Khilafah Kucingnya Pak Fahmi
A
A
A
MOH MAHFUD MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN): Ketua MK-RI 2008-2013
”Semakin Anda menjelaskan dan memberikan contoh bahwa sistem khilafah itu ada di dalam Islam, semakin jelas pula bahwa di dalam sumber primer ajaran Islam tidak ada ajaran baku tentang khilafah”.
Mengapa? Karena, semua yang Anda tunjukkan itu bukanlah sistem baku yang ada di dalam Alquran dan Hadits, melainkan produk ijtihad para ulama. Itulah isi pokok pandangan saya tentang khilafah sebagai sistem pemerintahan yang saya kemukakan, antara lain, di sebuah koran nasional melalui tulisan berjudul Menolak Ide Khilafah.
Pandangan saya itu bukan hanya saya tuangkan di dalam tulisan di atas, tetapi juga saya sampaikan di berbagai media televisi, radio, Twitter, WhatsApp, serta ceramah di berbagai forum seperti di DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan ceramah di Masjid Istiqlal. Sejak pendapat saya itu beredar dan menjadi viral masif banyak yang mendukung maupun yang mencoba membantah itu.
Menjelang Lebaran lalu beredar tulisan dari seorang doktor lulusan Vienna University of Technology (Austria) Fahmi Amhar yang juga menyoal tulisan saya, tetapi isinya sama sekali tak ada kaitan dengan substansi yang saya tulis. Kata keponakan saya yang masih dosen muda di Universitas Jember, Adam Muhshi, ibaratnya saya menulis kambing, Pak Fahmi menulis kucing.
Sebelum memberi catatan atas tulisan Pak Fahmi, berikut ilustrasi tanggapan yang senada. Seorang santri mengunggah (posting) video, mencoba membantah pendapat saya dan mengatakan, saya tidak tahu masalah khilafah karena, katanya, ada Al-Mawardi yang sudah menulis kitab tentang sistem khilafah.
Melalui Twitter, ada juga yang mengatakan bahwa saya tidak melihat kenyataan bahwa Jamaah Ahmadiyyah mempunyai sistem khilafah yang efektif secara internasional. Ada juga yang mengatakan, saya ahistoris atau tak paham sejarah bahwa sejak Nabi wafat khilafah itu sudah eksis dan itu dimulai dari Khulafa ar-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) yang terus berlangsung selama berabad-abad.
Justru bantahan-bantahan itu semakin membuktikan bahwa khilafah itu tidak ada ajarannya di dalam sumber primer ajaran Islam yakni Alquran dan Hadits. Semua itu hanya tafsir ciptaan ulama (produk ijtihad) menurut kebutuhan waktu dan tempatnya. Itulah sebabnya selain Al-Mawardi yang meneorisasi melalui kitab Al-Ahkam as- Sulthaniyyah,banyak ulama lain yang menulis teori berbeda.
Al- Maududi misalnya meneorikan teodemokrasi untuk pemerintahan Islam. Al-Afghani meneorikan ada khilafah ke dalam khilafah politik yang berpusat di Turki dan khilafah agama yang berpusat di Mekkah. Jadi, ulama pun berbedabeda dalam berijtihad karena memang disesuaikan dengan kebutuhan tempat dan waktunya masing-masing.
Di Alquran dan Hadits tak ada panduan tentang sistem pemerintahan sehingga penyusunan sistemnya diserahkan kepada masing-masing ulama (dan umara) sesuai dengan kebutuhan zaman dan budayanya. Dalam konteks inilah, saya katakan bahwa pemerintahan Indonesia juga merupakan produk ijtihad dari ulama-ulama Indonesia yang tidak boleh dianggap lebih rendah daripada produk Al-Mawardi, Al-Maududi, Al-Afghani, dan lain-lain.
Sekarang ini ada 57 negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan 22 Negara Liga Arab yang sistem khilafahnya berbeda-beda. Mengapa berbeda-beda? Ya, karena memang sumber primer Islam tidak mengajarkan sistem pemerintahan (khilafah). ”Kamu semua lebih tahu cara mengatur urusan duniamu,” demikian sabda Nabi.
Yang terpelajar Dr Fahmi Amhar, lulusan Vienna University of Technology, yang menanggapi tulisan saya yang berjudul Menolak Ide Khilafah dengan judul Menantang Ide Khilafah ternyata sama sekali tak membantah tesis yang saya bangun seperti diurai di atas. Pak Fahmi hanya menulis ihwal lain yang justru sudah lama saya jawab lebih dulu di buku-buku saya tentang konstitusi, demokrasi, dan hukum.
Dengan segala maaf, saya sampaikan bahwa, menurut saya, Pak Fahmi tidak membaca tulisan saya yang dibantahnya itu. Dia mungkin hanya membaca komentar-komentar orang dimedia social lalu menulis tanggapannya. Lebih parah lagi yang memviralkan tanggapan Pak Fahmi malahan tidak membaca dulu baik tulisan saya maupun tulisan Pak Fahmi.
Pak Fahmi misalnya menulis, sependek pengetahuannya sistem khilafah itu bukan model suksesi seperti yang Prof Mahfud katakan sebagai tidak baku. Di dalam tulisan justru saya bilang di dalam Islam tidak ada sistem baku karena selain cara suksesi kepemimpinannya tidak baku juga manual ”strukturisasinya” tidak ada yang baku di Alquran dan Hadits sehingga setiap zaman dan tempat bisa membuat sendiri-sendiri.
Jadi, khilafah itu bukan hanya model suksesi. Itu yang saya tulis. Dikatakan juga oleh Pak Fahmi seharusnya, ”orang bisa berjuang untuk memperjuangkan khilafah”. Itu betul, tetapi orang juga bisa berjuang untuk menolak sistem khilafah (pemerintahan) tertentu yang sistemnya masih akan dicari.
Khilafah yang diinginkan itu yang mana sih ? Yang seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Muawiyyah, Abbasiyyah, Ottoman, Fathimiyyah? Itu kan berbedabeda dari tempat ke tempat dan dari zaman ke zaman. Doktrin siapa yang akan kita pakai? Al- Mawardi, Al-Maududi, Al-Afghani, Rasyid Ridho, atau cukup di doktrin umum yang dikemukakan oleh Al-Ghazali saja? Semuanya kan berbeda-beda.
Maka itu, keunikan yang dipilih ulama-ulama Indonesia juga harus diterima sebagai produk ijtihad dan doktrin yang sah secara Islam. Di luar ihwal yang substantif itu, Pak Fahmi juga menyinggung bahwa di Indonesia pun sistemnya selalu berubahubah sehingga kalau mau berdemokrasi, ya harus membuka kemungkinan menerima ide khilafah.
”Kalau menerima demokrasi, mengapa tidak menerima khilafah?” tulis Pak Fahmi. Nah, itu juga sudah saya tulis di buku-buku dan makalah-makalah saya. Yang saya persoalkan justru sistem khilafah yang mana yang dianggap otentik dari sumber primer Islam? Apakah ada yang berani mengatakan bahwa sistem yang di Indonesia ini bertentangan dengan ajaran primer Islam? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus dikemukakan dan dijawab juga atas nama demokrasi.
Sebab, di dalam demokrasi itu, selain boleh mengusulkan, juga boleh menolak dan bertanya dasar asumsinya. Kalau mau memprotes bahwa di dalam sistem yang ada sekarang di Indonesia banyak terjadi kesewenang-wenangan, ketidakadilan, korupsi, dan sebagainya, pada sejarah khilafah pun banyak catatan hitam tentang kesewenang-wenangan, ketidakadilan, dan korupsi.
Pada zaman Khalifah Al-Makmun misalnya Imam Hambali dan Imam Syafii dihukum dengan sewenang-wenang karena berbeda pendapat dengan penguasa. Lalu, khilafah macam apa yang dijamin lebih baik dari yang kita pergunakan di Indonesia sekarang? Salam hormat untuk Pak Fahmi. Bagus juga kalau ada yang berinisiatif mempertemukan kita dalam forum diskusi yang lebih terbuka.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN): Ketua MK-RI 2008-2013
”Semakin Anda menjelaskan dan memberikan contoh bahwa sistem khilafah itu ada di dalam Islam, semakin jelas pula bahwa di dalam sumber primer ajaran Islam tidak ada ajaran baku tentang khilafah”.
Mengapa? Karena, semua yang Anda tunjukkan itu bukanlah sistem baku yang ada di dalam Alquran dan Hadits, melainkan produk ijtihad para ulama. Itulah isi pokok pandangan saya tentang khilafah sebagai sistem pemerintahan yang saya kemukakan, antara lain, di sebuah koran nasional melalui tulisan berjudul Menolak Ide Khilafah.
Pandangan saya itu bukan hanya saya tuangkan di dalam tulisan di atas, tetapi juga saya sampaikan di berbagai media televisi, radio, Twitter, WhatsApp, serta ceramah di berbagai forum seperti di DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan ceramah di Masjid Istiqlal. Sejak pendapat saya itu beredar dan menjadi viral masif banyak yang mendukung maupun yang mencoba membantah itu.
Menjelang Lebaran lalu beredar tulisan dari seorang doktor lulusan Vienna University of Technology (Austria) Fahmi Amhar yang juga menyoal tulisan saya, tetapi isinya sama sekali tak ada kaitan dengan substansi yang saya tulis. Kata keponakan saya yang masih dosen muda di Universitas Jember, Adam Muhshi, ibaratnya saya menulis kambing, Pak Fahmi menulis kucing.
Sebelum memberi catatan atas tulisan Pak Fahmi, berikut ilustrasi tanggapan yang senada. Seorang santri mengunggah (posting) video, mencoba membantah pendapat saya dan mengatakan, saya tidak tahu masalah khilafah karena, katanya, ada Al-Mawardi yang sudah menulis kitab tentang sistem khilafah.
Melalui Twitter, ada juga yang mengatakan bahwa saya tidak melihat kenyataan bahwa Jamaah Ahmadiyyah mempunyai sistem khilafah yang efektif secara internasional. Ada juga yang mengatakan, saya ahistoris atau tak paham sejarah bahwa sejak Nabi wafat khilafah itu sudah eksis dan itu dimulai dari Khulafa ar-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) yang terus berlangsung selama berabad-abad.
Justru bantahan-bantahan itu semakin membuktikan bahwa khilafah itu tidak ada ajarannya di dalam sumber primer ajaran Islam yakni Alquran dan Hadits. Semua itu hanya tafsir ciptaan ulama (produk ijtihad) menurut kebutuhan waktu dan tempatnya. Itulah sebabnya selain Al-Mawardi yang meneorisasi melalui kitab Al-Ahkam as- Sulthaniyyah,banyak ulama lain yang menulis teori berbeda.
Al- Maududi misalnya meneorikan teodemokrasi untuk pemerintahan Islam. Al-Afghani meneorikan ada khilafah ke dalam khilafah politik yang berpusat di Turki dan khilafah agama yang berpusat di Mekkah. Jadi, ulama pun berbedabeda dalam berijtihad karena memang disesuaikan dengan kebutuhan tempat dan waktunya masing-masing.
Di Alquran dan Hadits tak ada panduan tentang sistem pemerintahan sehingga penyusunan sistemnya diserahkan kepada masing-masing ulama (dan umara) sesuai dengan kebutuhan zaman dan budayanya. Dalam konteks inilah, saya katakan bahwa pemerintahan Indonesia juga merupakan produk ijtihad dari ulama-ulama Indonesia yang tidak boleh dianggap lebih rendah daripada produk Al-Mawardi, Al-Maududi, Al-Afghani, dan lain-lain.
Sekarang ini ada 57 negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan 22 Negara Liga Arab yang sistem khilafahnya berbeda-beda. Mengapa berbeda-beda? Ya, karena memang sumber primer Islam tidak mengajarkan sistem pemerintahan (khilafah). ”Kamu semua lebih tahu cara mengatur urusan duniamu,” demikian sabda Nabi.
Yang terpelajar Dr Fahmi Amhar, lulusan Vienna University of Technology, yang menanggapi tulisan saya yang berjudul Menolak Ide Khilafah dengan judul Menantang Ide Khilafah ternyata sama sekali tak membantah tesis yang saya bangun seperti diurai di atas. Pak Fahmi hanya menulis ihwal lain yang justru sudah lama saya jawab lebih dulu di buku-buku saya tentang konstitusi, demokrasi, dan hukum.
Dengan segala maaf, saya sampaikan bahwa, menurut saya, Pak Fahmi tidak membaca tulisan saya yang dibantahnya itu. Dia mungkin hanya membaca komentar-komentar orang dimedia social lalu menulis tanggapannya. Lebih parah lagi yang memviralkan tanggapan Pak Fahmi malahan tidak membaca dulu baik tulisan saya maupun tulisan Pak Fahmi.
Pak Fahmi misalnya menulis, sependek pengetahuannya sistem khilafah itu bukan model suksesi seperti yang Prof Mahfud katakan sebagai tidak baku. Di dalam tulisan justru saya bilang di dalam Islam tidak ada sistem baku karena selain cara suksesi kepemimpinannya tidak baku juga manual ”strukturisasinya” tidak ada yang baku di Alquran dan Hadits sehingga setiap zaman dan tempat bisa membuat sendiri-sendiri.
Jadi, khilafah itu bukan hanya model suksesi. Itu yang saya tulis. Dikatakan juga oleh Pak Fahmi seharusnya, ”orang bisa berjuang untuk memperjuangkan khilafah”. Itu betul, tetapi orang juga bisa berjuang untuk menolak sistem khilafah (pemerintahan) tertentu yang sistemnya masih akan dicari.
Khilafah yang diinginkan itu yang mana sih ? Yang seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Muawiyyah, Abbasiyyah, Ottoman, Fathimiyyah? Itu kan berbedabeda dari tempat ke tempat dan dari zaman ke zaman. Doktrin siapa yang akan kita pakai? Al- Mawardi, Al-Maududi, Al-Afghani, Rasyid Ridho, atau cukup di doktrin umum yang dikemukakan oleh Al-Ghazali saja? Semuanya kan berbeda-beda.
Maka itu, keunikan yang dipilih ulama-ulama Indonesia juga harus diterima sebagai produk ijtihad dan doktrin yang sah secara Islam. Di luar ihwal yang substantif itu, Pak Fahmi juga menyinggung bahwa di Indonesia pun sistemnya selalu berubahubah sehingga kalau mau berdemokrasi, ya harus membuka kemungkinan menerima ide khilafah.
”Kalau menerima demokrasi, mengapa tidak menerima khilafah?” tulis Pak Fahmi. Nah, itu juga sudah saya tulis di buku-buku dan makalah-makalah saya. Yang saya persoalkan justru sistem khilafah yang mana yang dianggap otentik dari sumber primer Islam? Apakah ada yang berani mengatakan bahwa sistem yang di Indonesia ini bertentangan dengan ajaran primer Islam? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus dikemukakan dan dijawab juga atas nama demokrasi.
Sebab, di dalam demokrasi itu, selain boleh mengusulkan, juga boleh menolak dan bertanya dasar asumsinya. Kalau mau memprotes bahwa di dalam sistem yang ada sekarang di Indonesia banyak terjadi kesewenang-wenangan, ketidakadilan, korupsi, dan sebagainya, pada sejarah khilafah pun banyak catatan hitam tentang kesewenang-wenangan, ketidakadilan, dan korupsi.
Pada zaman Khalifah Al-Makmun misalnya Imam Hambali dan Imam Syafii dihukum dengan sewenang-wenang karena berbeda pendapat dengan penguasa. Lalu, khilafah macam apa yang dijamin lebih baik dari yang kita pergunakan di Indonesia sekarang? Salam hormat untuk Pak Fahmi. Bagus juga kalau ada yang berinisiatif mempertemukan kita dalam forum diskusi yang lebih terbuka.
(mhd)