Pidana dalam Perppu Ormas

Sabtu, 29 Juli 2017 - 08:25 WIB
Pidana dalam Perppu Ormas
Pidana dalam Perppu Ormas
A A A
DR H Abdul Chair Ramadhan SH MM
Ahli Hukum Dewan Pimpinan MUI, Ahli Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana

TERBITNYA Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2/2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17/ 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan lazim disebut Perppu Ormas telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Lahirnya Perppu Ormas terkait dengan pandangan subjektif pemerintah tentang "kegentingan yang memaksa" dalam kondisi innere notstand (keadaan darurat yang bersifat internal).

Perlu diketahui bahwa norma hukum larangan dalam Pasal 59 Ayat (4) bersifat umum, berlaku kepada semua ormas. Dengan demikian, bukan hanya diberlakukan terhadap Hizbut Tahrir Indonesia.

Sepanjang suatu ormas dianggap dan dinyatakan oleh pemerintah telah memenuhi unsur Pasal 59 Ayat (4), maka sanksi berupa pembubaran dapat dilakukan oleh pemerintah.

Salah satu bagian krusial dari Perppu Ormas ini adalah perluasan definisi dari paham yang disebut bertentangan dengan Pancasila, melalui penambahan frasa "paham lain" yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945.

Kemudian, penyisipan Pasal 82A di antara Pasal 82 dan Pasal 83, pada Ayat (1) dan Ayat (2) diatur tentang norma hukum kesengajaan.

Dalam Penjelasan Pasal 82A Ayat (1), diberikan penjelasan bahwa yang dimaksud "dengan sengaja" adalah adanya niat atau kesengajaan dalam bentuk apa pun, yakni kesengajaan dengan kemungkinan (opzet metwaarschijnlijkheidsbewustzijn), kesengajaan dengan maksud/tujuan (opzet als oogmerk), dan kesengajaan dengan kepastian (opzet bij noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn).

Untuk itu, baik niat maupun kesengajaan telah nyata dari adanya "persiapan perbuatan" (voorbereidingings handeling) sudah dapat dipidana, dan ini sebagai perluasan adanya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat.

Frasa "adanya niat" dalam Penjelasan Pasal 82A Ayat (1) mengandung makna bahwa niat (voornemen) menjadi bagian dari unsur delik. Padahal, apakah niat itu berdiri sendiri atau merupakan bagian dari kesengajaan telah menjadi perbedaan di antara para ahli.

Sepanjang pengetahuan penulis, para ahli berbeda pendapat tentang masalah niat. Hazewinkel Suringa berpendapat, niat itu adalah kesengajaan.

Lebih lanjut Suringa mengatakan, niat adalah tidak lebih dari suatu rencana untuk melakukan suatu perbuatan. Pendapat yang kurang lebih sama disampaikan oleh Simons, Van Hamel, dan Zevebergen.

Termasuk juga vos, namun dia membatasi niat hanya dalam kesengajaan dengan maksud, tidak termasuk corak kesengajaan kepastian dan kesengajaan kemungkinan.

Pompe menyatakan, terdapat hubungan erat antara niat dan sengaja, walaupun antara keduanya terdapat perbedaan. Pompe dengan tegas menolak pembatasan pengertian sengaja semata-mata sebagai maksud.

Pendapat Pompe inilah yang kemudian oleh Moeljatno. Menurutnya, ada perbedaan antara niat dan kesengajaan. Dia menyatakan bahwa niat adalah sikap batin, tempatnya di dalam hati.

Namun, Moeljatno juga memberikan penegasan, jika niat sudah ditunaikan dalam tindakan nyata, niat berubah menjadi kesengajaan.

Dari diskursus tentang niat, penulis sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa niat memiliki perbedaan dengan kesengajaan dan niat hanya berkaitan dengan kesengajaan dengan maksud.

Berdasarkan hal ini masih menurut penulis ini ketika kehendak dalam niat sudah diwujudkan dalam perbuatan, maka dengan sendirinya di dalam kesengajaan itu pastilah sudah terkandung adanya niat.

Permasalahan dalam Perppu Ormas, menunjuk jika niat dipandang dengan telah nyata dari adanya "persiapan perbuatan" (voorbereidingings handeling) sudah dapat dipidana sebagai perluasan adanya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat maka bagi setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas dipandang telah memiliki niat jahat (dolus malus), tanpa perlu mengobjektifkan perihal kesengajaan dalam hal menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Frasa "dengan sengaja" yang mengandung tiga corak (gradasi) dan "secara langsung atau tidak langsung" perlu dikritisi. Kesengajaan ini diberlakukan bukan hanya bagi ormas dan pengurusnya, tapi juga bagi anggota ormas dipandang sama telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Perbuatan melawan hukum ini tersimpul dari adanya larangan berupa menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Di sisi lain, pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk menafsirkan (mono tafsir) suatu ajaran atau paham telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian, terhadap anggota ormas juga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Dengan kata lain, kesalahan (mens rea) anggota ormas yang dipertanggungjawabkannya itu, juga ditujukan kepada timbulnya tindak pidana yang bersifat melawan hukum.

Tentu menjadi sangat abstrak, ketika anggota ormas dipandang sama dan sederajat dengan ormas itu sendiri dan pengurus ormas dalam hal kesengajaan "dengan maksud", "dengan sadar kepastian" dan "dengan sadar kemungkinan", untuk selanjutnya dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Terasa sangat janggal Penjelasan Pasal 82A Ayat (1) yang mencakup ketiga corak kesengajaan tersebut untuk diberlakukan sama baik kepada setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas dan ormas itu sendiri. Padahal, ketiga corak kesengajaan itu memiliki perbedaan yang prinsip dan berlaku kasus per kasus.

Lebih lanjut, tindak pidana yang diatur dalam Perppu Ormas tergolong delik formil. Terhadap tindak pidana yang dirumuskan secara formil, pelaku mengarahkan pikirannya untuk mewujudkan perbuatan yang dilarang.

Di sini kehendak dan pengetahuannya telah mendorong pikirannya untuk melakukan tindak pidana berupa menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Kesalahan sangat ditentukan oleh keadaan batin seseorang yang mendorong pikirannya untuk melakukan sesuatu yang dilarang. Frasa adanya "niat" atau "kesengajaan dalam bentuk apa pun", menunjuk pada kata ”atau” menegaskan bahwa hanya dengan adanya niat seseorang sudah dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana! Padahal, niat adalah sikap batin dan tempatnya di dalam hati.

Bagaimana mungkin Penjelasan Pasal 82A Ayat (1) menempatkan dengan sengaja dengan memasukkan niat untuk dapat memidana seseorang?

Terbentuknya kesalahan menurut hukum pidana, ditentukan dari sikap batin seseorang. Dengan kata lain, kesalahan selalu ditandai oleh adanya pikiran salah yang berujung melahirkan suatu tindakan baik berbuat atau tidak berbuat atau juga timbulnya suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana.

Penulis berpendapat bahwa niat hanya dalam bentuk kesengajaan dengan maksud, tidak termasuk corak kesengajaan kepastian dan kesengajaan kemungkinan.

Tidaklah tepat penyeragaman kesengajaan dalam Perppu Ormas ini diberlakukan terhadap setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas dan ormas itu sendiri.

Sangatlah beralasan jika dikatakan bahwa Perppu Ormas mengandung banyak kerancuan dan oleh karenanya dipandang wajar dimohonkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9154 seconds (0.1#10.140)