Menguatkan Siaran Nasionalisme di Perbatasan

Selasa, 18 Juli 2017 - 07:56 WIB
Menguatkan Siaran Nasionalisme...
Menguatkan Siaran Nasionalisme di Perbatasan
A A A
Yuliandre Darwis PhD
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat/Dosen Komunikasi FISIP Unand

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mencanangkan program prioritas melalui gagasan Nawacita yang dirumuskan. Konsep Nawacita mengagendakan sembilan program membangun Indonesia menjadi lebih baik. Sebagai sebuah ide besar membangun bangsa, Nawacita dilakukan pemerintah selama periode Jokowi-JK dari 2014 sampai 2019 dengan salah satu agenda prioritas utamanya adalah membangun Indonesia dari pinggiran. Pada konteks itu, aspek penyiaran berada pada posisi strategis dalam mendukung agenda Nawacita agar direalisasikan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Membangun Indonesia dari pinggiran memang sejatinya didukung dari berbagai aspek; ekonomi, budaya, infrastruktur, pendidikan, sumber daya manusia, dan lain-lain, termasuk dari sektor penyiaran di mana dalam era globalisasi serta keterbukaan informasi dan kebebasan pers hari ini sektor penyiaran mempunyai kontribusi besar dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Negeri ini kaya dengan keragaman dan kebinekaan.

Tidak kurang 250 suku bangsa, terdapat 250 juta penduduk, 300 bahasa daerah, enam agama dengan kondisi sosiologis wilayah yang berbeda-beda hingga ke pinggiran. Realitas sosiologis Indonesia itu membuat kita berpikir logis bahwa membangun bangsa ini tidak bisa hanya pada satu titik yakni terfokus pada Jawa atau Bali, melainkan memperkuat wilayah pinggiran adalah keniscayaan untuk mengokohkan Indonesia sebagai negeri yang mempunyai keanekaragaman.

Peta Masalah Penyiaran Pinggiran

Aspek penyiaran menjadi salah satu bidang fundamental jika ingin membangun Indonesia dari pinggiran. Penyiaran memiliki pengaruh serta dampak luar biasa karena dapat menjangkau 67% penduduk Indonesia. Artinya, sekitar 122 juta orang dapat mengakses media penyiaran. Belum lagi soal dampak sosial, ekonomi, budaya, politik, hingga dampak pikiran, mental, dan bahkan perilaku manusia yang ditimbulkan pesan media penyiaran.

Kawasan pinggiran berkaitan erat dengan representasi sebuah negeri. Ia juga berkaitan dengan politik kebangsaan, harga diri kita sebagai sebuah bangsa dan berhubungan dengan menjaga kedaulatan negeri ini serta merawat nasionalisme dalam rangka mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat 12 wilayah perbatasan yang memiliki kedudukan penting bagi negeri ini; Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Riau, Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, Aceh, Sulawesi Utara, dan Sumatera Utara.

Di daerah perbatasan ini sejumlah persoalan penyiaran belum tuntas diatasi. Persoalan keterbatasan jangkauan siaran media-media di Indonesia ke daerah perbatasan, banyak siaran asing masuk daerah perbatasan yang tidak sesuai dengan regulasi dan budaya kita, luberan informasi yang mengancam nilai-nilai persatuan dan keutuhan NKRI. Ada perbedaan konten siaran dalam negeri dan luar negeri di kawasan perbatasan.

Isi siaran kita belum maksimal mengangkat kearifan lokal, minim konten pendidikan, apalagi penanaman nilai-nilai budaya adiluhung; begitu sangat kurang. Konten siaran belum dapat menggugah pemikiran kritis masyarakat atas suatu pesan diproduksi dan disiarkan media penyiaran. Padahal, sebuah pesan memiliki tujuan-tujuan tertentu yang bukan tidak mungkin menjerumuskan masyarakat dengan konten pornografi misalnya. Belum lagi kemampuan filtrasi informasi masyarakat di daerah perbatasan yang belum maksimal.

Konten Nasionalisme

Wilayah perbatasan rentan dengan berbagai tantangan, khususnya tantangan terhadap keutuhan NKRI. Kemudahan masyarakat mengakses informasi dari luar yang saya sebutkan di atas tidak jarang siaran itu bertentangan dengan regulasi penyiaran dan budaya kita. Nilai-nilai budaya asing masuk dengan mudah dalam diri masyarakat Indonesia di pinggiran melalui informasi. Jangan heran bila masyarakat daerah perbatasan lebih mengenal budaya luar ketimbang budaya bangsa sendiri.

Pendekatan terhadap penanganan masalah penyiaran di kawasan perbatasan dilakukan dengan berbagai cara. Kita sama-sama mafhum perubahan UU Penyiaran Nomor 32/2002 sedang digodok DPR RI. Harapannya, perubahan regulasi penyiaran memberi perhatian serius pada isu penyiaran daerah perbatasan yang sudah cukup krusial. Migrasi dari analog ke digital, isu kepemilikan, sistem stasiun jaringan (SSJ), isu penyiaran politik, dan lainnya yang dibahas dalam UU Penyiaran, namun sejatinya tidak mengabaikan wacana penyiaran perbatasan sebagai isu penting di mana keberpihakan regulasi menjadi satu di antara faktor penting pemecahan masalah penyiaran perbatasan.

Political will berbagai pihak dibutuhkan untuk menangani penyiaran perbatasan. Peran regulator seperti Kemkominfo maupun Komisi Penyiaran Indonesia memang strategis, namun peran regulator penyiaran ini dikuatkan dan didukung berbagai stakeholders . Selain itu, memproduksi konten siaran yang memiliki muatan nasionalisme kebangsaan adalah hal urgen diinginkan masyarakat perbatasan. Siaran bermuatan nilai-nilai budaya Indonesia, pendidikan karakter, dan cinta tanah air sejatinya diproduksi lebih banyak oleh lembaga penyiaran.

Sebab, penyiaran ditegaskan dalam UU Penyiaran Pasal 3 bahwa penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional. Pada Pasal 5 huruf d UU Penyiaran juga disebutkan bahwa penyiaran diarahkan untuk menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini menjadi penting supaya masyarakat perbatasan dapat semakin merasakan kehadiran negara dan mengenal budaya bangsa sendiri. Dengan begitu, keutuhan NKRI terjaga sehingga upaya pemerintah membangun Indonesia dari pinggiran terwujud minimal melalui bidang penyiaran.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0993 seconds (0.1#10.140)