Viral Berbuah Radikal
A
A
A
Heru Susetyo
Staf Pengajar Viktimologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia & Sekjen Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia (APVI)
SUDAH bukan rahasia umum bahwa masyarakat Indonesia amat gemar berbagi informasi dan konten-konten apa pun di media sosial. Entah itu media Facebook, Instagram, WhatsApp, Path, Line, YouTube, Snapchat, dan lain sebagainya. Dari hal-hal yang bersifat pribadi, kegembiraan dan kegilaan kelompok, meme - meme humor dan plesetan , sampai berita-berita, foto-foto, ataupun rekaman kejahatan terkini di semua wilayah, semua diumbar di jagat media sosial tanpa sensor dan tanpa kendali. Setiap orang berlomba-lomba meneruskan, atau mem-viral-kan informasi, gambar, atau video yang diterimanya tanpa berpikir panjang. Yang ada dalam benak hanyalah kebanggaan karena mendapatkan informasi lebih awal atau karena dapat meneruskan informasi penting paling dahulu.
Kebiasaan tersebut barangkali ada manfaatnya. Misalnya ketika informasi yang disampaikan memang akurat dan perlu diketahui oleh banyak pihak. Seperti adanya bencana banjir, gempa bumi, atau kemacetan di lokasi tertentu, ataupun ada pasien yang memerlukan golongan darah tertentu secara cepat. Namun sayangnya, tidak semua informasi, gambar, ataupun video yang di-broadcast tersebut bermanfaat. Tidak semua akurat. Tidak semua boleh diumbar ke publik. Tidak semua berguna untuk khalayak ramai. Apalagi bila yang di-viral-kan adalah peristiwa kejahatan atau kekerasan, sering kali lebih banyak kerugian daripada manfaatnya.
Misalnya, kasus bullying yang dilakukan oknum pelajar, yang baru-baru ini terjadi terhadap seorang gadis usia SMP oleh sembilan rekannya yang berusia SD dan SMP di satu pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat pada 14 Juli 2017. Lalu kasus bullying lain yang terjadi terhadap seorang mahasiswa berkebutuhan khusus oleh rekan-rekan mahasiswanya di satu PTS bilangan Depok.
Ditambah lagi dengan video singkat tentang dua orang wanita kakak beradik yang melakukan bunuh diri di apartemen Bandung pada 24 Juli 2017. Bahkan hingga perselisihan menantu vs mertua yang diduga terjadi di Bandung di mana saling bicara keras juga viral di dunia maya. Semuanya terekam jelas dalam ingatan dan pandangan publik. Bukan karena gencarnya pemberitaan dari media konvensional ataupun sosialisasi dari penegak hukum, namun karena viralnya tayangan video singkat kekerasan-kekerasan tersebut di antara para warganet (netizens). Apakah melalui telepon seluler ataupun perangkat pengakses internet lainnya.
Mengapa viralisasi kekerasan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya? Mengapa perbuatan simple untuk mem-broadcasting suatu berita, gambar, ataupun video bisa berbuah perilaku radikal dan akhirnya menimbulkan viktimisasi?
Tiga Dampak Negatif Viralisasi
Paling tidak ada tiga alasan mengapa kebiasaan memviralkan informasi, gambar, video, dan konten-konten tanpa kontrol itu patut dihindari. Pertama, paparan kekerasan melalui media berpotensi melahirkan perilaku kekerasan di kemudian hari. Cukup banyak riset yang menegaskan relasi antara individu yang terpapar kekerasan melalui media dengan meningkatnya kekerasan dan menurunnya sensitivitas individu terhadap kekerasan di waktu mendatang. Huesmann & Kirwill (2007) menyebutkan bahwa perilaku kekerasan sering kali adalah produk dari pengaruh kekhasan masing-masing individu dan faktor-faktor pemicu lain yang sifatnya situasional. Satu faktor penting yang berkontribusi terhadap perilaku seseorang menjadi lebih keras pada jangka panjang ataupun lahirnya perilaku kekerasan di jangka pendek adalah terpapar kekerasan secara konstan (exposure to violence ).
Para peneliti dari Wake Forest University Baptist Medical Center (ScienceDaily, 2000) meyakini bahwa kekerasan adalah perilaku yang dipelajari (learned behavior ). Robert Durant, salah seorang peneliti, menyebutkan bahwa anak-anak dan remaja berpotensi untuk terlibat dalam kekerasan sebagai buah dari pembelajaran sosial yang mereka dapatkan dari suatu paparan kekerasan. Riset yang mereka lakukan terhadap pelajar di Georgia Middle School, USA, pada 722 pelajar usia 11 dan 12 tahun yang tinggal di pemukiman umum, mengenai apakah mereka pernah terpapar kekerasan atau menjadi korban kejahatan, menunjukkan hasil yang menarik.
Hanya 1,4% dari responden pelajar tersebut yang tak pernah menyaksikan atau menjadi korban kekerasan. Sebanyak 54,1% mengaku pernah menyaksikan atau bahkan menjadi korban kekerasan dan 15% bahkan terlibat dalam kekerasan. Dari mereka yang kemudian terpapar dalam kekerasan tersebut, 58,5% mengaku tidak terlibat dalam perilaku kekerasan, lalu 24,5% mengaku terlibat dalam satu atau dua kekerasan, sementara 12% mengaku terlibat dalam tiga sampai enam kekerasan, 5% terlibat dalam tujuh atau lebih kekerasan. Menariknya, 30% di antara mereka sering kali membawa senjata untuk berjaga-jaga.
Kedua, viralisasi kekerasan melalui media akan menurunkan sensitivitas individu terhadap suatu kekerasan. Teori psikologi yang berkembang beberapa dekade terakhir menjelaskan bahwa faktor-faktor pemicu perilaku kekerasan dalam jangka pendek adalah proses meniru, mengambil pola dasar, ataupun memperoleh transfer dari suatu rangsangan tertentu yang dalam jangka panjang dapat berdampak pada menurunnya tingkat sensitivitas pada kekerasan (desentization ) (Huesmann & Kirwill, 2007).
Kemudian, studi lintas keilmuan dalam jangka waktu panjang telah membuktikan bahwa anak-anak ataupun remaja yang secara reguler terpapar kekerasan melalui media ataupun kekerasan langsung di dunia nyata di sekelilingnya akan berperilaku lebih agresif dalam jangka waktu pendek maupun panjang (Anderson et al.,2003 dalam Huesmann & Kirwill, 2007)
Lestarinya kasus bullying di Indonesia antara lain karena sikap kurang sensitif dari saksi ataupun orang di sekelilingnya. Ratna Djuwita, peneliti fakultas psikologi UI, menyebutkan bahwa peristiwa bullying pada anak di lingkungan sekolah umumnya dilihat orang lain atau saksi. Meski demikian, saksi yang melihat aksi bullying tidak berupaya mencegah, menghentikan, ataupun melaporkan aksi bullying tersebut. Jarang sekali bullying tanpa dilihat orang lain, pasti ada saksi. Masalahnya, sebagian besar saksi tidak berbuat apa-apa ketika kasus itu sedang terjadi. Bahkan jika diambil video, video tersebut malah disebarluaskan. Ini sama saja dengan mendukung aksi bullying .
Hal tersebut dapat terjadi karena proses pembiasaan terhadap paparan kekerasan yang konstan. Semula, suatu kejahatan dan kekerasan mungkin dianggap hal yang luar biasa. Namun, lama-kelamaan, akibat paparan kekerasan (exposure to violence ) yang terjadi terus-menerus secara bertubi-tubi, sensitivitas tersebut berpotensi berkurang. Kekerasan tidak lagi dianggap peristiwa luar biasa yang terkategori sebagai kejahatan yang layak dilaporkan ke polisi. Sebagai contoh, orang tua memukul anak dengan sengaja di muka umum ataupun di ranah domestik adalah suatu kekerasan dan dapat dipidana, utamanya di negara-negara yang menjunjung tinggi rule of law.
Namun apabila itu terjadi di negara dunia ketiga di mana praktik-praktik kekerasan berlangsung lama tanpa ada penindakan hukum atau bahkan mendapatkan justifikasi sosial dan budaya, termasuk dari media konvensional dan media sosial, ceritanya bisa berbeda. Hal yang terjadi kemudian bisa ditebak. Alih-alih mengutuk dan menjauhi kekerasan, sang anak, grup, dan masyarakat sekitar mempelajari kekerasan dan kejahatan tersebut. Bukan tidak mungkin, di masa depan mereka menjadi para pelaku kekerasan yang baru.
Ketiga, viralisasi tanpa kontrol berpotensi melahirkan diskriminasi dan viktimisasi, alias melahirkan korban-korban kekerasan baru. Sebagai contoh, viralnya tayangan kisah pernikahan beda usia jauh antara Nenek R yang berusia 71 tahun dan pemuda S yang masih berusia 16 tahun di Sumatera Selatan adalah satu bentuk perundungan baru. Pemuda S yang lugu dengan jawaban-jawaban yang polos dan susah dicerna ketika diwawancara menjadi bulan-bulanan dan bahan gurauan warganet.
Tayangan singkat saling memaki antara (diduga) mertua vs menantu di Bandung yang viral melalui Facebook dalam pekan ini amat berpotensi melahirkan viktimisasi oleh warganet, baik kepada sang mertua, maupun kepada sang menantu. Padahal urusan internal seperti itu adalah sama sekali bukan konsumsi publik. Juga, tak ada solusi apa pun yang dapat diberikan publik, selain mengecam kedua figur tersebut, tanpa mengetahui secara mendalam duduk permasalahannya.
Sayangi Jempol Kita
Maka, mari sayangi jempol kita. Masih banyak persoalan kehidupan dan masyarakat yang lebih penting untuk diselesaikan dan disyiarkan lebih daripada memviralkan kekerasan. Apabila kita mengetahui adanya kekerasan atau kejahatan, lebih baik diteruskan langsung ke aparat atau lembaga yang berwenang, daripada mendistribusikannya ke mana-mana yang tak membawa penyelesaian juga. Kesenangan atas penderitaan orang lain adalah juga bentuk viktimisasi. Akan membawa penderitaan tambahan bagi para korban dan keluarganya. Maka, apabila jempol kita tidak bisa menghentikan kekerasan, minimal jempol tersebut tidak ikut melahirkan penderitaan yang baru.
Staf Pengajar Viktimologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia & Sekjen Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia (APVI)
SUDAH bukan rahasia umum bahwa masyarakat Indonesia amat gemar berbagi informasi dan konten-konten apa pun di media sosial. Entah itu media Facebook, Instagram, WhatsApp, Path, Line, YouTube, Snapchat, dan lain sebagainya. Dari hal-hal yang bersifat pribadi, kegembiraan dan kegilaan kelompok, meme - meme humor dan plesetan , sampai berita-berita, foto-foto, ataupun rekaman kejahatan terkini di semua wilayah, semua diumbar di jagat media sosial tanpa sensor dan tanpa kendali. Setiap orang berlomba-lomba meneruskan, atau mem-viral-kan informasi, gambar, atau video yang diterimanya tanpa berpikir panjang. Yang ada dalam benak hanyalah kebanggaan karena mendapatkan informasi lebih awal atau karena dapat meneruskan informasi penting paling dahulu.
Kebiasaan tersebut barangkali ada manfaatnya. Misalnya ketika informasi yang disampaikan memang akurat dan perlu diketahui oleh banyak pihak. Seperti adanya bencana banjir, gempa bumi, atau kemacetan di lokasi tertentu, ataupun ada pasien yang memerlukan golongan darah tertentu secara cepat. Namun sayangnya, tidak semua informasi, gambar, ataupun video yang di-broadcast tersebut bermanfaat. Tidak semua akurat. Tidak semua boleh diumbar ke publik. Tidak semua berguna untuk khalayak ramai. Apalagi bila yang di-viral-kan adalah peristiwa kejahatan atau kekerasan, sering kali lebih banyak kerugian daripada manfaatnya.
Misalnya, kasus bullying yang dilakukan oknum pelajar, yang baru-baru ini terjadi terhadap seorang gadis usia SMP oleh sembilan rekannya yang berusia SD dan SMP di satu pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat pada 14 Juli 2017. Lalu kasus bullying lain yang terjadi terhadap seorang mahasiswa berkebutuhan khusus oleh rekan-rekan mahasiswanya di satu PTS bilangan Depok.
Ditambah lagi dengan video singkat tentang dua orang wanita kakak beradik yang melakukan bunuh diri di apartemen Bandung pada 24 Juli 2017. Bahkan hingga perselisihan menantu vs mertua yang diduga terjadi di Bandung di mana saling bicara keras juga viral di dunia maya. Semuanya terekam jelas dalam ingatan dan pandangan publik. Bukan karena gencarnya pemberitaan dari media konvensional ataupun sosialisasi dari penegak hukum, namun karena viralnya tayangan video singkat kekerasan-kekerasan tersebut di antara para warganet (netizens). Apakah melalui telepon seluler ataupun perangkat pengakses internet lainnya.
Mengapa viralisasi kekerasan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya? Mengapa perbuatan simple untuk mem-broadcasting suatu berita, gambar, ataupun video bisa berbuah perilaku radikal dan akhirnya menimbulkan viktimisasi?
Tiga Dampak Negatif Viralisasi
Paling tidak ada tiga alasan mengapa kebiasaan memviralkan informasi, gambar, video, dan konten-konten tanpa kontrol itu patut dihindari. Pertama, paparan kekerasan melalui media berpotensi melahirkan perilaku kekerasan di kemudian hari. Cukup banyak riset yang menegaskan relasi antara individu yang terpapar kekerasan melalui media dengan meningkatnya kekerasan dan menurunnya sensitivitas individu terhadap kekerasan di waktu mendatang. Huesmann & Kirwill (2007) menyebutkan bahwa perilaku kekerasan sering kali adalah produk dari pengaruh kekhasan masing-masing individu dan faktor-faktor pemicu lain yang sifatnya situasional. Satu faktor penting yang berkontribusi terhadap perilaku seseorang menjadi lebih keras pada jangka panjang ataupun lahirnya perilaku kekerasan di jangka pendek adalah terpapar kekerasan secara konstan (exposure to violence ).
Para peneliti dari Wake Forest University Baptist Medical Center (ScienceDaily, 2000) meyakini bahwa kekerasan adalah perilaku yang dipelajari (learned behavior ). Robert Durant, salah seorang peneliti, menyebutkan bahwa anak-anak dan remaja berpotensi untuk terlibat dalam kekerasan sebagai buah dari pembelajaran sosial yang mereka dapatkan dari suatu paparan kekerasan. Riset yang mereka lakukan terhadap pelajar di Georgia Middle School, USA, pada 722 pelajar usia 11 dan 12 tahun yang tinggal di pemukiman umum, mengenai apakah mereka pernah terpapar kekerasan atau menjadi korban kejahatan, menunjukkan hasil yang menarik.
Hanya 1,4% dari responden pelajar tersebut yang tak pernah menyaksikan atau menjadi korban kekerasan. Sebanyak 54,1% mengaku pernah menyaksikan atau bahkan menjadi korban kekerasan dan 15% bahkan terlibat dalam kekerasan. Dari mereka yang kemudian terpapar dalam kekerasan tersebut, 58,5% mengaku tidak terlibat dalam perilaku kekerasan, lalu 24,5% mengaku terlibat dalam satu atau dua kekerasan, sementara 12% mengaku terlibat dalam tiga sampai enam kekerasan, 5% terlibat dalam tujuh atau lebih kekerasan. Menariknya, 30% di antara mereka sering kali membawa senjata untuk berjaga-jaga.
Kedua, viralisasi kekerasan melalui media akan menurunkan sensitivitas individu terhadap suatu kekerasan. Teori psikologi yang berkembang beberapa dekade terakhir menjelaskan bahwa faktor-faktor pemicu perilaku kekerasan dalam jangka pendek adalah proses meniru, mengambil pola dasar, ataupun memperoleh transfer dari suatu rangsangan tertentu yang dalam jangka panjang dapat berdampak pada menurunnya tingkat sensitivitas pada kekerasan (desentization ) (Huesmann & Kirwill, 2007).
Kemudian, studi lintas keilmuan dalam jangka waktu panjang telah membuktikan bahwa anak-anak ataupun remaja yang secara reguler terpapar kekerasan melalui media ataupun kekerasan langsung di dunia nyata di sekelilingnya akan berperilaku lebih agresif dalam jangka waktu pendek maupun panjang (Anderson et al.,2003 dalam Huesmann & Kirwill, 2007)
Lestarinya kasus bullying di Indonesia antara lain karena sikap kurang sensitif dari saksi ataupun orang di sekelilingnya. Ratna Djuwita, peneliti fakultas psikologi UI, menyebutkan bahwa peristiwa bullying pada anak di lingkungan sekolah umumnya dilihat orang lain atau saksi. Meski demikian, saksi yang melihat aksi bullying tidak berupaya mencegah, menghentikan, ataupun melaporkan aksi bullying tersebut. Jarang sekali bullying tanpa dilihat orang lain, pasti ada saksi. Masalahnya, sebagian besar saksi tidak berbuat apa-apa ketika kasus itu sedang terjadi. Bahkan jika diambil video, video tersebut malah disebarluaskan. Ini sama saja dengan mendukung aksi bullying .
Hal tersebut dapat terjadi karena proses pembiasaan terhadap paparan kekerasan yang konstan. Semula, suatu kejahatan dan kekerasan mungkin dianggap hal yang luar biasa. Namun, lama-kelamaan, akibat paparan kekerasan (exposure to violence ) yang terjadi terus-menerus secara bertubi-tubi, sensitivitas tersebut berpotensi berkurang. Kekerasan tidak lagi dianggap peristiwa luar biasa yang terkategori sebagai kejahatan yang layak dilaporkan ke polisi. Sebagai contoh, orang tua memukul anak dengan sengaja di muka umum ataupun di ranah domestik adalah suatu kekerasan dan dapat dipidana, utamanya di negara-negara yang menjunjung tinggi rule of law.
Namun apabila itu terjadi di negara dunia ketiga di mana praktik-praktik kekerasan berlangsung lama tanpa ada penindakan hukum atau bahkan mendapatkan justifikasi sosial dan budaya, termasuk dari media konvensional dan media sosial, ceritanya bisa berbeda. Hal yang terjadi kemudian bisa ditebak. Alih-alih mengutuk dan menjauhi kekerasan, sang anak, grup, dan masyarakat sekitar mempelajari kekerasan dan kejahatan tersebut. Bukan tidak mungkin, di masa depan mereka menjadi para pelaku kekerasan yang baru.
Ketiga, viralisasi tanpa kontrol berpotensi melahirkan diskriminasi dan viktimisasi, alias melahirkan korban-korban kekerasan baru. Sebagai contoh, viralnya tayangan kisah pernikahan beda usia jauh antara Nenek R yang berusia 71 tahun dan pemuda S yang masih berusia 16 tahun di Sumatera Selatan adalah satu bentuk perundungan baru. Pemuda S yang lugu dengan jawaban-jawaban yang polos dan susah dicerna ketika diwawancara menjadi bulan-bulanan dan bahan gurauan warganet.
Tayangan singkat saling memaki antara (diduga) mertua vs menantu di Bandung yang viral melalui Facebook dalam pekan ini amat berpotensi melahirkan viktimisasi oleh warganet, baik kepada sang mertua, maupun kepada sang menantu. Padahal urusan internal seperti itu adalah sama sekali bukan konsumsi publik. Juga, tak ada solusi apa pun yang dapat diberikan publik, selain mengecam kedua figur tersebut, tanpa mengetahui secara mendalam duduk permasalahannya.
Sayangi Jempol Kita
Maka, mari sayangi jempol kita. Masih banyak persoalan kehidupan dan masyarakat yang lebih penting untuk diselesaikan dan disyiarkan lebih daripada memviralkan kekerasan. Apabila kita mengetahui adanya kekerasan atau kejahatan, lebih baik diteruskan langsung ke aparat atau lembaga yang berwenang, daripada mendistribusikannya ke mana-mana yang tak membawa penyelesaian juga. Kesenangan atas penderitaan orang lain adalah juga bentuk viktimisasi. Akan membawa penderitaan tambahan bagi para korban dan keluarganya. Maka, apabila jempol kita tidak bisa menghentikan kekerasan, minimal jempol tersebut tidak ikut melahirkan penderitaan yang baru.
(wib)