Isyarat Perpanjangan Kontrak Freeport
A
A
A
Fahmy Radhi
Dosen UGM dan Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas
PEMERINTAH Indonesia telah memberikan isyarat untuk memenuhi tuntutan perpanjangan izin operasi PT Freeport Indonesia (PT FI). Isyarat perpanjangan itu menjadi agenda pembahasan rapat menteri terkait yang dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri BUMN Rini Soemarno. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pada Selasa, 4 Juli 2017.
Menurut Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Fajar Harry Sampurno yang mengikuti rapat itu, agenda rapat tersebut membahas perpanjangan operasi Freeport, pembangunan smelter, divestasi saham, serta stabilitas investasi.
Lebih lanjut Fajar Harry Sampurno menyatakan, operasi Freeport rencananya akan diperpanjang satu kali sepuluh tahun, selanjutnya perpanjangan sepuluh tahun kedua akan diputuskan setelah dievaluasi.
Kendati pernyataan Fajar Harry Sampurno yang dikutip luas oleh media telah dibantah Staf Khusus Menteri ESDM Hadi M Djuraid, tapi adanya agenda pembahasan perpanjangan izin operasi Freeport tersebut merupakan penyampaian isyarat kepada Freeport bahwa pada saat yang tepat pemerintah akan memperpanjang izin operasi Freeport.
Kalau benar isyarat itu bahwa pemerintah akhirnya memberikan perpanjangan izin operasi 2 kali 10 tahun, kontrak Freeport baru akan berakhir pada 2041. Jika dihitung sejak awal izin kontrak pada 1967, Freeport sudah akan beroperasi di Papua selama 75 tahun. Namun, hingga Freeport sudah mengeduk kekayaan alam Bumi Papua selama 50 tahun, benefit yang diperoleh Indonesia hampir tidak ada kemajuan sama sekali.
Sejak 1967 hingga 2017, pemerintah masih memperoleh saham PT FI hanya sebesar 9,36%, sedangkan saham mayoritas 90,64% tetap saja digenggam Freeport McMoran Copper & Golden Inc. Indonesia memperoleh royalti juga sangat kecil antara 1-3% dan memungut sejumlah pajak dengan tarif tetap serta sejumlah dividen yang sering tidak dibagikan.
Di tengah perundingan yang masih berjalan alot antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport, penyampaian isyarat persetujuan perpanjangan itu jelas melemahkan posisi tawar Indonesia. Dampaknya, meskipun Indonesia sudah memberikan persetujuan izin sementara ekspor konsentrat dan mengisyaratkan adanya perpanjangan izin operasi, tapi Freeport tidak akan pernah memenuhi tuntutan Indonesia dalam proses perundingan. Freeport tidak akan menyetujui, baik tuntutan perubahan kontrak dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) maupun persyaratan IUPK.
Persyaratan itu meliputi smelterisasi dalam 5 tahun, divestasi saham 51% selama 10 tahun, dan penggunaan tax rezim prevailing (besaran pajak yang berubah seiring dengan perubahan peraturan pajak di Indonesia).
Adanya izin sementara ekspor konsentrat dan isyarat perpanjangan izin operasi menempatkan posisi tawar Freeport di atas angin dalam proses perundingan dengan Pemerintah Indonesia. Dengan posisi di atas angin, Freeport diperkirakan akan tetap menolak keras semua tuntutan Indonesia.
Kendati izin ekspor konsentrat masih sementara, Freeport merasa sangat PD (percaya diri) bahwa Pemerintah Indonesia akan selalu mengizinkan Freeport untuk ekspor konsentrat tanpa harus bersusah-payah membangun smelter.
Sejak berlakunya larangan ekspor konsentrat pada 12 Januari 2014 berdasarkan UU Minerba 4/2009, hampir semua Menteri ESDM, Jero Wacik, Sudirman Said, Arcandra Tahar, termasuk Ignasius Jonan, tetap mengeluarkan izin sementara ekspor konsentrat. Dampaknya seolah tidak ada urgensinya bagi Freeport membangun smelter, seperti yang dipersyaratkan UU Minerba itu.
Tidak mengherankan kalau Freeport selama ini selalu membangkang dalam pembangunan smelter lantaran Freeport selalu saja mendapatkan izin ekspor konsentrat dari pemerintah, siapa pun Menteri ESDM-nya.
Adanya izin sementara ekspor konsentrat dan isyarat persetujuan perpanjangan izin operasi berpotensi menempatkan Indonesia sebagai pecundang dalam proses perundingan dengan Freeport. Dalam posisi sebagai pecundang, keputusan akhir perundingan diperkirakan tidak akan pernah berubah sama sekali. Sistem kontrak masih saja dalam bentuk KK, tanpa bisa diubah menjadi IUPK, tidak ada pembangunan smelter di Indonesia, divestasi saham maksimal hanya 30% dan royalti tetap 1-3%, tax rezim digunakan tetap naildown (besaran pajak tetap), bukan prevailing berlaku hingga kontrak berakhir pada 2041.
Pemerintah seharusnya jangan pernah memberikan izin sementara ekspor konsentrat maupun isyarat persetujuan perpanjangan izin operasi Freeport selama proses perundingan sedang berlangsung. Dalam perundingan itu, pemerintah harus tetap keukeuh mempertahankan semua tuntutan meliputi perubahan KK menjadi IUPK beserta seluruh persyaratan IUPK terkait smelterisasi, divestasi, dan tax rezim.
Kalau pada akhirnya pemerintah menyerah kalah telak dalam proses perundingan dengan Freeport, tidak diragukan lagi Indonesia tidak memiliki kedaulatan energi. Selain itu, pemenuhan semua tuntutan Freeport menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia lebih mendahulukan kepentingan Freeport ketimbang menggunakan hasil tambang untuk sebesarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945.
Dosen UGM dan Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas
PEMERINTAH Indonesia telah memberikan isyarat untuk memenuhi tuntutan perpanjangan izin operasi PT Freeport Indonesia (PT FI). Isyarat perpanjangan itu menjadi agenda pembahasan rapat menteri terkait yang dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri BUMN Rini Soemarno. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pada Selasa, 4 Juli 2017.
Menurut Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Fajar Harry Sampurno yang mengikuti rapat itu, agenda rapat tersebut membahas perpanjangan operasi Freeport, pembangunan smelter, divestasi saham, serta stabilitas investasi.
Lebih lanjut Fajar Harry Sampurno menyatakan, operasi Freeport rencananya akan diperpanjang satu kali sepuluh tahun, selanjutnya perpanjangan sepuluh tahun kedua akan diputuskan setelah dievaluasi.
Kendati pernyataan Fajar Harry Sampurno yang dikutip luas oleh media telah dibantah Staf Khusus Menteri ESDM Hadi M Djuraid, tapi adanya agenda pembahasan perpanjangan izin operasi Freeport tersebut merupakan penyampaian isyarat kepada Freeport bahwa pada saat yang tepat pemerintah akan memperpanjang izin operasi Freeport.
Kalau benar isyarat itu bahwa pemerintah akhirnya memberikan perpanjangan izin operasi 2 kali 10 tahun, kontrak Freeport baru akan berakhir pada 2041. Jika dihitung sejak awal izin kontrak pada 1967, Freeport sudah akan beroperasi di Papua selama 75 tahun. Namun, hingga Freeport sudah mengeduk kekayaan alam Bumi Papua selama 50 tahun, benefit yang diperoleh Indonesia hampir tidak ada kemajuan sama sekali.
Sejak 1967 hingga 2017, pemerintah masih memperoleh saham PT FI hanya sebesar 9,36%, sedangkan saham mayoritas 90,64% tetap saja digenggam Freeport McMoran Copper & Golden Inc. Indonesia memperoleh royalti juga sangat kecil antara 1-3% dan memungut sejumlah pajak dengan tarif tetap serta sejumlah dividen yang sering tidak dibagikan.
Di tengah perundingan yang masih berjalan alot antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport, penyampaian isyarat persetujuan perpanjangan itu jelas melemahkan posisi tawar Indonesia. Dampaknya, meskipun Indonesia sudah memberikan persetujuan izin sementara ekspor konsentrat dan mengisyaratkan adanya perpanjangan izin operasi, tapi Freeport tidak akan pernah memenuhi tuntutan Indonesia dalam proses perundingan. Freeport tidak akan menyetujui, baik tuntutan perubahan kontrak dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) maupun persyaratan IUPK.
Persyaratan itu meliputi smelterisasi dalam 5 tahun, divestasi saham 51% selama 10 tahun, dan penggunaan tax rezim prevailing (besaran pajak yang berubah seiring dengan perubahan peraturan pajak di Indonesia).
Adanya izin sementara ekspor konsentrat dan isyarat perpanjangan izin operasi menempatkan posisi tawar Freeport di atas angin dalam proses perundingan dengan Pemerintah Indonesia. Dengan posisi di atas angin, Freeport diperkirakan akan tetap menolak keras semua tuntutan Indonesia.
Kendati izin ekspor konsentrat masih sementara, Freeport merasa sangat PD (percaya diri) bahwa Pemerintah Indonesia akan selalu mengizinkan Freeport untuk ekspor konsentrat tanpa harus bersusah-payah membangun smelter.
Sejak berlakunya larangan ekspor konsentrat pada 12 Januari 2014 berdasarkan UU Minerba 4/2009, hampir semua Menteri ESDM, Jero Wacik, Sudirman Said, Arcandra Tahar, termasuk Ignasius Jonan, tetap mengeluarkan izin sementara ekspor konsentrat. Dampaknya seolah tidak ada urgensinya bagi Freeport membangun smelter, seperti yang dipersyaratkan UU Minerba itu.
Tidak mengherankan kalau Freeport selama ini selalu membangkang dalam pembangunan smelter lantaran Freeport selalu saja mendapatkan izin ekspor konsentrat dari pemerintah, siapa pun Menteri ESDM-nya.
Adanya izin sementara ekspor konsentrat dan isyarat persetujuan perpanjangan izin operasi berpotensi menempatkan Indonesia sebagai pecundang dalam proses perundingan dengan Freeport. Dalam posisi sebagai pecundang, keputusan akhir perundingan diperkirakan tidak akan pernah berubah sama sekali. Sistem kontrak masih saja dalam bentuk KK, tanpa bisa diubah menjadi IUPK, tidak ada pembangunan smelter di Indonesia, divestasi saham maksimal hanya 30% dan royalti tetap 1-3%, tax rezim digunakan tetap naildown (besaran pajak tetap), bukan prevailing berlaku hingga kontrak berakhir pada 2041.
Pemerintah seharusnya jangan pernah memberikan izin sementara ekspor konsentrat maupun isyarat persetujuan perpanjangan izin operasi Freeport selama proses perundingan sedang berlangsung. Dalam perundingan itu, pemerintah harus tetap keukeuh mempertahankan semua tuntutan meliputi perubahan KK menjadi IUPK beserta seluruh persyaratan IUPK terkait smelterisasi, divestasi, dan tax rezim.
Kalau pada akhirnya pemerintah menyerah kalah telak dalam proses perundingan dengan Freeport, tidak diragukan lagi Indonesia tidak memiliki kedaulatan energi. Selain itu, pemenuhan semua tuntutan Freeport menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia lebih mendahulukan kepentingan Freeport ketimbang menggunakan hasil tambang untuk sebesarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945.
(dam)