Beras Mahal, KPPU Gerah
A
A
A
HARGA beras di Indonesia yang lebih mahal daripada sejumlah negara khususnya di kawasan ASEAN, membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) gerah. Untuk sementara, KPPU sudah mengantongi indikasi pemicu harga beras di Indonesia lebih mahal, di antaranya biaya produksi yang tinggi, mata rantai distribusi yang panjang, dan kemungkinan negara lain kelebihan pasokan beras.
Ketiga faktor yang diduga menjadi penyebab tingginya harga beras di dalam negeri dibandingkan harga internasional akan menjadi pegangan KPPU dalam menyelidiki perbedaan harga tersebut. Pihak KPPU menilai kondisi demikian harus segera mendapat pembenahan dari Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Sungguh ironis, produksi beras saat ini cukup melimpah tetapi harga beras masih mahal. Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO) Ageng Herianto membenarkan sinyalemen KPPU bahwa harga beras domestik yang mahal dipicu oleh ongkos produksi yang tinggi.
Komponen yang menyebabkan biaya produksi yang tinggi akibat kepemilikan lahan petani yang sempit. Sebagaimana dipaparkan Ageng Herianto, petani di Indonesia banyak yang tidak punya lahan akibatnya harus sewa dari pihak lain. Hal itu berimplikasi pada biaya produksi menjadi tinggi. Selain itu, pola lahan di Indonesia tersebar ke berbagai wilayah yang berpengaruh pada efisiensi pengelolaan.
Suara senada juga dilontarkan Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati. Selain membenarkan biaya produksi yang tinggi sebagai penyebab harga beras mahal di Indonesia, juga dipicu oleh tata niaga beras dengan margin yang tinggi.
Telah terjadi disparitas harga yang tinggi dari petani ke tangan konsumen. Disparitas harga tersebut nyaris menyentuh 100%, misalnya, harga beras di pasar sebesar Rp11.000 per kg, namun harga beras di tingkat petani hanya sebesar Rp6.000 per kg. Tata niaga beras yang timpang tersebut menjadi kontributor dominan mahalnya harga beras di Indonesia.
Belum lama ini, FAO telah merilis data terbaru harga beras di Indonesia dibandingkan dengan harga beras rata-rata internasional tahun lalu. Harga beras domestik berkisar pada USD1 per kg, sedangkan harga beras internasional hanya USD0,4 kg.
Badan Pangan Dunia mengambil perbandingan harga di beberapa negara produsen beras di ASEAN, di antaranya Myanmar sebesar USD0,28 per kg, Vietnam sekitar USD0,31 per kg, lalu Thailand USD0,33 per kg serta Kamboja sekitar USD0,42 per kg. Selain itu, FAO juga membandingkan harga beras di India sekitar USD0,48 per kg, Bangladesh sebesar USD0,46 per kg, Pakistan sebesar USD0,42 per kg, dan Sri Lanka mencapai USD0,50 per kg. Ini sebuah fakta menarik seputar harga beras yang mahal di dalam negeri.
Menanggapi data FAO seputar harga beras dalam negeri yang mahal itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita tak ingin ambil pusing. Sepertinya Mendag menghindari polemik perbandingan harga beras domestik yang mahal dibandingkan harga internasional dengan mengutip harga beras sejumlah negara sebagaimana dipublikasikan FAO.
Secara diplomatis, mantan ketua REI itu menyatakan harga beras bervariasi sangat bergantung pada jenis beras, namun Mendag tak merinci seperti apa gambaran harga beras yang bervariasi itu.
Mengapa Mendag Enggartiasto Lukita tak ingin ambil pusing soal harga beras mahal yang menjadi sorotan KPPU dan FAO? Alasannya, saat ini pemerintah tidak melakukan impor beras lagi. “Buat apa kita bandingkan harga beras internasional. Saya enggak ada izin impor ngapain diperbandingkan,” tegasnya.
Memang, saat ini Indonesia menempati peringkat terbesar ketiga di dunia sebagai penghasil beras. Total produksi gabah sebesar 70 juta ton kalau dikonversi menjadi beras sekitar 39 juta ton dengan kebutuhan beras rata-rata sekitar 2,67 juta ton per bulan.
Pemerintah boleh berdalih bahwa urusan harga beras di Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan sejumlah negara di kawasan ASEAN adalah hal yang tidak penting disebabkan tak ada lagi izin impor beras. Namun, tak boleh menutup mata mengapa harga beras di dalam negeri masih tinggi, apalagi pihak KPPU sudah menemukan tiga indikasi penyebab harga beras yang mahal.
Kita berharap KPPU tidak ikut gendang pemerintah yang cuek terhadap harga beras. KPPU harus didukung untuk membuktikan bahwa ada masalah dibalik harga beras yang mahal itu.
Ketiga faktor yang diduga menjadi penyebab tingginya harga beras di dalam negeri dibandingkan harga internasional akan menjadi pegangan KPPU dalam menyelidiki perbedaan harga tersebut. Pihak KPPU menilai kondisi demikian harus segera mendapat pembenahan dari Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Sungguh ironis, produksi beras saat ini cukup melimpah tetapi harga beras masih mahal. Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO) Ageng Herianto membenarkan sinyalemen KPPU bahwa harga beras domestik yang mahal dipicu oleh ongkos produksi yang tinggi.
Komponen yang menyebabkan biaya produksi yang tinggi akibat kepemilikan lahan petani yang sempit. Sebagaimana dipaparkan Ageng Herianto, petani di Indonesia banyak yang tidak punya lahan akibatnya harus sewa dari pihak lain. Hal itu berimplikasi pada biaya produksi menjadi tinggi. Selain itu, pola lahan di Indonesia tersebar ke berbagai wilayah yang berpengaruh pada efisiensi pengelolaan.
Suara senada juga dilontarkan Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati. Selain membenarkan biaya produksi yang tinggi sebagai penyebab harga beras mahal di Indonesia, juga dipicu oleh tata niaga beras dengan margin yang tinggi.
Telah terjadi disparitas harga yang tinggi dari petani ke tangan konsumen. Disparitas harga tersebut nyaris menyentuh 100%, misalnya, harga beras di pasar sebesar Rp11.000 per kg, namun harga beras di tingkat petani hanya sebesar Rp6.000 per kg. Tata niaga beras yang timpang tersebut menjadi kontributor dominan mahalnya harga beras di Indonesia.
Belum lama ini, FAO telah merilis data terbaru harga beras di Indonesia dibandingkan dengan harga beras rata-rata internasional tahun lalu. Harga beras domestik berkisar pada USD1 per kg, sedangkan harga beras internasional hanya USD0,4 kg.
Badan Pangan Dunia mengambil perbandingan harga di beberapa negara produsen beras di ASEAN, di antaranya Myanmar sebesar USD0,28 per kg, Vietnam sekitar USD0,31 per kg, lalu Thailand USD0,33 per kg serta Kamboja sekitar USD0,42 per kg. Selain itu, FAO juga membandingkan harga beras di India sekitar USD0,48 per kg, Bangladesh sebesar USD0,46 per kg, Pakistan sebesar USD0,42 per kg, dan Sri Lanka mencapai USD0,50 per kg. Ini sebuah fakta menarik seputar harga beras yang mahal di dalam negeri.
Menanggapi data FAO seputar harga beras dalam negeri yang mahal itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita tak ingin ambil pusing. Sepertinya Mendag menghindari polemik perbandingan harga beras domestik yang mahal dibandingkan harga internasional dengan mengutip harga beras sejumlah negara sebagaimana dipublikasikan FAO.
Secara diplomatis, mantan ketua REI itu menyatakan harga beras bervariasi sangat bergantung pada jenis beras, namun Mendag tak merinci seperti apa gambaran harga beras yang bervariasi itu.
Mengapa Mendag Enggartiasto Lukita tak ingin ambil pusing soal harga beras mahal yang menjadi sorotan KPPU dan FAO? Alasannya, saat ini pemerintah tidak melakukan impor beras lagi. “Buat apa kita bandingkan harga beras internasional. Saya enggak ada izin impor ngapain diperbandingkan,” tegasnya.
Memang, saat ini Indonesia menempati peringkat terbesar ketiga di dunia sebagai penghasil beras. Total produksi gabah sebesar 70 juta ton kalau dikonversi menjadi beras sekitar 39 juta ton dengan kebutuhan beras rata-rata sekitar 2,67 juta ton per bulan.
Pemerintah boleh berdalih bahwa urusan harga beras di Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan sejumlah negara di kawasan ASEAN adalah hal yang tidak penting disebabkan tak ada lagi izin impor beras. Namun, tak boleh menutup mata mengapa harga beras di dalam negeri masih tinggi, apalagi pihak KPPU sudah menemukan tiga indikasi penyebab harga beras yang mahal.
Kita berharap KPPU tidak ikut gendang pemerintah yang cuek terhadap harga beras. KPPU harus didukung untuk membuktikan bahwa ada masalah dibalik harga beras yang mahal itu.
(poe)