Stop Bullying Anak Berkebutuhan Khusus

Jum'at, 28 Juli 2017 - 08:54 WIB
Stop Bullying Anak Berkebutuhan Khusus
Stop Bullying Anak Berkebutuhan Khusus
A A A
Dr Yopi Kusmiati, S Sos I, M Si
Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

MEMPUNYAI anak ber­kebutuhan khusus (ABK) bukanlah ke­hendak semua orang. Setiap orang pasti berharap memiliki anak yang sempurna, normal layaknya anak-anak lain yang berkembang sesuai dengan usianya. ABK baik karena tuna­rungu, tunawicara, tuna­netra, autisme, dan sebagainya harus­lah diterima oleh semua pihak. Tidak hanya oleh orang tua, keluarga, saudara, tetapi juga oleh lingkungan sekitarnya baik lingkungan rumah atau tetangga dan lingkungan se­kolah atau lingkungan kampus.

Namun, ternyata masih banyak yang memandang hina ABK. Hal ini terkait dengan persepsi serta pandangan orang yang secara umum memandang bahwa ABK bukan sekadar penyakit medis, tetapi terkadang dilihat sebagai penyakit sosial.

ABK dipandang sebagai aib atau hal-hal lainnya yang berimbas terhadap identitas sosial anak dan keluarga dalam lingkungannya. ABK kerap menjadi bahan ejekan teman-temannya baik di lingkungan rumah atau sekolah sebagai­mana yang baru saja terjadi akhir-akhir ini di sebuah lem­baga perguruan tinggi. Mestinya pada tingkat perguruan tinggi sudah bisa menerima setiap perbedaan, dan tidak memberikan stigma negatif kepada ABK.

Tanpa adanya ”bully” ter­hadap ABK, itu sudah merupakan bentuk dukungan masyarakat kepada keluarga terutama orang tua ABK, dan sebaliknya adanya stigma terhadap ABK ini tentu makin memberatkan keluarga dan orang tua secara psikologis.

Penilaian negatif atau stigma dari masyarakat masih sering dialami oleh ke­luarga yang memiliki anak dengan kecacatan (Goffman, 1986). Padahal bukanlah sesuatu yang mudah untuk dapat menerima kehadiran anak berkebutuhan khusus dalam sebuah keluarga. Awalnya selalu timbul kekecewaan di hati setiap orang tua yang pertama mengetahui kondisi anaknya yang memiliki perbedaan dengan anak lain­nya.

Kekecewaan tersebut dapat berimbas pada sikap orang tua terhadap penerimaan anak yang diharapkannya, karena tidak semua orang tua dan keluarga dapat menerima kenyataan bahwa mereka memiliki anggota keluarga yang berkebutuhan khusus. Ada yang menolak dan tidak percaya dengan keadaan yang sebenarnya, sehingga kehadiran si anak menjadi beban bagi mereka.

Pada hakikatnya sangat manusiawi jika ada penolakan sikap keluarga ketika mengetahui salah satu anggota keluarga mereka terutama anak mereka menjadi ABK, bahkan dapat menjadi pukulan berat bagi keluarga. Jika keluarga siap dan menerima dengan lapang dada maka tidak akan menjadi persoalan berat, namun jika hal tersebut direspons dengan perasaan berat maka akan menjadi berat.

Penerimaan keluarga kepada ABK dapat menunjang perkembangan kesehatan ABK, terutama menambah rasa percaya diri ABK ketika berada dalam sebuah lingkungan. Hal inilah yang meski harus diketahui semua orang, karena kehadiran ABK bisa terjadi pada semua orang, entah oleh teman kita, keluarga kita sendiri, atau kolega kita. Sehingga kita harus bisa me­mosisikan diri kita sebagai bagian dari keluarga ABK.

Selain itu, pandangan masyarakat tentang keluarga yang memiliki ABK juga menjadi alasan tersendiri yang dapat menimbulkan keinginan keluarga untuk menutupi keberadaan anak dan mengisolasi diri dari kegiatan masyarakat. Keluarga merasa malu memiliki anak yang berbeda dengan anak yang seusianya saat berkumpul dengan keluarga besar atau teman kerja bahkan keluarga harus menghadapi situasi di mana keluarga tidak diikutsertakan dalam kegiatan masyarakat yang melibatkan seluruh anggota keluarga karena memiliki ABK.

Struktur budaya di lingkungan masyarakat juga turut memengaruhi pembentukan nilai dan norma di dalam keluarga. Keluarga memandang keberadaan keluarga sebagai suatu hukuman, dosa ataupun kutukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Soemaryanto (Hamid, 1993) yang menyatakan bahwa keluarga menganggap kehadiran anak dengan retardasi mental merupakan suatu hukuman akibat perbuatan keluarga itu sendiri.

Anggapan tersebut meskipun sudah menurun, masih tetap menjadi nilai dan norma yang dianut oleh sebagian kecil keluarga di Indonesia. Keluarga merasakan adanya anggapan negatif, labelling dan diskriminatif yang memengaruhi kehidupan mereka. Alhasil kondisi ini menumbuhkan keinginan menarik diri secara fisik dan sosial, dan membatasi diri untuk menggunakan kesempatan berintegrasi dengan lingkungan masyarakat.

Padahal, seorang anak yang lahir di dunia memiliki berjuta kemungkinan yang mereka bawa ke dunia. Kemungkinan-kemungkinan ini tidak selalu merupakan peluang yang baik dan menyenangkan.

Oleh karena itu, keluarga dan lingkungan memiliki kewajiban membuka peluang sebesar-besarnya bagi anak agar kemungkinan-kemungkinan yang terjadi membuka kehidupan mereka menjadi kehidupan yang indah dan penuh warna. Berjuta ke­mungkinan yang terbuka sepanjang kehidupan anak sangat dipengaruhi oleh per­kem­bang­an kehidupan anak itu sendiri, khususnya kehidupan mereka dalam keluarga, lingkungan tempat tinggal, ataupun ling­kungan sekolah.

Guna mewujudkan hal tersebut, keluarga yang memiliki ABK perlu melakukan berbagai teknik dan penanganan khusus yang membutuhkan dukungan dari semua pihak, baik pemerintah, sekolah, praktisi kesehatan, keluarga, maupun lingkungan sosialnya.

Tanpa kesadaran dan dukungan dari berbagai pihak, keluarga ABK tanpa disadari menghadapi suatu tantangan yang sering kali tidak disadari oleh pihak lain. Tantangan ini dalam bentuk stigmatisasi dari masyarakat di sekitar mereka.

Jika secara umum ABK dianggap sebagai sebuah stigma oleh lingkungannya maka akan lebih sulit bagi anak dan keluarga dalam menatap masa depannya, karena hal ini tentu akan memengaruhi cara keluarga ber­komunikasi dengan anak, cara keluarga berkomunikasi dengan lingkungan, serta cara anak ber­komunikasi dengan lingkungannya.

Di tempat-tempat tertentu, baik itu di lingkungan rumah atau di sekolah bahkan di kam­pus masih sering terlihat ABK menjadi objek ”usilan” (bullying) dan ”tertawaan” bagi teman-temannya atau orang-orang di sekitarnya. Sering kali ABK menjadi ”hiburan” bagi masyarakat. Hal inilah yang sangat menyakitkan bagi keluarga ABK dan harus mendapatkan empati dari semua pihak. Saat mendapatkan perlakuan ne­gatif dari lingkungan, keluarga akan merasakan kesedihan dan kekecewaan.

Sebaliknya, adanya dukungan-dukungan dari lingkungan akan melahirkan perasaan lega bagi keluarga ABK. Oknum-oknum yang biasanya meman­dang negatif kepada ABK, akan kehilangan dukungan untuk selalu mengecilkan ABK, sehingga ke­pedulian terhadap ABK membuahkan hasil, yakni mampu meraih simpatik dari berbagai pihak.

Adanya uluran empati demikian kian menumbuhkan ketegaran bagi keluarga ABK. Keluarga atau lebih khusus orang tua ABK, sudah mendapat tempat ”pentas” untuk menyampaikan hal ihwal pe­ngalaman pribadi mereka dan dalam meng­urus atau meng­asuh anak-anak ABK.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4068 seconds (0.1#10.140)