Perbaiki Data Produksi Beras
A
A
A
Posman Sibuea
Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara, Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Sumatera Utara
DALAM beberapa pekan belakangan muncul pro dan kontra soal beras kemasan yang menggunakan bahan dasar padi bersubsidi. Berawal dari kasus dugaan penyimpangan tata niaga beras yang melibatkan PT Indo Beras Unggul (IBU).
Kementan bersama Polri dan Satgas Pangan menggerebek gudang PT IBU di Bekasi, Jawa Barat, yang diduga membeli beras hasil subsidi input, yakni IR64 seharga Rp 4.900/kg dari petani lalu memoles dan menjualnya dengan harga berlipat-lipat hingga Rp20.400/kg. Kasus PT IBU di Bekasi hanya fenomena puncak gunung es.
Jika Satgas Pangan bekerja dengan komitmen tinggi untuk kedaulatan pangan, hal serupa kemungkinan besar akan ditemukan di sejumlah daerah, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Permainan model PT IBU telah mengacaukan cadangan beras pemerintah (CBP). Produksi gabah nasional, konon disubsidi pupuk dan benihnya sebagian digunakan untuk bahan dasar beras kemasan secara dioplos dan memanipulasi nilai gizi.
Menguras Cadangan Beras
Pola pengopolasan beras subsidi menjadi beras kemasan yang dilabeli premium tentu secara perlahan akan menguras CBP. Permainan ala mafia pangan seperti ini sudah berlangsung lama sehingga mendorong pemerintah membuka keran impor beras setiap tahun.
Meski produksi gabah kering giling (GKG) tahun 2016 sebanyak 79,1 juta ton, ternyata negeri ini masih dibanjiri beras impor mencapai 1,2 juta ton yang merupakan sisa dari kontrak impor tahun 2015. Beras yang datang tersebut difungsikan sebagai beras cadangan pemerintah untuk menjamin ketersediaan beras nasional.
Stok CBP harus ditambah agar stabilitas harga terjamin sekaligus mengantisipasi dampak kekeringan atau banjir yang bisa datang sewaktu-waktu. Jika mengacu pada produksi GKG tiga tahun terakhir seharusnya impor tidak harus dilakukan.
Produksi 2015 naik dari 70,8 juta ton dari tahun 2014 menjadi 75,4 juta ton. Produksi ini naik lagi pada 2016 menjadi 79,1 juta ton. Jika dikonversi ke beras akan diperoleh jumlah spektakuler, yakni berturut 44,5 juta ton tahun 2015 dan 46,5 juta ton tahun 2016. Proyeksi kebutuhan 32,3 juta ton sehingga diperkirakan ada surplus tahun 2015 dan 2016 sekitar 22 juta ton.
Namun faktanya, beras memang tidak ada sebanyak angka yang disampaikan pemerintah selama ini sehingga harus mengimpor beras 1,5 juta ton tahun 2015 dan 2016. Soal impor beras dan meningkatnya produksi beras setiap tahun menimbulkan keheranan di masyarakat mengenai koordinasi pada aras tertinggi pemerintahan.
Meski masing-masing memiliki argumentasi, pro dan kontra ini menukik pada pertanyaan apakah ada dusta dalam produksi beras nasional? Soal perlu tidaknya mengimpor beras bukan lagi antara Kementerian Pertanian dengan Kementerian Perdagangan dan Perum Bulog, melainkan diduga sudah ada tangan-tangan tidak kelihatan memainkan angka produksi beras dan stok nasional.
Sejak tahun 2015 produksi beras diklaim pemerintah naik secara signifikan. Produksi padi nasional naik 6,64% dari 2014 atau mencapai 75,55 juta ton gabah kering giling (GKG). Apabila dikonversi dalam beras dengan rendemen 63% dari GKG menjadi beras, maka produksi padi di atas setara 47,6 juta ton beras dan Indonesia surplus beras. Bila angka itu benar adanya, Indonesia setidaknya pada 2015 tidak perlu mengimpor beras.
Namun, kenyataannya pemerintah tetap menggelindingkan bola impor beras. Masuknya impor beras yang besar menempatkan Indonesia tetap menjadi negara pengimpor beras terbesar kedua di dunia setelah Nigeria, negara rawan pangan di Afrika, pada tahun yang sama diperkirakan mengimpor sekitar 2,0 juta ton beras.
Pemerintah Indonesia selalu mengimpor beras untuk mengisi stok nasional, khusus untuk CBP yang ditujukan sebagai beras sejahtera (restra). Meskipun Indonesia memiliki potensi pangan lokal ”nonberas” yang bisa diandalkan sebagai makanan pokok pengganti beras.
Demi stabilitas harga, cadangan beras pemerintah di Bulog harus selalu terjaga sekitar 4,0 juta ton sehingga ada alasan membuka kran impor. Lantas, ke mana larinya surplus beras yang jumlahnya amat besar sejak tahun 2014? Pasalnya, produksi gabah pada 2014 disebut-sebut sudah mencapai 70,8 juta. Adakah ketidakjujuran dalam perhitungan produksi beras nasional?
Tulisan ini tidak bermaksud hendak memperkeruh situasi pro dan kontra mengimpor beras. Namun, yang hendak disampaikan ialah jika suatu saat Indonesia membutuhkan beras dalam jumlah besar karena ada fenomena alam tidak bisa diramalkan sehingga terpaksa harus mengimpor, hal itu wajar-wajar saja. Kekeringan yang berkepanjangan dan banjir bandang menerjang areal produksi bisa mengakibatkan Indonesia kekurangan beras dalam jumlah besar.
Jika pada masa mendatang Indonesia tidak bisa lagi berswasembada beras, itu juga normal saja. Pasalnya, penduduk yang mengonsumsi beras terus bertambah banyak. Di sini akan berlaku aksioma. Pertumbuhan penduduk akan beradu cepat dengan produksi pangan secara alamiah bergerak melambat karena terjadi penyempitan lahan. Tanah untuk pertanian pangan bersifat fixed quantity yang harus dibagi dengan jumlah penduduk terus bertambah.
Fenomena mengendurnya program pengendalian jumlah penduduk telah memperburuk masalah pengadaan beras. Pertumbuhan penduduk yang masih tinggi sekitar 1,4% menunjukkan jumlah penduduk Indonesia harus diberi makan nasi bertambah setiap tahun sebanyak penduduk Brunai Darussalam di tengah produksi beras yang cenderung menurun. Berbeda dengan negara-negara berkembang, seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand, yang tidak mengalami masalah seberat Indonesia guna memenuhi kebutuhan beras penduduknya. Jumlah penduduk Indonesia menduduki urutan ke-4 di dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Pada masa mendatang jika pertambahan penduduk tidak bisa dikendalikan akan mendorong penyusutan sumber daya alam dan perusakan lingkungan masif, yang pada gilirannya menurunkan produktivitas lahan. Tesis kuno Thomas Malthus (1798) bertajuk ”An Essay on the Principle of Population”, yang bergema melintasi zaman menyebutkan pertumbuhan penduduk niscaya berbenturan dengan apa yang disebut diminishing returns terkait dengan ketersediaan lahan dan ketercukupan pangan.
Meski teori Malthus tak menjelma menjadi kenyataan karena ada faktor lain yang luput dari analisisnya, yakni tidak memasukkan variabel penggunaan modal fisik dan inovasi teknologi pertanian untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan, tapi jika Indonesia abai membangun pertanian berbasis teknologi modern dan kurang memperhatikan kesejahteraan petani lokal, kondisi lebih buruk bisa terjadi. Krisis pangan dapat memicu kelaparan massal dan lost generation.
Jujur Soal Data Produksi
Target pemerintah yang menggenjot produksi beras setiap tahun adalah niat mulia guna menghindari terjadinya krisis pangan akut di tengah bangsa. Namun, upaya ini sesungguhnya menghadapi tantangan berat, mengingat faktor alih fungsi lahan pertanian pangan amat signifikan dan produktivitas lahan yang kian melambat, serangan hama dan penyakit semakin luas terkait dengan perubahan iklim global yang kian ekstrem.
Dengan pertimbangan itu, hampir dipastikan target peningkatan produksi beras sulit dicapai, kecuali ada terobosan-terobosan radikal membuka peluang untuk mencapainya dan jujur soal data produksi. Jika kita merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi gabah pada 2017 mencapai 79,1 juta ton atau naik 4,9% dari tahun sebelumnya seakan mengabaikan sejumlah faktor penghambat tersebut terhadap peningkatan produksi beras.
Namun di sisi lain, andil kelompok pangan dalam pembentukan inflasi nasional cenderung membesar dalam kurun waktu setahun terakhir. Penyebabnya jelas, naiknya harga beras. Sayangnya, pemerintah tidak mau berterus terang atas penurunan produksi beras nasional, justru kerap menyalahkan masyarakat yang cenderung menumpuk stok sebagai reaksi atas gejolak kehidupan politik.
Lantas siapa harus bertanggung jawab atas keberadaan angka-angka peningkatan produksi beras yang acap membingungkan masyarakat banyak itu? Saatnya pemerintah terbuka dan jujur kepada warga soal turunnya produksi beras dengan menjelaskan berbagai faktor penghambatnya. Masyarakat bisa memahami beban psikologis pemerintah atas realitas prestasi swasembada beras yang pernah dicapai.
Jika saat ini kondisi lapangan ternyata berbeda dari yang diharapkan, janganlah memunculkan angka-angka ABS alias laporan ”asal bapak senang”. Ke depan pemerintah harus memperbaiki data produksi beras nasional sehingga tidak ada lagi dusta di antara kita! Pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan pemerintah paling tidak ada dua.
Pertama, mendorong penggunaan sejumlah varietas padi unggul di daerah-daerah yang menjadi lumbung beras nasional. Kedua, mengubah paradigma kecukupan beras menjadi kecukupan pangan dalam arti luas dengan mendidik masyarakat untuk mendiversifikasi konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal. Jika keduanya bisa diselesaikan secara baik, maka kasus pengoplosan beras model kemasan ”Maknyuss” tidak terulang lagi.
Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara, Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Sumatera Utara
DALAM beberapa pekan belakangan muncul pro dan kontra soal beras kemasan yang menggunakan bahan dasar padi bersubsidi. Berawal dari kasus dugaan penyimpangan tata niaga beras yang melibatkan PT Indo Beras Unggul (IBU).
Kementan bersama Polri dan Satgas Pangan menggerebek gudang PT IBU di Bekasi, Jawa Barat, yang diduga membeli beras hasil subsidi input, yakni IR64 seharga Rp 4.900/kg dari petani lalu memoles dan menjualnya dengan harga berlipat-lipat hingga Rp20.400/kg. Kasus PT IBU di Bekasi hanya fenomena puncak gunung es.
Jika Satgas Pangan bekerja dengan komitmen tinggi untuk kedaulatan pangan, hal serupa kemungkinan besar akan ditemukan di sejumlah daerah, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Permainan model PT IBU telah mengacaukan cadangan beras pemerintah (CBP). Produksi gabah nasional, konon disubsidi pupuk dan benihnya sebagian digunakan untuk bahan dasar beras kemasan secara dioplos dan memanipulasi nilai gizi.
Menguras Cadangan Beras
Pola pengopolasan beras subsidi menjadi beras kemasan yang dilabeli premium tentu secara perlahan akan menguras CBP. Permainan ala mafia pangan seperti ini sudah berlangsung lama sehingga mendorong pemerintah membuka keran impor beras setiap tahun.
Meski produksi gabah kering giling (GKG) tahun 2016 sebanyak 79,1 juta ton, ternyata negeri ini masih dibanjiri beras impor mencapai 1,2 juta ton yang merupakan sisa dari kontrak impor tahun 2015. Beras yang datang tersebut difungsikan sebagai beras cadangan pemerintah untuk menjamin ketersediaan beras nasional.
Stok CBP harus ditambah agar stabilitas harga terjamin sekaligus mengantisipasi dampak kekeringan atau banjir yang bisa datang sewaktu-waktu. Jika mengacu pada produksi GKG tiga tahun terakhir seharusnya impor tidak harus dilakukan.
Produksi 2015 naik dari 70,8 juta ton dari tahun 2014 menjadi 75,4 juta ton. Produksi ini naik lagi pada 2016 menjadi 79,1 juta ton. Jika dikonversi ke beras akan diperoleh jumlah spektakuler, yakni berturut 44,5 juta ton tahun 2015 dan 46,5 juta ton tahun 2016. Proyeksi kebutuhan 32,3 juta ton sehingga diperkirakan ada surplus tahun 2015 dan 2016 sekitar 22 juta ton.
Namun faktanya, beras memang tidak ada sebanyak angka yang disampaikan pemerintah selama ini sehingga harus mengimpor beras 1,5 juta ton tahun 2015 dan 2016. Soal impor beras dan meningkatnya produksi beras setiap tahun menimbulkan keheranan di masyarakat mengenai koordinasi pada aras tertinggi pemerintahan.
Meski masing-masing memiliki argumentasi, pro dan kontra ini menukik pada pertanyaan apakah ada dusta dalam produksi beras nasional? Soal perlu tidaknya mengimpor beras bukan lagi antara Kementerian Pertanian dengan Kementerian Perdagangan dan Perum Bulog, melainkan diduga sudah ada tangan-tangan tidak kelihatan memainkan angka produksi beras dan stok nasional.
Sejak tahun 2015 produksi beras diklaim pemerintah naik secara signifikan. Produksi padi nasional naik 6,64% dari 2014 atau mencapai 75,55 juta ton gabah kering giling (GKG). Apabila dikonversi dalam beras dengan rendemen 63% dari GKG menjadi beras, maka produksi padi di atas setara 47,6 juta ton beras dan Indonesia surplus beras. Bila angka itu benar adanya, Indonesia setidaknya pada 2015 tidak perlu mengimpor beras.
Namun, kenyataannya pemerintah tetap menggelindingkan bola impor beras. Masuknya impor beras yang besar menempatkan Indonesia tetap menjadi negara pengimpor beras terbesar kedua di dunia setelah Nigeria, negara rawan pangan di Afrika, pada tahun yang sama diperkirakan mengimpor sekitar 2,0 juta ton beras.
Pemerintah Indonesia selalu mengimpor beras untuk mengisi stok nasional, khusus untuk CBP yang ditujukan sebagai beras sejahtera (restra). Meskipun Indonesia memiliki potensi pangan lokal ”nonberas” yang bisa diandalkan sebagai makanan pokok pengganti beras.
Demi stabilitas harga, cadangan beras pemerintah di Bulog harus selalu terjaga sekitar 4,0 juta ton sehingga ada alasan membuka kran impor. Lantas, ke mana larinya surplus beras yang jumlahnya amat besar sejak tahun 2014? Pasalnya, produksi gabah pada 2014 disebut-sebut sudah mencapai 70,8 juta. Adakah ketidakjujuran dalam perhitungan produksi beras nasional?
Tulisan ini tidak bermaksud hendak memperkeruh situasi pro dan kontra mengimpor beras. Namun, yang hendak disampaikan ialah jika suatu saat Indonesia membutuhkan beras dalam jumlah besar karena ada fenomena alam tidak bisa diramalkan sehingga terpaksa harus mengimpor, hal itu wajar-wajar saja. Kekeringan yang berkepanjangan dan banjir bandang menerjang areal produksi bisa mengakibatkan Indonesia kekurangan beras dalam jumlah besar.
Jika pada masa mendatang Indonesia tidak bisa lagi berswasembada beras, itu juga normal saja. Pasalnya, penduduk yang mengonsumsi beras terus bertambah banyak. Di sini akan berlaku aksioma. Pertumbuhan penduduk akan beradu cepat dengan produksi pangan secara alamiah bergerak melambat karena terjadi penyempitan lahan. Tanah untuk pertanian pangan bersifat fixed quantity yang harus dibagi dengan jumlah penduduk terus bertambah.
Fenomena mengendurnya program pengendalian jumlah penduduk telah memperburuk masalah pengadaan beras. Pertumbuhan penduduk yang masih tinggi sekitar 1,4% menunjukkan jumlah penduduk Indonesia harus diberi makan nasi bertambah setiap tahun sebanyak penduduk Brunai Darussalam di tengah produksi beras yang cenderung menurun. Berbeda dengan negara-negara berkembang, seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand, yang tidak mengalami masalah seberat Indonesia guna memenuhi kebutuhan beras penduduknya. Jumlah penduduk Indonesia menduduki urutan ke-4 di dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Pada masa mendatang jika pertambahan penduduk tidak bisa dikendalikan akan mendorong penyusutan sumber daya alam dan perusakan lingkungan masif, yang pada gilirannya menurunkan produktivitas lahan. Tesis kuno Thomas Malthus (1798) bertajuk ”An Essay on the Principle of Population”, yang bergema melintasi zaman menyebutkan pertumbuhan penduduk niscaya berbenturan dengan apa yang disebut diminishing returns terkait dengan ketersediaan lahan dan ketercukupan pangan.
Meski teori Malthus tak menjelma menjadi kenyataan karena ada faktor lain yang luput dari analisisnya, yakni tidak memasukkan variabel penggunaan modal fisik dan inovasi teknologi pertanian untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan, tapi jika Indonesia abai membangun pertanian berbasis teknologi modern dan kurang memperhatikan kesejahteraan petani lokal, kondisi lebih buruk bisa terjadi. Krisis pangan dapat memicu kelaparan massal dan lost generation.
Jujur Soal Data Produksi
Target pemerintah yang menggenjot produksi beras setiap tahun adalah niat mulia guna menghindari terjadinya krisis pangan akut di tengah bangsa. Namun, upaya ini sesungguhnya menghadapi tantangan berat, mengingat faktor alih fungsi lahan pertanian pangan amat signifikan dan produktivitas lahan yang kian melambat, serangan hama dan penyakit semakin luas terkait dengan perubahan iklim global yang kian ekstrem.
Dengan pertimbangan itu, hampir dipastikan target peningkatan produksi beras sulit dicapai, kecuali ada terobosan-terobosan radikal membuka peluang untuk mencapainya dan jujur soal data produksi. Jika kita merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi gabah pada 2017 mencapai 79,1 juta ton atau naik 4,9% dari tahun sebelumnya seakan mengabaikan sejumlah faktor penghambat tersebut terhadap peningkatan produksi beras.
Namun di sisi lain, andil kelompok pangan dalam pembentukan inflasi nasional cenderung membesar dalam kurun waktu setahun terakhir. Penyebabnya jelas, naiknya harga beras. Sayangnya, pemerintah tidak mau berterus terang atas penurunan produksi beras nasional, justru kerap menyalahkan masyarakat yang cenderung menumpuk stok sebagai reaksi atas gejolak kehidupan politik.
Lantas siapa harus bertanggung jawab atas keberadaan angka-angka peningkatan produksi beras yang acap membingungkan masyarakat banyak itu? Saatnya pemerintah terbuka dan jujur kepada warga soal turunnya produksi beras dengan menjelaskan berbagai faktor penghambatnya. Masyarakat bisa memahami beban psikologis pemerintah atas realitas prestasi swasembada beras yang pernah dicapai.
Jika saat ini kondisi lapangan ternyata berbeda dari yang diharapkan, janganlah memunculkan angka-angka ABS alias laporan ”asal bapak senang”. Ke depan pemerintah harus memperbaiki data produksi beras nasional sehingga tidak ada lagi dusta di antara kita! Pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan pemerintah paling tidak ada dua.
Pertama, mendorong penggunaan sejumlah varietas padi unggul di daerah-daerah yang menjadi lumbung beras nasional. Kedua, mengubah paradigma kecukupan beras menjadi kecukupan pangan dalam arti luas dengan mendidik masyarakat untuk mendiversifikasi konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal. Jika keduanya bisa diselesaikan secara baik, maka kasus pengoplosan beras model kemasan ”Maknyuss” tidak terulang lagi.
(whb)