Mendaya Nalar Dalam Beragama

Jum'at, 30 Juni 2017 - 13:11 WIB
Mendaya Nalar Dalam...
Mendaya Nalar Dalam Beragama
A A A
Muhammad Takdir
Alumni Geneva Centre for Security Policy (GCSP), Swiss

SALAH satu topik yang sering menjadi fokus pembahasan inter-faith dialogue adalah upaya membangun pemahaman bahwa semua agama mengajarkan hal-hal yang baik. Tidak ada satu agama pun yang diciptakan dengan basis dan orientasi buruk.

Pertanyaannya, mampukah nalar dan orientasi spiritual berjalan seiring dalam menemukan oase keyakinan yang sempurna? Ketika Tuhan menciptakan Nabi Adam AS, langkah yang pertama kali dilakukan adalah mengajarkan Adam namanama benda, “wa allama adamal asmaaa kullaha” (Al-Baqaarah, 31). Lalu Tuhan mengajarkan nama-nama benda atau apa saja yang ada di sekitar Adam ketika itu. Tentu bukan dengan maksud agar Adam AS mencintai benda.

Tidak juga agar Adam menjadi materialistis atau “hubbud dunya”, lebih menyukai dunia. No way! Narasi Qurani itu hanya kiasan bahwa yang pertama ditanamkan adalah nalar, akal pikiran, atau kekuatan mencerna. Untuk apa? Ya, pastinya menemukan Tuhannya. Kita diminta mencari master kita. Lalu tunduk dan bersikap menghamba kepada-Nya (submission). Bahkan dalam nada yang jelas dan tegas, Tuhan berkata “falam, innaahu laa ilaha illa laah!” Artinya, “maka pahamilah (dengan akal pikiran kalian) bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah”.

Lagi-lagi nalar dan akal pikiran. Persis seperti dicontohkan Nabi Ibrahim AS atau Abraham ketika galau mencari Tuhan. Ibrahim mencerna bulan, lalu matahari dan apa saja. Tetapi nalarnya berkata lain. Itu semua semu. Menurut pikiran atau nalar sehatnya, Tuhan tidak semu. Tuhan tak berganti, tak berawal, tak berujung, tak berwujud, tak bergambar (image), dan tak berbilang. Alpha and Omega. Ini mungkin hakiki peruntukan nalar tadi dalam proses pencarian. Sesungguhnya, cara Tuhan memperlakukan hamba- Nya adalah seolah-olah memberikan tantangan kepada manusia untuk “mencari dan menemukan” diri-Nya.

Kesan pertama kita dalam “pencarian” itu akan sangat menentukan langkah selanjutnya. Ibarat iklan Axe, “kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda!” Nalar tak perlu lagi diragukan akan mencari yang terbaik di antara yang baik. Kalau mencari yang baik di antara yang buruk itu gampang. Namun, mencari terbaik di antara yang baik merupakan realdeal tersendiri yang memerlukan ekstra nalar dan keseriusan beritikad. Serupalah ketika kita mencari agama sebagai tumpuan keyakinan. Balik lagi kepada esensi interfaith dialogue.

Semua agama itu baik. Tidak ada yang mengajarkan keburukan atau kejahatan. Hanya satu hal yang saya yakini bahwa di antara yang baik itu pasti ada satu yang terbaik. Agama terbaik mengatur urusan dari masalah paling kecil– maaf, kentut misalnya, hingga bisnis tertinggi, ihwal memilih pemimpin. Suatu agama yang lengkap dan sempurna, perfecto ! Kita tak perlu alergi dengan pencarian itu atau merasa sensitif. Toh, di dunia saja, kita diajarkan mencari sekolah, universitas, atau pendidikan terbaik. Dunia memeringkat siapa yang terbaik dengan indeks sangat ketat.

Sampai di sini, kita menjadi percaya bahwa tidak ada sekolah atau pendidikan mengajarkan kejahatan. Semua mengajarkan kebajikan dan kebijakan. Tetapi yakinlah bahwa di antara sekolah-sekolah baik itu ada satu yang terbaik. Pasti ada satu terbaik yang harus kita cari, telusuri, dan temukan. Ibarat sederhana. Dalam soal minuman saja, Pepsi dan Coca Cola berlomba menjadi yang terbaik. Bersaing habis-habisan merebut pelanggan. Pada tingkat tertentu, kita pun diarahkan oleh iklan yang berjubelan untuk memilihdiantaraPepsidanCoba Cola.

Hal yang bisa kita lakukan, lagi-lagi menggunakan nalar tadi. Nalar atau akal sehat yang dititipkan Tuhan untuk memilih minuman terbaik. Karena boleh jadi dengan nalar tadi, saya memilih Es Teler 77 atau Sarabba (minuman khas Makassar) sebagai pilihan favorit saya ketika berbuka puasa. Mungkinkah “keterbaikan” itu berangkat dari sebuah kebenaran hakiki? Ini yang agak sulit kita rumuskan sehingga ketika kita semua membahasakan dan mendiskusikannya pun mesti dengan cara terbaik. Istilah budayawan Emha Ainum Najib, pada saat kita memberlakukan kebenaran (dalam berketuhanan), maka letakkan hal itu dalam dirimu dengan Tuhanmu (urusan private). Namun, ketika kamu mengekspresikannya keluar, maka ekspresikanlah hal itu dalam kebajikan.

Dalam proses mencari dan memilih yang terbaik, kita pun melakukannya dengan cara terbaik pula. “Kuntum hayran ummah...”, kalian umat terbaik, begitu firman Tuhan. Mencari yang terbaik inheren dengan cara terbaik. Kalau ada yang neko -neko, maka akal dan nalar sehat juga akan mencernanya. Meraih yang terbaik harus dengan cara terbaik. Demikianlah kira-kira esensi kesempurnaan “insan kamil” yang dicari oleh semua muslim. Setiap orang bisa berbeda perspektif dalam melihat atau menilai sesuatu. Bilamana perbedaan itu kita pelihara (dalam arti tidak kita matikan), maka itulah hakikat pembentukan peradaban.

Tuhan sengaja menciptakan kita berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berkelompok- kelompok dengan macam ragam keyakinan agar kita saling mengenal (litaarafu). Kita harus memahami bahwa “mengenal” adalah pintu atau jalan penggunaan akal pikiran dan nalar yang sehat. Tak kenal, maka tak sayang, kata awak Melayu.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1408 seconds (0.1#10.140)