Kartel Pangan dan Malapetaka Bangsa

Rabu, 19 Juli 2017 - 08:52 WIB
Kartel Pangan dan Malapetaka Bangsa
Kartel Pangan dan Malapetaka Bangsa
A A A
Abdul Halim
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan

POLITIK pangan merupakan medium baru kekuasaan (power). Dengan menguasai pasokan dan jalur distribusi pangan, niscaya pertukaran kepentingan ekonomi politik mudah dicapai tanpa pertumpahan darah. Bertolak dari pemikiran inilah, bukan tanpa alasan apabila Presiden Soekarno pernah menyebut “pangan adalah perkara hidup matinya sebuah bangsa,” pada 1952.

Sejarah mencatat, di tengah embargo negara-negara Arab anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) terhadap permintaan minyak mentah Amerika Seri­kat dan Eropa yang diperparah oleh adanya perang Arab-Israel antara tahun 1970-1973, Presiden Ford menggunakan pangan sebagai alat kontra embargo (counter-embargo) melawan permainan harga minyak Timur Tengah. Salah satu bentuknya adalah menaikkan bea ekspor produk pertanian yang mesti ditanggung oleh importir dari Timur Tengah sebesar USD1,7 miliar sekitar 1974.

Di India, adanya praktik monopoli perdagangan garam yang diterapkan oleh Inggris memicu Mahatma Gandhi untuk menggerakkan perlawanan rakyat yang populer dengan sebutan gerakan satyagraha atau civil resistance di Kota Dandi. Gerakan ini dilakukan dalam bentuk penyulingan garam dari air laut secara masif pada tanggal 12 Maret 1930 dan menyebar ke seluruh wilayah India lainnya (Susilo, 2010: 109).

Dalam pemikiran Gandhi, garam merupakan kebutuhan vital bangsa India sehingga pe­nyediaannya harus dihasilkan secara mandiri. Kini India menempatkan tata kelola garam nasional sebagai urusan penting negara.

Di tengah krisis pangan dunia belakangan ini, pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara yang menyebut ekonomi Indonesia dikuasai oleh kartel pangan dan energi mesti ditanggapi secara serius. Terlebih, hal ini disampaikan di dalam Halaqah Nasional Alim Ulama se-Indonesia di Jakarta, Kamis (13/7) malam. Apakah kartel pangan membahayakan kelangsungan hidup berbangsa?

Kartel merupakan praktik berbisnis yang diorganisasikan untuk mengontrol produksi dan harga, mengeliminasi kompetisi, dan mengurangi biaya berbisnis. Dalam praktiknya, kartel bertujuan untuk (1) memaksimalkan pencapaian keuntungan bersama (joint profit) dan (2) pembagian zona pemasaran produk (market sharing).

Umumnya, praktik monopoli ini dilakukan terhadap komoditas pangan yang berkaitan langsung dengan hajat hidup masyarakat luas, seperti beras, ikan, bawang, kedelai, dan garam.

Kartel Garam
Di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pernah mencatat bahwa praktik monopoli terhadap komoditas garam terjadi di Sumatera Utara antara tahun 2004-2005. Ironisnya, PT Garam selaku BUMN bekerja sama dengan dua perusahaan swasta terlibat aktif di dalam permainan jalur distribusi hingga penentuan harga.

Dari penyelidikan yang dilakukan oleh KPPU, PT Garam terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menyebutkan bahwa
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Hal ini tertera di dalam Putusan Perkara Nomor 10/2005.

Apa yang dilakukan oleh PT Garam jelas bertolak belakang dengan hakikat pendiriannya. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12/1991 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Garam menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) disebutkan bahwa PT Ga­ram sebagai badan usaha milik negara bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan usaha industri garam beserta angkutannya, pembinaan usaha garam rakyat, pengendalian stok, dan stabilisasi harga garam secara nasional.

Selang 12 tahun kemudian, anjloknya produksi garam rakyat pada 2016 berakibat terhadap kelangkaan garam konsumsi dan garam bahan baku di sejumlah daerah dalam 14 hari belakangan ini, di antaranya di Kota Surabaya, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur; dan Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (April 2017), produksi garam nasional hanya sebesar 118.054 ton atau setara 3,7% dari target sebesar 3,2 juta ton di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Dari jumlah tersebut, PT Garam hanya memproduksi 42.000 ton.

Tak dimungkiri apabila situasi kelangkaan garam dan anjloknya produksi garam rak­yat secara nasional ini berimbas kepada penurunan tingkat kesejahteraan penambak dan terganggunya kepentingan konsumen. Betapa tidak, harga garam di pasaran meningkat sebesar 233% atau naik dari Rp1.500 menjadi Rp3.500 per 250 gram.

Apabila situasi di atas terus dibiarkan, garam impor bakal membanjiri pasar tradisional dan toserba di dalam negeri. Apa dampaknya? Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Juli 2017) mencatat, sedikitnya 32 usaha produksi dan pengolahan garam skala kecil dan menengah bangkrut dan terpaksa memberhentikan lebih dari 620 tenaga kerja di sepanjang Pantai Utara Jawa.

Emma Rothschild (2004) pernah mengingatkan bahwa ketergantungan pangan bisa berakibat pada masuknya pengaruh negara eksportir dengan mudah. Apa yang dialami oleh Bangladesh pada 1974 karena ketergantungan yang sangat besar terhadap pasokan gandum Amerika Serikat berimbas pada instabilitas politik dalam negeri.

Meski berbeda komoditas pangan, garam merupakan barang esensial bagi olahan pangan masyarakat Indonesia.

Pertanyaannya, apakah bangsa ini bisa mencapai swasembada garam dan terbebas dari jerat impor? Dengan luas lahan pertambakan garam nasional produktif yang terus bertambah: dari 13.639 hektare (ha) menjadi 24.254 ha dan tersebar di 44 kabupaten/kota di Indonesia, di antaranya di Kabupaten Alor, Kabupaten Pangkep, dan Kabupaten Kepulauan Selayar sejak 2011-2016, impor garam merupakan kebijakan bunuh diri. Kenapa demikian?

Presiden Soekarno menegaskan, “Kalau produksi pangan (meliputi garam) tidak diperkuat dan ditingkatkan maka bencana kelaparan akan terjadi. Lambat laun, keamanan nasional terancam dan produktivitas kita sebagai bangsa jauh menurun dan menyebabkan malapetaka kebinasaan bagi bangsa ini.”

Bagaimana menghindari malapetaka tersebut? Undang-Undang (UU) Nomor 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Penambak Garam telah membuka jalan konstitusi untuk meningkatkan produksi garam berkualitas dan memberikan pundi-pundi kesejahteraan yang layak kepada produsen pangan skala kecil di Indonesia.

Di antaranya; pertama, memastikan penambak garam dan produsen pangan skala kecil mendapatkan asuransi jiwa dan kesehatan; kedua, beasiswa pendidikan anak mereka; ketiga, tempat beristirahat, air bersih, dan kamar mandi yang layak; keempat, kelengkapan alat keselamatan bekerja; kelima, jaminan harga; dan keenam, sepeda dan jalan menuju tambak garam yang bagus. Inilah jalan menghindari malapetaka pangan bangsa yang dikhawatirkan oleh Presiden Soekarno.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4730 seconds (0.1#10.140)