Regulasi Tenaga Kerja
A
A
A
KEHADIRAN teknologi digital telah melahirkan ekonomi digital yang mengubah struktur ekonomi konvensional semuanya menjadi mudah. Berbagai bentuk bisnis baru bermunculan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya yang menghasilkan sejumlah lapangan kerja baru.
Sebagai konsekuensi, maka regulasi yang terkait dengan ketenagakerjaan pun harus mengikuti perkembangan zaman yang berubah begitu cepat. Meski pekerjaan ekonomi digital bersifat virtual namun tetap melibatkan pekerja dan pemberi kerja sehingga harus ada aturan tegas dan jelas untuk menghindari terjadinya konflik atau gejolak sosial yang tidak diharapkan.
Karena itu, regulasi ketenagakerjaan terkait ekonomi digital yang dibutuhkan setidaknya menyangkut jaminan kepastian hak pekerja dan pemberi kerja. Intinya memuat bentuk dan hubungan kerja, keterampilan, kesehatan dan keselamatan kerja, kesetaraan upah, jaminan sosial, serta perlindungan tenaga kerja.
Kebijakan ketenagakerjaan tersebut harus berlandaskan kerangka kerja layak yang mengacu pada standar ketenagakerjaan nasional dan internasional. Di sisi lain, pemerintah membuka pintu selebar mungkin yang memberikan ruang tumbuh bisnis rintisan (starup) berbasis teknologi digital.
Dampak dari perkembangan teknologi digital tak bisa dihindari. Sebuah hasil riset dari International Labour Organization (ILO) membuktikan bahwa sekitar 86% pekerjaan sektor garmen dan alas kaki di Vietnam, Kamboja, dan Myanmar telah tergerus.
Kondisi itu seperti diungkapkan Direktur ILO untuk Asia Pasifik, Gary Rynhart, tak jauh beda di Indonesia terkait sektor padat karya, jasa, pertanian dan manufaktur, serta transportasi yang terancam.
Belakangan ini penyebutan ekonomi digital begitu akrab di telinga. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ekonomi digital? Secara sederhana, definisi ekonomi digital adalah sektor ekonomi meliputi barang dan jasa yang saat pengembangan, produksi, penjualan, dan suplainya tergantung pada teknologi internet.
Kini perusahaan dicap kuno atau kedaluwarsa apabila tak mengembangkan bisnis via internet atau lebih dikenal dengan format bisnis elektronik (e-business) dan e-commerce.
Perkembangan ekonomi digital di Indonesia begitu pesat. Tahun lalu tercatat 8,6 juta orang yang bertransaksi online, padahal lima tahun lalu angka transaksi online baru mencapai sekitar 3 juta orang.
Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informasi tercatat transaksi e-commerce mencapai sebesar USD20 miliar atau setara dengan Rp261 triliun pada tahun lalu. Karena itu, tidak berlebihan kalau pemerintah berobsesi menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi digital di Asia Tenggara pada 2020 mendatang, dengan prediksi nilai transaksi mencapai sebesar USD130 juta.
Target pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara memang terkesan ambisius. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa perilaku masyarakat Indonesia sangat berorientasi digital.
Mengutip data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 52% dari total penduduk dan mengakses internet secara mobile selama empat jam per hari. Masih berdasarkan data APJII terungkap terdapat 370 juta kartu seluler aktif yang jauh lebih banyak dari penduduk kini berada di kisaran 270 juta.
Perkembangan lain yang membuat pemerintah semakin optimistis terhadap keberadaan ekonomi digital adalah pertumbuhan bisnis rintisan berbasis aplikasi begitu pesat.
Dari publikasi situs startupranking.com terungkap terdapat 1.463 startup di Indonesia. Jumlah starup yang ribuan itu telah menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan bisnis rintisan terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat (AS) dan India yang dikelola para generasi muda dengan semangat sociopreneurship, yakni generasi yang bisa menyelesaikan berbagai masalah ada di masyarakat dengan medium teknologi.
Di balik peluang dan potensi yang besar dari ekonomi digital, juga memiliki tantangan besar, salah satunya persoalan kebijakan ketenagakerjaan. Kita berharap draf regulasi ketenagakerjaan yang sedang digodok Kementerian Ketenagakerjaan bisa segera diselesaikan dengan mengakomodasikan kepentingan semua yang terlibat pada aktivitas ekonomi digital.
Tantangan lainnya, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur telekomunikasi yang belum terbangun merata karena selama ini masih berpusat di Pulau Jawa. Ingat target pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara tinggal tiga tahun lagi.
Sebagai konsekuensi, maka regulasi yang terkait dengan ketenagakerjaan pun harus mengikuti perkembangan zaman yang berubah begitu cepat. Meski pekerjaan ekonomi digital bersifat virtual namun tetap melibatkan pekerja dan pemberi kerja sehingga harus ada aturan tegas dan jelas untuk menghindari terjadinya konflik atau gejolak sosial yang tidak diharapkan.
Karena itu, regulasi ketenagakerjaan terkait ekonomi digital yang dibutuhkan setidaknya menyangkut jaminan kepastian hak pekerja dan pemberi kerja. Intinya memuat bentuk dan hubungan kerja, keterampilan, kesehatan dan keselamatan kerja, kesetaraan upah, jaminan sosial, serta perlindungan tenaga kerja.
Kebijakan ketenagakerjaan tersebut harus berlandaskan kerangka kerja layak yang mengacu pada standar ketenagakerjaan nasional dan internasional. Di sisi lain, pemerintah membuka pintu selebar mungkin yang memberikan ruang tumbuh bisnis rintisan (starup) berbasis teknologi digital.
Dampak dari perkembangan teknologi digital tak bisa dihindari. Sebuah hasil riset dari International Labour Organization (ILO) membuktikan bahwa sekitar 86% pekerjaan sektor garmen dan alas kaki di Vietnam, Kamboja, dan Myanmar telah tergerus.
Kondisi itu seperti diungkapkan Direktur ILO untuk Asia Pasifik, Gary Rynhart, tak jauh beda di Indonesia terkait sektor padat karya, jasa, pertanian dan manufaktur, serta transportasi yang terancam.
Belakangan ini penyebutan ekonomi digital begitu akrab di telinga. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ekonomi digital? Secara sederhana, definisi ekonomi digital adalah sektor ekonomi meliputi barang dan jasa yang saat pengembangan, produksi, penjualan, dan suplainya tergantung pada teknologi internet.
Kini perusahaan dicap kuno atau kedaluwarsa apabila tak mengembangkan bisnis via internet atau lebih dikenal dengan format bisnis elektronik (e-business) dan e-commerce.
Perkembangan ekonomi digital di Indonesia begitu pesat. Tahun lalu tercatat 8,6 juta orang yang bertransaksi online, padahal lima tahun lalu angka transaksi online baru mencapai sekitar 3 juta orang.
Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informasi tercatat transaksi e-commerce mencapai sebesar USD20 miliar atau setara dengan Rp261 triliun pada tahun lalu. Karena itu, tidak berlebihan kalau pemerintah berobsesi menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi digital di Asia Tenggara pada 2020 mendatang, dengan prediksi nilai transaksi mencapai sebesar USD130 juta.
Target pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara memang terkesan ambisius. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa perilaku masyarakat Indonesia sangat berorientasi digital.
Mengutip data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 52% dari total penduduk dan mengakses internet secara mobile selama empat jam per hari. Masih berdasarkan data APJII terungkap terdapat 370 juta kartu seluler aktif yang jauh lebih banyak dari penduduk kini berada di kisaran 270 juta.
Perkembangan lain yang membuat pemerintah semakin optimistis terhadap keberadaan ekonomi digital adalah pertumbuhan bisnis rintisan berbasis aplikasi begitu pesat.
Dari publikasi situs startupranking.com terungkap terdapat 1.463 startup di Indonesia. Jumlah starup yang ribuan itu telah menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan bisnis rintisan terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat (AS) dan India yang dikelola para generasi muda dengan semangat sociopreneurship, yakni generasi yang bisa menyelesaikan berbagai masalah ada di masyarakat dengan medium teknologi.
Di balik peluang dan potensi yang besar dari ekonomi digital, juga memiliki tantangan besar, salah satunya persoalan kebijakan ketenagakerjaan. Kita berharap draf regulasi ketenagakerjaan yang sedang digodok Kementerian Ketenagakerjaan bisa segera diselesaikan dengan mengakomodasikan kepentingan semua yang terlibat pada aktivitas ekonomi digital.
Tantangan lainnya, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur telekomunikasi yang belum terbangun merata karena selama ini masih berpusat di Pulau Jawa. Ingat target pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara tinggal tiga tahun lagi.
(dam)