian memperoleh sebutan progresif revolusioner, kelak, sesudah kita merdeka. Dalam benak mereka, Indonesia merdeka bukan impian dalam tidur yang resah, melainkan perjuangan nyata mempertaruhkan apa saja, termasuk jiwa mereka. Merdeka belum lagi tercapai—dan masih jauh—tapi tokoh-tokoh kita merasakannya sebagai kenyataan hidup yang begitu dekat, lebih dekat dari gagasan mereka sendiri.
Kita mengenal Syarekat Islam, sebuah perkumpulan kaum pedagang batik, berdiri tahun 1912 di Solo. Perkumpulan ini sendiri pada mulanya hanya sebuah paguyuban tingkat kampung di Lawian, pusat batik paling maju. Paguyuban itu disebut Rekso Rumekso, idiom berbahasa Jawa, maksudnya saling menjaga, saling memperhatikan, dan saling melindungi.
Kurang lebih idiom itu mirip dengan apa yang kita kenal siskamling sekarang.
Beberapa tahun kemudian bermunculan partai-partai politik yang berorientasi nasional tanpa menyebut kata itu, sebab merdeka artinya terbentuknya sebuah negara nasional dan sebuah bangsa yang mendukungnya.
Cita-cita merdeka lahir bersamaan dengan atau sedikit lebih dulu arti bangkitnya kesadaran nasional kita. Kesadaran itu membentuk bayangan mengenai sebuah tata kehidupan nasional. Belum ada bentuk yang bersifat rinci, teknis, dan operasional mengenai tata kehidupan tersebut. Kesadaran itu bersifat umum, seperti ungkapan sumpah pemuda pada tahun 1928 tentang Indonesia yang berbahasa satu, bertanah air satu, dan berbangsa satu: Indonesia.
Pada saat itu, kemerdekaan masih sedang kita perjuangkan. Sejarawan terkemuka dari Jepang, Shiraishi, menyebutnya sebuah gerakan yang sedang mencari namanya sendiri: Indonesia. Ini hanya untuk menegaskan bahwa setiap gagasan selalu lahir mendahului kenyataan.
Mungkin dengan kata lain, merdeka lahir, terwujud, atau menjadi kenyataan hidup kita karena ada aspirasi yang demikian kuat dalam benak para tokoh kita. Aspirasi itu kemudian menjadi api perjuangan. Kita berjuang bertaruh nyawa selama bertahun-tahun. Baru kemudian lahir kemerdekaan yang mewujudkan cita-cita nasional kita sehingga gagasan nasionalisme begitu kuat dalam kesadaran politik dan ideologi kita.
Nasionalisme di kalangan kaum elite pergerakan, para tokoh pejuang, dan kelak disebut founding fathers, serta para pahlawan kemerdekaan, para suhada yang bertaruh nyawa demi kemerdekaan kita merupakan cita-cita perjuangan yang bisa diberi sebutan dream comes true.
Mereka menjadi tokoh-tokoh nyata sekaligus imajiner, tokoh sejarah sekaligus tokoh mitologi yang berkibar-kibar. Namun jangan lupa, panggung sejarah bukan milik orang-orang besar semata. Ini juga panggungnya wong cilik, termasuk kaum tani.
Mereka tidak membaca buku-buku perjuangan dan tak kenal dengan gagasan nasionalisme. Namun, mereka bergaul dengan kaum elite itu dan mendengar nasionalisme yang menggelora tersebut.
Pada masa perjuangan mereka bertaruh banyak. Ada pula yang gugur dalam usaha menyelundup ke daerah pendudukan, tertangkap, dan dianiaya hingga mati. Ada yang rela mengorbankan beras, sapi, atau kambing untuk dipersembahkan dalam perjuangan.
Kata perjuangan, berjuang, berkorban, menjadi satu suatu kesadaran yang dalam. Mungkin menjadi identitas diri mereka. Merdeka, bagi mereka, juga sesuatu yang riil, nyata, hidup dalam jiwa mereka. Kaum tani juga bisa membayangkan akan adanya negara merdeka, menjadi bangsa merdeka, dan hidup lebih baik.
Ini tak mengherankan karena kaum tani juga akrab dengan gagasan mengenai Ratu Adil yang bakal mengantar hidup mereka menjadi hidup sungguhan: aman, tenteram, adil, dan makmur. Kaum tani tak lagi hidup dalam impitan kesukaran. Bung Karno adil terhadap mereka. Kelak, sesudah merdeka, mereka disebut soko guru revolusi.
Maknanya, revolusi tak mungkin terjadi kalau tak didukung dengan segenap jiwa raga oleh kaum tani. Bagi Bung Karno, revolusi juga medan kehidupan yang ditempuh dengan gagah berani oleh kaum tani.
Soko guru revolusi merupakan pengakuan tulus atas perjuangan kaum tani yang juga tulus. Soko guru revolusi—juga revolusi yang belum selesai—menjadi milik dan jiwa kaum tani. Bung Karno yang dekat dengan jiwa rakyat memberi kaum tani mahkota megah itu.
Ideologi nasionalisme Bung Karno juga meletakkan kaum tani atau para marhaen ke dalam sentral pergerakan kemerdekaan. Kaum tani berada di pusat revolusi. Kaum Marhaen merupakan pengejawantahan bangsa kita. Mereka tokoh sejarah, tokoh revolusi, dan kelak kepada mereka buah perjuangan itu diabdikan. Mereka berbicara revolusi dan nasionalisme tanpa menyebutnya dengan kata-kata.
Bagi kaum tani revolusi dan nasionalisme itu, darah dan jiwa yang mengalir dalam diri dan menjadi tindakan sehari-hari. Mungkin disebut tindakan revolusioner. Ini potret sejarah kaum tani pada zaman perjuangan dan zaman sesudah kita merdeka. Jauh sebelum itu, setidaknya pada tahun-tahun yang bisa disebut dalam sejarah pemberontakan kaum tani, mungkin dalam catatan sejarawan Kartodirdjo tentang Banten tahun 1888, revolusi dan nasionalisme itu bukan gagasan yang terlalu jauh dari hidup mereka.
Nasionalisme belum dikenal. Kaum pergerakan bahkan belum lahir. Namun apa yang terjadi di Banten, ketika pemberontakan kaum tani mengharapkan bangkitnya pemerintahan lokal, Kesultanan Banten, di sana terselip sejenis simbol kesadaran mengenai kekuatan lokal, dalam apa yang dikenal dengan nativisme. Ini wujud nyata dari apa bisa disebut embrio nasionalisme.
Embrio ini menarik karena jauh mendahului wujud kesadaran yang dimiliki kaum elite pergerakan. Selain itu, juga jauh sekali sebelum sumpah pemuda lahir. Nasionalisme masih berupa bibit-bibit yang belum berkembang itu sudah melahirkan semangat perjuangan melawan kaum penjajah, orang asing, pemerintahan asing, yang harus diganti oleh Kesultanan Banten, suatu pemerintahan dari kita oleh kita.
Kaum tani yang gigih berjuang pada zaman pergerakan kemerdekaan merupakan penjelmaan dan kelahiran kembali roh mereka. Dalam sejarah kaum tani selalu tersia-sia dan merana. Departemen yang mengurusi kaum tani, departemen pertanian itu, mengapa tega mengabaikan mereka? Tak membaca sejarah kaum tani yang selalu mendidih dan penuh semangat revolusioner? Tak paham akan esensi perjuangan kemerdekaan yang mereka dukung dengan segenap jiwa dan raga?
Kaum tani zaman ini pun masih tetap menderita, tapi siapa yang pernah menaruh rasa peduli terhadap kehidupan mereka? Petani tembakau kita bahkan diserang dengan ber bagai aturan mematikan. Kekuatan dagang asing yang serakah melebihi Dasamuka, melebihi VOC, mengancam kaum tani dengan penuh kekejaman. Sejarah bagi kaum tani, apa bedanya dibandingkan dengan nasib mereka dalam masa VOC dan pemerintahan kaum penjajah di Banten seperti dicatat sejarawan Kartodirdjo.
Waktu Rambo dibujuk mantan atasannya dengan lembut bahwa zaman sudah berubah, dengan tegas Rambo menjawab; bagi sebagian orang. Bagi dia sendiri zaman tak berubah. Begitu pula kira-kira bagi petani dan juga petani tembakau. Mereka bicara eksplisit maupun tersirat mengenai nasionalisme, mengenai harga diri bangsa, dan pemerintah kita. Tapi bagi SBY yang loyal pada kepentingan asing, harga diri disebut petani tembakau tak punya arti apapun. Dia tak peduli semegah apa pun nasionalisme kaum tani kita.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih buat Kesehatan.
PEMIKIRAN tentang nasionalisme mulai berkembang di dalam masyarakat kita pada zaman pergerakan kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh muda bermunculan. Partai-partai pergerakan didirikan. Cita-cita mengenai Indonesia merdeka pun berkumandang di dalam jiwa para tokoh kita.
Mereka umumnya kaum muda yang kemudian memperoleh sebutan progresif revolusioner, kelak, sesudah kita merdeka. Dalam benak mereka, Indonesia merdeka bukan impian dalam tidur yang resah, melainkan perjuangan nyata mempertaruhkan apa saja, termasuk jiwa mereka. Merdeka belum lagi tercapai—dan masih jauh—tapi tokoh-tokoh kita merasakannya sebagai kenyataan hidup yang begitu dekat, lebih dekat dari gagasan mereka sendiri.
Kita mengenal Syarekat Islam, sebuah perkumpulan kaum pedagang batik, berdiri tahun 1912 di Solo. Perkumpulan ini sendiri pada mulanya hanya sebuah paguyuban tingkat kampung di Lawian, pusat batik paling maju. Paguyuban itu disebut Rekso Rumekso, idiom berbahasa Jawa, maksudnya saling menjaga, saling memperhatikan, dan saling melindungi.
Kurang lebih idiom itu mirip dengan apa yang kita kenal siskamling sekarang.
Beberapa tahun kemudian bermunculan partai-partai politik yang berorientasi nasional tanpa menyebut kata itu, sebab merdeka artinya terbentuknya sebuah negara nasional dan sebuah bangsa yang mendukungnya.
Cita-cita merdeka lahir bersamaan dengan atau sedikit lebih dulu arti bangkitnya kesadaran nasional kita. Kesadaran itu membentuk bayangan mengenai sebuah tata kehidupan nasional. Belum ada bentuk yang bersifat rinci, teknis, dan operasional mengenai tata kehidupan tersebut. Kesadaran itu bersifat umum, seperti ungkapan sumpah pemuda pada tahun 1928 tentang Indonesia yang berbahasa satu, bertanah air satu, dan berbangsa satu: Indonesia.
Pada saat itu, kemerdekaan masih sedang kita perjuangkan. Sejarawan terkemuka dari Jepang, Shiraishi, menyebutnya sebuah gerakan yang sedang mencari namanya sendiri: Indonesia. Ini hanya untuk menegaskan bahwa setiap gagasan selalu lahir mendahului kenyataan.
Mungkin dengan kata lain, merdeka lahir, terwujud, atau menjadi kenyataan hidup kita karena ada aspirasi yang demikian kuat dalam benak para tokoh kita. Aspirasi itu kemudian menjadi api perjuangan. Kita berjuang bertaruh nyawa selama bertahun-tahun. Baru kemudian lahir kemerdekaan yang mewujudkan cita-cita nasional kita sehingga gagasan nasionalisme begitu kuat dalam kesadaran politik dan ideologi kita.
Nasionalisme di kalangan kaum elite pergerakan, para tokoh pejuang, dan kelak disebut founding fathers, serta para pahlawan kemerdekaan, para suhada yang bertaruh nyawa demi kemerdekaan kita merupakan cita-cita perjuangan yang bisa diberi sebutan dream comes true.
Mereka menjadi tokoh-tokoh nyata sekaligus imajiner, tokoh sejarah sekaligus tokoh mitologi yang berkibar-kibar. Namun jangan lupa, panggung sejarah bukan milik orang-orang besar semata. Ini juga panggungnya wong cilik, termasuk kaum tani.
Mereka tidak membaca buku-buku perjuangan dan tak kenal dengan gagasan nasionalisme. Namun, mereka bergaul dengan kaum elite itu dan mendengar nasionalisme yang menggelora tersebut.
Pada masa perjuangan mereka bertaruh banyak. Ada pula yang gugur dalam usaha menyelundup ke daerah pendudukan, tertangkap, dan dianiaya hingga mati. Ada yang rela mengorbankan beras, sapi, atau kambing untuk dipersembahkan dalam perjuangan.
Kata perjuangan, berjuang, berkorban, menjadi satu suatu kesadaran yang dalam. Mungkin menjadi identitas diri mereka. Merdeka, bagi mereka, juga sesuatu yang riil, nyata, hidup dalam jiwa mereka. Kaum tani juga bisa membayangkan akan adanya negara merdeka, menjadi bangsa merdeka, dan hidup lebih baik.
Ini tak mengherankan karena kaum tani juga akrab dengan gagasan mengenai Ratu Adil yang bakal mengantar hidup mereka menjadi hidup sungguhan: aman, tenteram, adil, dan makmur. Kaum tani tak lagi hidup dalam impitan kesukaran. Bung Karno adil terhadap mereka. Kelak, sesudah merdeka, mereka disebut soko guru revolusi.
Maknanya, revolusi tak mungkin terjadi kalau tak didukung dengan segenap jiwa raga oleh kaum tani. Bagi Bung Karno, revolusi juga medan kehidupan yang ditempuh dengan gagah berani oleh kaum tani.
Soko guru revolusi merupakan pengakuan tulus atas perjuangan kaum tani yang juga tulus. Soko guru revolusi—juga revolusi yang belum selesai—menjadi milik dan jiwa kaum tani. Bung Karno yang dekat dengan jiwa rakyat memberi kaum tani mahkota megah itu.
Ideologi nasionalisme Bung Karno juga meletakkan kaum tani atau para marhaen ke dalam sentral pergerakan kemerdekaan. Kaum tani berada di pusat revolusi. Kaum Marhaen merupakan pengejawantahan bangsa kita. Mereka tokoh sejarah, tokoh revolusi, dan kelak kepada mereka buah perjuangan itu diabdikan. Mereka berbicara revolusi dan nasionalisme tanpa menyebutnya dengan kata-kata.
Bagi kaum tani revolusi dan nasionalisme itu, darah dan jiwa yang mengalir dalam diri dan menjadi tindakan sehari-hari. Mungkin disebut tindakan revolusioner. Ini potret sejarah kaum tani pada zaman perjuangan dan zaman sesudah kita merdeka. Jauh sebelum itu, setidaknya pada tahun-tahun yang bisa disebut dalam sejarah pemberontakan kaum tani, mungkin dalam catatan sejarawan Kartodirdjo tentang Banten tahun 1888, revolusi dan nasionalisme itu bukan gagasan yang terlalu jauh dari hidup mereka.
Nasionalisme belum dikenal. Kaum pergerakan bahkan belum lahir. Namun apa yang terjadi di Banten, ketika pemberontakan kaum tani mengharapkan bangkitnya pemerintahan lokal, Kesultanan Banten, di sana terselip sejenis simbol kesadaran mengenai kekuatan lokal, dalam apa yang dikenal dengan nativisme. Ini wujud nyata dari apa bisa disebut embrio nasionalisme.
Embrio ini menarik karena jauh mendahului wujud kesadaran yang dimiliki kaum elite pergerakan. Selain itu, juga jauh sekali sebelum sumpah pemuda lahir. Nasionalisme masih berupa bibit-bibit yang belum berkembang itu sudah melahirkan semangat perjuangan melawan kaum penjajah, orang asing, pemerintahan asing, yang harus diganti oleh Kesultanan Banten, suatu pemerintahan dari kita oleh kita.
Kaum tani yang gigih berjuang pada zaman pergerakan kemerdekaan merupakan penjelmaan dan kelahiran kembali roh mereka. Dalam sejarah kaum tani selalu tersia-sia dan merana. Departemen yang mengurusi kaum tani, departemen pertanian itu, mengapa tega mengabaikan mereka? Tak membaca sejarah kaum tani yang selalu mendidih dan penuh semangat revolusioner? Tak paham akan esensi perjuangan kemerdekaan yang mereka dukung dengan segenap jiwa dan raga?
Kaum tani zaman ini pun masih tetap menderita, tapi siapa yang pernah menaruh rasa peduli terhadap kehidupan mereka? Petani tembakau kita bahkan diserang dengan ber bagai aturan mematikan. Kekuatan dagang asing yang serakah melebihi Dasamuka, melebihi VOC, mengancam kaum tani dengan penuh kekejaman. Sejarah bagi kaum tani, apa bedanya dibandingkan dengan nasib mereka dalam masa VOC dan pemerintahan kaum penjajah di Banten seperti dicatat sejarawan Kartodirdjo.
Waktu Rambo dibujuk mantan atasannya dengan lembut bahwa zaman sudah berubah, dengan tegas Rambo menjawab; bagi sebagian orang. Bagi dia sendiri zaman tak berubah. Begitu pula kira-kira bagi petani dan juga petani tembakau. Mereka bicara eksplisit maupun tersirat mengenai nasionalisme, mengenai harga diri bangsa, dan pemerintah kita. Tapi bagi SBY yang loyal pada kepentingan asing, harga diri disebut petani tembakau tak punya arti apapun. Dia tak peduli semegah apa pun nasionalisme kaum tani kita.
(dam)