Tragedi Kaum Tani
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
KEHIDUPAN petani yang teraniaya, terancam, dan penuh teror, digambarkan dengan baik di dalam sebuah film koboi Savate. Di negara bagian Texas, ketika masih berlaku hukum rimba, muncul pertarungan dua kekuatan tak seimbang: pebisnis besar vs petani. Sang pebisnis digambarkan sangat kaya, ganas, dan serakah, didukung kekuatan lengkap: centeng yang setia, oknum tentara, ahli hukum, dan pengadilan yang seolah sudah menjadi miliknya.
Petani, pemilik tanah, diteror siang malam agar tanah milik mereka dijual dengan harga semurah-murahnya kepada sang pebisnis tadi. Dialah yang menentukan secara sepihak harga tanah. Model tawar-menawar tidak ada. Di sini satu satunya hukum yang berlaku hanya bedil. Maka siapa kuat—punya bedil, punya duit, punya centeng dan dukungan oknum tentara dan hukum tadi—niscaya menang.
Rencana busuk agar penindasan itu berlangsung dengan gemilang disusun. Di sana seolah bakal dibangun sebuah kota dan jalan kereta api. Jadi otomatis orang mudah merasa terpaksa untuk melepaskan aset mereka. Harga murah semurah-murahnya merupakan pertimbangan yang sangat memberatkan. Tapi sang pebinsnis dan segenap kaki tangannya selalu mengatakan di depan umum bahwa mereka hanya menolong para petani itu.
Tak semua petani merasa gentar. Ada anak muda, Cain, yang bertahan dengan gigih. Dia tak sudi menjual tanahnya. Cain pun memengaruhi para petani lain untuk tetap bertahan. Ini merupakan duri dalam wilayah yang sudah ada di dalam genggaman sang pebisnis.
Cain dimusuhi secara terang-terangan. Pada suatu malam gudang dan kendang kambingnya dibakar orang yang tak dikenal, dalam gelap. Orang kampung setempat gempar. Cain menemukan bukti meyakinkan siapa yang membakarnya. Dia datangi centeng, jago tembak, milik sang pebisnis.
Pertengkaran terjadi dan ringkas cerita mereka siap adu cepat menekan pelatuk senjata. Cain hanya petani, bukan jago tembak sebagaimana lawannya. Orang yang gagah berani itu tertembak. Dia gugur membela hak milik yang wajib dibela.
Adakah kematian Cain menjadi lambang kekalahan petani? Ternyata tidak. Cain mati, tapi semangatnya tetap hidup di kalangan petani yang menjadi lebih berani. Seorang jagoan jalanan, kabarnya tentara Prancis yang sedang bertualang, mampir di desa itu. Dialah, yang atas nama Cain, membela seluruh petani, menggasak si pebisnis dan segenap orangnya. Jagoan ini juga membongkar rahasia busuk mengenai kota khayalan dan jalan kereta api yang sebenarnya tidak ada. Bahkan dalam rencana pun tidak ada.
Di balik asap mesiu yang masih mengepul, tergeletak bangkai para penindas. Dan tak jauh dari sana terhampar ladang para petani dan harapan masa depan mereka. Di sini kemudian muncul dalil kehidupan sosial yang jelas dan tegas: hanya orang berani yang punya hak untuk membangun harapan. Para penakut sudah tergilas dan lenyap.
Kita punya sejarah, yaitu sejarah kehidupan petani, yang penuh dengan tragedi. Dalam Pemberontakan Petani 1888, karya monumental sejarawan Sartono Kartodirdjo, digambarkan munculnya gerakan Nativisme, gerakan orang-orang lokal, petani setempat, melawan kekuatan asing, yaitu penjajah Belanda. Petani berani melawan karena di belakang mereka ada barisan kiai-kiai tarekat terkemuka yang mendorong mereka dengan ideologi keagamaan untuk melawan. Wujud perlawanan begitu kontras: kaum tani setempat, pribumi yang beragama Islam, melawan kaum kafir, golongan kulit putih yang menjajah mereka.
Gerakan Nativisme ini menggelembungkan semangat lokal sambil mendambakan lahirnya kembali Kesultanan Banten untuk mengusir penjajah asing. Kata nasionalisme belum disebut dengan jelas, tapi kaum “native” dengan gerakannya melawan kekuatan asing. Terlihat polarisasi kesadaran mengenai apa “nasional” vs yang “global”. Dalam sejarah tersebut, pemberontakan petani terasa begitu tragis.
Mereka ditumpas dalam waktu cepat dan mudah. Kemudian petani hanya punya satu pilihan: tunduk, mau tak mau. Mereka sudah dikalahkan. Kekuatan organisasi, perencanaan, senjata, dan tentara unggul atas jimat dan segenap jampi-jampi yang semula menjadi jaminan bahwa mereka tak bakal bisa ditembus peluru. Tapi mereka tertembak. Petani menelan tragedi kehidupan yang lebih dari sekadar getir.
Adakah kekalahan mereka membuat petani hancur luluh? Kelihatannya tidak. Kekalahan mereka menjadi kenangan. Selebihnya kegetiran di Banten itu bahkan menjala kaum tani dalam generasi sesudahnya. Juga petani di tempat lain.
Kita bisa mengambil contoh dari banyak peristiwa konflik agraria di Tanah Air. Mungkin dalam peristiwa itu petani pun kalah. Tapi petani tampil sebagai kekuatan revolusioner yang sangat berani. Musuh mereka intinya masih sama: kaum pengusaha yang didukung pemerintah setempat, pemerintah yang seharusnya melindungi petani. Ada petani yang tersingkir sejak semula, ada yang dikalahkan sesudah bertempur. Meskipun demikian mereka tak merasa kalah. Tragedi kekalahan bahkan diolah menjadi modal baru perlawanan yang lebih strategis, lebih terencana, dan lebih ideologis.
Petani tembakau Temanggung mungkin bisa dijadikan contoh. Di dalam buku Perlawanan Politik dan Politik Petani Tembakau Temanggung yang saya tulis, tampak gambaran sikap ideologis petani. Mereka melawan kebijakan pemerintah SBY yang sangat prokepentingan asing. Unsur kepentingan asing ini menambah energi kemarahan mereka.
Di sini pun petani tembakau diposisikan menjadi pihak yang sulit. Dari “pusat” dikumandangkan perlunya petani beralih tanaman. Mereka diberi pilihan, disebut pilihan yang baik, untuk berhenti menanam tembakau dan beralih ke tanaman kopi. Gubernur Jawa Tengah kala itu, Bibit Waluyo, mengeluarkan peraturan tanam paksa gaya yang lain: tanaman kopi tadi.
Mereka yang sudah beralih ke tanaman kopi akan diberi insentif. Ada iming-iming menarik. Tapi tak seorang pun petani yang tertarik. Mereka melawan “pusat”, SBY, sekaligus daerah, Bibit Waluyo. Gubernur Bibit Waluyo bahkan diganti nama oleh petani dengan semangat mengejek kaum atasan yang begitu telak: Bibit Suloyo.
Komunikasi pemimpin dengan pihak yang dipimpin tak terjalin. Petani yang diposisikan ke dalam kesulitan tak mau menurut. Bagi mereka ini bukan lagi zaman penjajahan. Juga bukan zaman tanam paksa. Inilah contoh komunikasi yang gagal total sampai kedua pejabat itu kembali menjadi rakyat biasa seperti petani.
Kita tak ingin mengulas pemimpin macam apa yang dihadapi petani itu. Tapi kita ingin melihat lebih dekat pihak petani. Mereka petani terpelajar. Tokoh-tokohnya sarjana. Semua melek teknologi informasi. Mereka mengerti arti komunikasi politik lewat media dan terampil pula mereka menggunakan media.
Selebihnya mereka mengerti cara-cara melakukan lobi politik. Mereka pun memiliki organisasi. Dan kurang lebih mereka pandai menyusun perencanaan untuk melakukan perlawanan. Mereka paham akan strategi mencari pengaruh dan mengolah informasi. Jangan lupa, mereka generasi muda yang lebih blak-blakan, lebih terbuka, dan tak mengenal kata ewuh pekewuh, rasa enggan, atau kurang enak. Kalau diperlukan sikap main serobot, mereka bisa menyerobot.
Mereka petani zaman ini, petani yang sadar apa artinya yang nasional dan yang global. Pemerintah yang terlalu prokekuatan global dilawan. Di sini petanilah dan bukan pejabat yang lebih siap berbicara mengenai apa yang kurang lebih bisa disebut nasionalisme. Mereka tak sudi diposisikan sebagai tumbal untuk menjunjung tinggi apa yang asing dan global. Tragedi petani di masa lampau tak boleh terulang dalam kehidupan petani masa kini. Dunia pertanian dan petani sudah bukan yang dulu lagi.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
KEHIDUPAN petani yang teraniaya, terancam, dan penuh teror, digambarkan dengan baik di dalam sebuah film koboi Savate. Di negara bagian Texas, ketika masih berlaku hukum rimba, muncul pertarungan dua kekuatan tak seimbang: pebisnis besar vs petani. Sang pebisnis digambarkan sangat kaya, ganas, dan serakah, didukung kekuatan lengkap: centeng yang setia, oknum tentara, ahli hukum, dan pengadilan yang seolah sudah menjadi miliknya.
Petani, pemilik tanah, diteror siang malam agar tanah milik mereka dijual dengan harga semurah-murahnya kepada sang pebisnis tadi. Dialah yang menentukan secara sepihak harga tanah. Model tawar-menawar tidak ada. Di sini satu satunya hukum yang berlaku hanya bedil. Maka siapa kuat—punya bedil, punya duit, punya centeng dan dukungan oknum tentara dan hukum tadi—niscaya menang.
Rencana busuk agar penindasan itu berlangsung dengan gemilang disusun. Di sana seolah bakal dibangun sebuah kota dan jalan kereta api. Jadi otomatis orang mudah merasa terpaksa untuk melepaskan aset mereka. Harga murah semurah-murahnya merupakan pertimbangan yang sangat memberatkan. Tapi sang pebinsnis dan segenap kaki tangannya selalu mengatakan di depan umum bahwa mereka hanya menolong para petani itu.
Tak semua petani merasa gentar. Ada anak muda, Cain, yang bertahan dengan gigih. Dia tak sudi menjual tanahnya. Cain pun memengaruhi para petani lain untuk tetap bertahan. Ini merupakan duri dalam wilayah yang sudah ada di dalam genggaman sang pebisnis.
Cain dimusuhi secara terang-terangan. Pada suatu malam gudang dan kendang kambingnya dibakar orang yang tak dikenal, dalam gelap. Orang kampung setempat gempar. Cain menemukan bukti meyakinkan siapa yang membakarnya. Dia datangi centeng, jago tembak, milik sang pebisnis.
Pertengkaran terjadi dan ringkas cerita mereka siap adu cepat menekan pelatuk senjata. Cain hanya petani, bukan jago tembak sebagaimana lawannya. Orang yang gagah berani itu tertembak. Dia gugur membela hak milik yang wajib dibela.
Adakah kematian Cain menjadi lambang kekalahan petani? Ternyata tidak. Cain mati, tapi semangatnya tetap hidup di kalangan petani yang menjadi lebih berani. Seorang jagoan jalanan, kabarnya tentara Prancis yang sedang bertualang, mampir di desa itu. Dialah, yang atas nama Cain, membela seluruh petani, menggasak si pebisnis dan segenap orangnya. Jagoan ini juga membongkar rahasia busuk mengenai kota khayalan dan jalan kereta api yang sebenarnya tidak ada. Bahkan dalam rencana pun tidak ada.
Di balik asap mesiu yang masih mengepul, tergeletak bangkai para penindas. Dan tak jauh dari sana terhampar ladang para petani dan harapan masa depan mereka. Di sini kemudian muncul dalil kehidupan sosial yang jelas dan tegas: hanya orang berani yang punya hak untuk membangun harapan. Para penakut sudah tergilas dan lenyap.
Kita punya sejarah, yaitu sejarah kehidupan petani, yang penuh dengan tragedi. Dalam Pemberontakan Petani 1888, karya monumental sejarawan Sartono Kartodirdjo, digambarkan munculnya gerakan Nativisme, gerakan orang-orang lokal, petani setempat, melawan kekuatan asing, yaitu penjajah Belanda. Petani berani melawan karena di belakang mereka ada barisan kiai-kiai tarekat terkemuka yang mendorong mereka dengan ideologi keagamaan untuk melawan. Wujud perlawanan begitu kontras: kaum tani setempat, pribumi yang beragama Islam, melawan kaum kafir, golongan kulit putih yang menjajah mereka.
Gerakan Nativisme ini menggelembungkan semangat lokal sambil mendambakan lahirnya kembali Kesultanan Banten untuk mengusir penjajah asing. Kata nasionalisme belum disebut dengan jelas, tapi kaum “native” dengan gerakannya melawan kekuatan asing. Terlihat polarisasi kesadaran mengenai apa “nasional” vs yang “global”. Dalam sejarah tersebut, pemberontakan petani terasa begitu tragis.
Mereka ditumpas dalam waktu cepat dan mudah. Kemudian petani hanya punya satu pilihan: tunduk, mau tak mau. Mereka sudah dikalahkan. Kekuatan organisasi, perencanaan, senjata, dan tentara unggul atas jimat dan segenap jampi-jampi yang semula menjadi jaminan bahwa mereka tak bakal bisa ditembus peluru. Tapi mereka tertembak. Petani menelan tragedi kehidupan yang lebih dari sekadar getir.
Adakah kekalahan mereka membuat petani hancur luluh? Kelihatannya tidak. Kekalahan mereka menjadi kenangan. Selebihnya kegetiran di Banten itu bahkan menjala kaum tani dalam generasi sesudahnya. Juga petani di tempat lain.
Kita bisa mengambil contoh dari banyak peristiwa konflik agraria di Tanah Air. Mungkin dalam peristiwa itu petani pun kalah. Tapi petani tampil sebagai kekuatan revolusioner yang sangat berani. Musuh mereka intinya masih sama: kaum pengusaha yang didukung pemerintah setempat, pemerintah yang seharusnya melindungi petani. Ada petani yang tersingkir sejak semula, ada yang dikalahkan sesudah bertempur. Meskipun demikian mereka tak merasa kalah. Tragedi kekalahan bahkan diolah menjadi modal baru perlawanan yang lebih strategis, lebih terencana, dan lebih ideologis.
Petani tembakau Temanggung mungkin bisa dijadikan contoh. Di dalam buku Perlawanan Politik dan Politik Petani Tembakau Temanggung yang saya tulis, tampak gambaran sikap ideologis petani. Mereka melawan kebijakan pemerintah SBY yang sangat prokepentingan asing. Unsur kepentingan asing ini menambah energi kemarahan mereka.
Di sini pun petani tembakau diposisikan menjadi pihak yang sulit. Dari “pusat” dikumandangkan perlunya petani beralih tanaman. Mereka diberi pilihan, disebut pilihan yang baik, untuk berhenti menanam tembakau dan beralih ke tanaman kopi. Gubernur Jawa Tengah kala itu, Bibit Waluyo, mengeluarkan peraturan tanam paksa gaya yang lain: tanaman kopi tadi.
Mereka yang sudah beralih ke tanaman kopi akan diberi insentif. Ada iming-iming menarik. Tapi tak seorang pun petani yang tertarik. Mereka melawan “pusat”, SBY, sekaligus daerah, Bibit Waluyo. Gubernur Bibit Waluyo bahkan diganti nama oleh petani dengan semangat mengejek kaum atasan yang begitu telak: Bibit Suloyo.
Komunikasi pemimpin dengan pihak yang dipimpin tak terjalin. Petani yang diposisikan ke dalam kesulitan tak mau menurut. Bagi mereka ini bukan lagi zaman penjajahan. Juga bukan zaman tanam paksa. Inilah contoh komunikasi yang gagal total sampai kedua pejabat itu kembali menjadi rakyat biasa seperti petani.
Kita tak ingin mengulas pemimpin macam apa yang dihadapi petani itu. Tapi kita ingin melihat lebih dekat pihak petani. Mereka petani terpelajar. Tokoh-tokohnya sarjana. Semua melek teknologi informasi. Mereka mengerti arti komunikasi politik lewat media dan terampil pula mereka menggunakan media.
Selebihnya mereka mengerti cara-cara melakukan lobi politik. Mereka pun memiliki organisasi. Dan kurang lebih mereka pandai menyusun perencanaan untuk melakukan perlawanan. Mereka paham akan strategi mencari pengaruh dan mengolah informasi. Jangan lupa, mereka generasi muda yang lebih blak-blakan, lebih terbuka, dan tak mengenal kata ewuh pekewuh, rasa enggan, atau kurang enak. Kalau diperlukan sikap main serobot, mereka bisa menyerobot.
Mereka petani zaman ini, petani yang sadar apa artinya yang nasional dan yang global. Pemerintah yang terlalu prokekuatan global dilawan. Di sini petanilah dan bukan pejabat yang lebih siap berbicara mengenai apa yang kurang lebih bisa disebut nasionalisme. Mereka tak sudi diposisikan sebagai tumbal untuk menjunjung tinggi apa yang asing dan global. Tragedi petani di masa lampau tak boleh terulang dalam kehidupan petani masa kini. Dunia pertanian dan petani sudah bukan yang dulu lagi.
(pur)