Menghina Pejabat Negara

Sabtu, 17 Juni 2017 - 09:31 WIB
Menghina Pejabat Negara
Menghina Pejabat Negara
A A A
Dr Rahma Sugihartati
Dosen dan Ketua Prodi Ilmu Informasi dan Perpustakaan FISIP Universitas Airlangga

ENTAH karena didorong ketidakmengertian atau emosi yang kelewat batas, berbagai kasus penghinaan kepada sejumlah pejabat negara terus terjadi di media sosial. Kasus terbaru, Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara dilaporkan telah menangkap laki-laki berinisal NS alias Nursalam, 28, karena dinilai telah menghina Kapolri Jenderal Tito Karnavian di akun Facebooknya.

Dalam postingannya, NS mengunggah foto Kapolri disandingkan dengan anjing pelacak polisi K19. NS menambahi keterangan atau komentar yang dinilai meremehkan orang nomor satu di jajaran kepolisian Indonesia itu.

Sebelumnya, di Jawa Timur, MS alias Bogel, seorang pemuda asal Bangkalan, dilaporkan juga telah ditangkap Tim Cyber Crime Polda Jatim karena mengunggah ucap­an yang menghina Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Sejumlah pejabat negara diketahui pernah menjadi korban penghinaan di dunia maya, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).

Sejumlah netizen dikabarkan telah merisak dan menuding JK bersikap rasis—sebuah tuduhan yang tidak benar dan telah dibantah JK maupun keluarganya. Semasa muda JK bahkan dituduh pernah membakar gereja. Padahal faktanya justru rumah JK dijadikan tempat perlindungan bagi sejumlah pihak yang takut menjadi korban konflik etnis di waktu itu.

Kasus serupa sebelumnya juga dialami Gubernur DIY yang juga Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan HB X—figur yang selama ini dihormati masyarakat Yogyakarta. Seperti diberitakan di media massa, Sri Sultan melaporkan munculnya berita hoax mengenai isu SARA di salah satu portal blog berita yang mencatut namanya. Portal berita berbasis blog metronews.tk dilaporkan Sri Sultan karena dinilai telah mencemarkan nama baiknya.

Sri Sultan yang sama sekali tidak pernah merasa diwawancarai, di blog berita tersebut ditulis telah membuat pernyataan yang tendensius dan memuat unsur SARA. Nama Sri Sultan tampaknya sengaja dicatut oleh pihak-pihak tertentu dan dipergunakan untuk kepentingan pertarungan politik di Pilkada DKI Jakarta.
Sri Sultan disebut-sebut tidak mendukung etnik tertentu untuk menjadi pemimpin. Padahal Sultan mengaku tidak pernah merasa diwawancarai dan menyatakan hal seperti yang tertuang dalam berita di situs bernama metronews.tk tersebut.

Penanganan
Untuk mencegah dan menghindari agar tidak timbul keresahan sosial dan penilaian masyarakat yang keliru, yang perlu dilakukan para pejabat tentu tidak sekadar melakukan klarifikasi, tetapi jika perlu menempuh jalur hukum. Sri Sultan, misalnya, memilih menempuh jalur hukum. Ngarsa Dalem melaporkan kasus yang dialaminya ke aparat kepolisian dan berharap segera dilakukan penyelidikan untuk mencari siapa dalang di balik penyebaran berita hoax yang tidak benar itu.

Terlepas apakah dilaporkan atau tidak, ketika seorang pejabat publik menjadi korban tindak kriminal yang melanggar undang-undang, tentu sudah menjadi tugas aparat kepolisian untuk menindaklanjuti yang masuk secepat mungkin. Terlebih pihak yang menjadi korban adalah figur publik yang berpotensi menjadi korban pencemaran nama baik karena penyebaran berita hoax yang luar biasa cepat.

Kasus yang menimpa Kapolri, JK atau Sri Sultan secara hukum jelas masuk ke dalam ranah pelanggaran Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Tran­saksi Elektronik (ITE). Tindakan pencemaran nama baik di media sosial dan dunia maya tentu saja telah melanggar Pasal 27 tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 tentang penyebaran informasi untuk menimbulkan kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Dengan mengoptimalkan kinerja kepolisian, khususnya divisi cyber crime yang menangani kasus kejahatan di dunia maya, kasus yang menimpa Kapolri, JK, dan Sri Sultan ini diharapkan akan segera terselesaikan. Siapa pun dalang di balik portal berita yang mencatut nama pejabat negara, mereka harus diproses di meja hijau dan memperoleh hukuman yang setimpal atas kesalahan yang dilakukan.

Bisa dibayangkan, jika figur selevel Wapres JK, Kapolri atau Sri Sultan bisa dicatut dan dicemarkan nama baiknya, tentu pihak-pihak lain yang notabene orang-orang biasa akan dengan mudah menjadi objek tindak pencemaran melalui berita hoax. Untuk itu, penanganan berbagai kasus pencemaran nama baik pejabat negara lewat berita hoax benar-benar menjadi batu ujian pihak kepolisian untuk segera menangkap pelaku dan memecahkan masalah ini.

Melawan Berita Hoax
Di era perkembangan masyarakat digital, risiko penyalahgunaan informasi dan kemungkinan masyarakat, termasuk para pejabat publik, menjadi korban berita hoax harus diakui mengalami peningkatan yang sangat pesat. Ketika semua orang bisa menjadi wartawan tanpa media di dunia maya, siapa pun kemudian memiliki kekuasaan untuk memproduksi informasi dan kemudian menyirkulasi ke media sosial—tanpa bisa dicegah.

Masalahnya, ketika informasi yang diproduksi adalah berita-berita hoax, dan penyebaran berita hoax melalui media sosial maupun internet dimanfaatkan sebagai instrumen untuk kepentingan politik maupun media untuk menyalurkan dendam-dendam personal, maka pada titik ini yang dibutuhkan bukan hanya pena­nganan dari segi hukum semata.

Dengan memanfaatkan kedudukan dan status pejabat publik, orang-orang yang memiliki kepentingan politik, plus uang dan keahlian di bidang ilmu informasi, mereka dengan mudah akan memanfaatkan keahlian dan ruang yang terbuka di dunia maya untuk kepentingan politis praktisnya.

Meski berita-berita hoax dan ujaran penghinaan di media massa bisa diblokir dan ulah pelaku yang tidak bertanggung jawab bisa ditangkap, masalahnya ketika sebuah berita hoax sudah terekspos, dan kemudian disirkulasi dan diresirkulasi, penyebarluasannya pun niscaya akan massif tanpa bisa dicegah.

Dari sisi ini, sekali pun mungkin pelakunya sudah diproses di depan hukum, tujuan untuk menyebarluaskan berita hoax dan kepentingan untuk memanipulasi pikiran para pembaca sesungguhnya sudah tercapai. Di era perkembangan media yang konvergen, penyebaran berita hoax ibaratnya seperti angin yang terus bertiup dan kemungkinan untuk meng­hentikannya nyaris tidak ada.

Di luar upaya untuk menempuh jalur hukum, upaya untuk mencegah efek buruk penyebaran berita hoax dan ujaran penghinaan yang merugikan pejabat negara sesungguhnya hanya bisa dilakukan dengan cara pelibatan partisipasi dan daya tahan masyarakat. Membangun ketahanan sosial masyarakat dengan cara meningkatkan literasi kritis dan literasi media adalah salah satu cara yang seyogianya dikembangkan untuk mencegah agar masyarakat tidak mudah termakan berita hoax.

Tanpa didukung kesadaran masyarakat sendiri untuk bersikap kritis pada booming informasi yang meledak luar biasa pesat, bisa di­pastikan penyebaran berita hoax akan selalu menjadi momok yang kontraproduktif bagi kemajuan masyarakat.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1399 seconds (0.1#10.140)