Politik dan Pasar Bebas
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
MUNCULNYA fenomena benua maya dan melahirkan a global network society yang cair serta tanpa batas menjadi tantangan serius bagi agenda pembangunan jati diri bangsa. Logika pasar dengan kalkulasi untung-rugi secara material sangat memengaruhi para pengambil kebijakan publik, termasuk lingkungan partai politik.
Bisa jadi sekelompok orang lebih merasa perlu pada paspor dan kartu kredit ketimbang kartu tanda penduduk (KTP). Jaringan internet telah menjadi kebutuhan vital layaknya kita menghirup udara atau ikan menghajatkan air.
Menghadapi ini semua, sesungguhnya masyarakat Indonesia dikenal sangat mencintai budaya dan tanah airnya. They are very much attached to their land and families. Hal ini ditopang oleh kekayaan budaya, sumber alam, dan bahasa nasionalnya.
Menjadi persoalan dan juga agenda adalah bagaimana membangun kebanggaan berbangsa, terutama bagi generasi mudanya. Kebanggaan akan muncul jika banyak role model dan prestasi yang diakui dunia.
Bangsa ini haus prestasi yang membanggakan, tidak seimbang dengan aset yang dimiliki. Namun, lagi-lagi yang mengemuka di media sosial, wacana politik merupakan isu paling dominan tapi tidak produktif, sementara biayanya tinggi.
Dunia politik telah terseret oleh arus pasar bebas, kepanjangan dari iklim kapitalisme global, seiring dengan sistem demokrasi liberal yang menjadi rujukan kehidupan perpolitikan Indonesia. Layaknya dalam pasar bebas maka terjadi kompetisi sengit antara kualitas produk yang dilempar ke tengah masyarakat sebagai calon pembelinya.
Tak terelakkan kadang terjadi kanibalisme politik seperti "handphone makan handphone" semata karena berbeda merek, berbeda pabrik, dan berbeda pemodalnya. Kompetisi bisa semakin mengeras setiap menjelang pilkada dan pemilu, meskipun banyak di antara mereka itu mengaku agamanya sama. Bahkan, elemen agama telah diseret ke dalam arus kompetisi sehingga menciptakan segregasi sosial yang dipicu oleh pilihan politik dan sentimen keagamaan.
Sebagaimana yang terjadi dalam pasar bebas, iklan pencitraan produk perannya dianggap sangat vital dan strategis. Maka, para politisi dan parpol ramai-ramai memasang iklan untuk membangun citra diri agar daya jualnya tinggi.
Tak mengherankan bila bermunculan profesi baru yang disebut konsultan politik dan survei politik untuk menjajaki selera pasar. Lebih dari sekadar menjajaki harga jual, para konsultan ini juga merekayasa dan memberi rekomendasi bagaimana seorang calon yang mau berlaga mesti bersikap dan berbicara di depan publik.
Lembaga konsultan ini ada yang serius, profesional, betul-betul ikut memikirkan kemajuan rakyat dan negara. Mereka ingin partisipasi membangun demokrasi yang rasional. Konsultan model begini yang mesti diapresiasi mengingat kalangan parpol kalau tidak dibantu konsultan ahli yang profesional hanya akan menambah daftar panjang kebangkrutan parpol.
Tetapi ada juga konsultan abal-abal yang tujuan utama dan pertama hanya cari uang, serta tidak segan-segan memanipulasi data. Pendeknya yang penting jagonya menang, sekalipun dengan cara curang dan ikut melakukan provokasi membangkitkan emosi massa.
Dalam masyarakat yang sedemikian majemuk, sikap toleran, empati, dan koperatif sangat diperlukan demi kepentingan yang jauh lebih besar, menjaga keharmonisan berbangsa dan menyejahterakan rakyat. Ibarat atlet pelari maraton, politisi itu mesti bernapas panjang.
Berpikir lintas generasi demi kemajuan bangsa, bukan pelari jarak pendek yang hanya mengejar kemenangan pilkada, pemilu atau lolos jadi anggota DPR atau DPRD. Tetapi berapa banyak mereka yang tidak berprestasi, bahkan banyak yang kemudian masuk penjara akibat korupsi.
Andaikan toh politik telah menjelma menjadi semacam industri, masih dapat ditoleransi selama proses dan produk serta jasa yang dihasilkan mendatangkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Tetapi sejauh ini politik lebih sibuk dengan dirinya sendiri, menyedot APBN, tapi produk yang dihasilkan sangat mengecewakan. Mungkin ada benarnya kritik yang mengatakan bahwa pasar bebas yang menggusur tradisi gotong royong dan musyawarah mufakat perlu ditinjau kembali.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
MUNCULNYA fenomena benua maya dan melahirkan a global network society yang cair serta tanpa batas menjadi tantangan serius bagi agenda pembangunan jati diri bangsa. Logika pasar dengan kalkulasi untung-rugi secara material sangat memengaruhi para pengambil kebijakan publik, termasuk lingkungan partai politik.
Bisa jadi sekelompok orang lebih merasa perlu pada paspor dan kartu kredit ketimbang kartu tanda penduduk (KTP). Jaringan internet telah menjadi kebutuhan vital layaknya kita menghirup udara atau ikan menghajatkan air.
Menghadapi ini semua, sesungguhnya masyarakat Indonesia dikenal sangat mencintai budaya dan tanah airnya. They are very much attached to their land and families. Hal ini ditopang oleh kekayaan budaya, sumber alam, dan bahasa nasionalnya.
Menjadi persoalan dan juga agenda adalah bagaimana membangun kebanggaan berbangsa, terutama bagi generasi mudanya. Kebanggaan akan muncul jika banyak role model dan prestasi yang diakui dunia.
Bangsa ini haus prestasi yang membanggakan, tidak seimbang dengan aset yang dimiliki. Namun, lagi-lagi yang mengemuka di media sosial, wacana politik merupakan isu paling dominan tapi tidak produktif, sementara biayanya tinggi.
Dunia politik telah terseret oleh arus pasar bebas, kepanjangan dari iklim kapitalisme global, seiring dengan sistem demokrasi liberal yang menjadi rujukan kehidupan perpolitikan Indonesia. Layaknya dalam pasar bebas maka terjadi kompetisi sengit antara kualitas produk yang dilempar ke tengah masyarakat sebagai calon pembelinya.
Tak terelakkan kadang terjadi kanibalisme politik seperti "handphone makan handphone" semata karena berbeda merek, berbeda pabrik, dan berbeda pemodalnya. Kompetisi bisa semakin mengeras setiap menjelang pilkada dan pemilu, meskipun banyak di antara mereka itu mengaku agamanya sama. Bahkan, elemen agama telah diseret ke dalam arus kompetisi sehingga menciptakan segregasi sosial yang dipicu oleh pilihan politik dan sentimen keagamaan.
Sebagaimana yang terjadi dalam pasar bebas, iklan pencitraan produk perannya dianggap sangat vital dan strategis. Maka, para politisi dan parpol ramai-ramai memasang iklan untuk membangun citra diri agar daya jualnya tinggi.
Tak mengherankan bila bermunculan profesi baru yang disebut konsultan politik dan survei politik untuk menjajaki selera pasar. Lebih dari sekadar menjajaki harga jual, para konsultan ini juga merekayasa dan memberi rekomendasi bagaimana seorang calon yang mau berlaga mesti bersikap dan berbicara di depan publik.
Lembaga konsultan ini ada yang serius, profesional, betul-betul ikut memikirkan kemajuan rakyat dan negara. Mereka ingin partisipasi membangun demokrasi yang rasional. Konsultan model begini yang mesti diapresiasi mengingat kalangan parpol kalau tidak dibantu konsultan ahli yang profesional hanya akan menambah daftar panjang kebangkrutan parpol.
Tetapi ada juga konsultan abal-abal yang tujuan utama dan pertama hanya cari uang, serta tidak segan-segan memanipulasi data. Pendeknya yang penting jagonya menang, sekalipun dengan cara curang dan ikut melakukan provokasi membangkitkan emosi massa.
Dalam masyarakat yang sedemikian majemuk, sikap toleran, empati, dan koperatif sangat diperlukan demi kepentingan yang jauh lebih besar, menjaga keharmonisan berbangsa dan menyejahterakan rakyat. Ibarat atlet pelari maraton, politisi itu mesti bernapas panjang.
Berpikir lintas generasi demi kemajuan bangsa, bukan pelari jarak pendek yang hanya mengejar kemenangan pilkada, pemilu atau lolos jadi anggota DPR atau DPRD. Tetapi berapa banyak mereka yang tidak berprestasi, bahkan banyak yang kemudian masuk penjara akibat korupsi.
Andaikan toh politik telah menjelma menjadi semacam industri, masih dapat ditoleransi selama proses dan produk serta jasa yang dihasilkan mendatangkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Tetapi sejauh ini politik lebih sibuk dengan dirinya sendiri, menyedot APBN, tapi produk yang dihasilkan sangat mengecewakan. Mungkin ada benarnya kritik yang mengatakan bahwa pasar bebas yang menggusur tradisi gotong royong dan musyawarah mufakat perlu ditinjau kembali.
(poe)